Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Bukan cuma soal kasus SYL, dalam proses penyidikan terungkap bahwa rumah rehat sewaan yang ditempati Firli di kawasan elite Kertanegara, Jakarta Selatan, ternyata tidak ia bayar sendiri. Biaya sewa rumah ditanggung oleh bos Alexis, Alex Tirta Juwana Darmadji, Rp 650 juta per tahun. Alex adalah pengusaha hiburan malam di ibu kota sekaligus Ketua Harian Pengurus Pusat PBSI.
Bila Firli terbukti menerima uang dari SYL dan menempati rumah secara cuma-cuma berkat “kebaikan” Alex, bukankah artinya ia telah memenuhi unsur pidana suap dan gratifikasi yang justru diperangi KPK, lembaga yang ia pimpin? Kejutan tak menyenangkan apa lagi yang disimpan Firli selama ini?
***
Eks Wakil Ketua KPK Saut Situmorang duduk di hadapan dua penyidik Polda Metro Jaya. Kebetulan, keduanya pernah bertugas di KPK. Hari itu, Selasa 17 Oktober 2023, mereka memeriksa Saut sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan pemerasan oleh Ketua KPK Firli Bahuri kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Tak lama, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak ikut masuk ke ruangan pemeriksaan. Melihat Ade, Saut sontak bertanya soal keseriusan polisi menangani kasus Firli—pensiunan jenderal bintang tiga Polri yang menjabat sebagai Ketua KPK sejak Desember 2019.
“Ini serius nggak, nih? Kalau enggak serius, gue tinggalin,” kata Saut, menceritakan ucapannya kepada Ade dalam perbincangan dengan kumparan, Jumat (27/10).
Mendengar pertanyaan Saut, Ade menjawab, “Serius ini, serius.”
Ade Safri meneken surat panggilan pemeriksaan terhadap sopir SYL dan ajudan SYL terkait kasus dugaan pemerasan oleh Firli pada 25 Agustus 2023. Kasus ini ditangani Polda Metro Jaya setelah adanya laporan masyarakat pada 12 Agustus 2023.
Awalnya, Ade hanya menyebut dugaan pemerasan itu dilakukan oleh pimpinan KPK. Ia tidak menyebut spesifik nama pimpinan KPK yang ia maksud. Namun, ketika kasus mulai bergulir dan saksi-saksi diperiksa, tabir pun terbuka—gara-gara Firli sendiri.
Pada 5 Oktober saat SYL diperiksa Polda Metro Jaya sebagai saksi, Firli sudah menyatakan bakal ada tudingan pemerasan terhadap dirinya. Di sela konpers kasus Wali Kota Bima, ia tiba-tiba bicara soal kebiasaannya bermain badminton dua kali sepekan. Ia juga mengatakan tak pernah bertemu pihak berperkara, apalagi sampai menerima uang.
Esoknya, 6 Oktober, ketika Polda Metro Jaya menaikkan kasus pemerasan oleh pimpinan KPK ke tahap penyidikan, foto Firli berpakaian olahraga tengah mengobrol dengan SYL tersebar. Konon keduanya bertemu di GOR Tangki, Mangga Besar, Jakarta Barat, saat Firli turun minum ke pinggir lapangan.
Tiga hari kemudian, 9 Oktober, Firli mengaku pernah bertemu SYL, namun menyebut pertemuan itu bukan inisiatifnya. Menurut Firli, ia tak cuma berdua dengan SYL, dan sang menteri saat itu belum berstatus pihak berperkara di KPK.
Terkait pertemuan Firli dengan SYL itulah Saut Situmorang dihadirkan penyidik Polda Metro Jaya. Ia dimintai keterangan tentang bagaimana sikap pimpinan KPK ketika menangani sebuah kasus.
Pembelaan Firli Dibantah
Saut tanpa tedeng aling-aling menyebut Firli ngawur. Saut tak membenarkan alasan Firli yang menyebut bahwa pertemuan dengan SYL itu terjadi pada 2 Maret 2022, sebelum KPK memulai penyelidikan kasusnya pada Januari 2023.
“Firli itu ngawur. Penyelidikan [terkait kasus di Kementan yang melibatkan SYL] dimulai Januari 2023, sedangkan penyidikannya mulai September 2023. Tapi kan surat pengaduan masyarakat soal itu sudah masuk setidaknya tahun 2021. Kasus terhitung ditangani mulai surat pengaduan resmi masuk ke KPK,” kata Saut.
Artinya, meskipun KPK memulai penyelidikan terhadap SYL pada 2023, bukan berarti KPK tidak tahu informasi soal kasus tersebut pada 2022—saat Firli bertemu SYL.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebut bahwa laporan masyarakat tentang dugaan korupsi di Kementerian Pertanian masuk ke KPK sejak awal 2020, dan pengumpulan informasinya diproses mulai Januari 2021.
Dalam hal ini, ujar Saut, terjadi ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) antara KPK dan publik, sebab pimpinan KPK menguasai semua informasi dari surat pengaduan yang masuk ke lembaga mereka.
“Pada prosesnya, dari masuknya pengaduan masyarakat sampai ke meja pimpinan KPK, ada potensi abuse of power karena asymmetric information tersebut,” kata Saut yang pernah 18 tahun bertugas di Badan Intelijen Negara.
Penyalahgunaan wewenang itu misalnya terjadi ketika pimpinan KPK memanfaatkan situasi untuk keuntungannya dengan menemui pihak yang berpotensi berperkara atau yang disebut dalam pengaduan masyarakat.
“Kalau pimpinan KPK otaknya kotor, dia bisa taruh orang di situ (penerimaan pengaduan masyarakat), yang bagian buka surat. Pimpinan KPK menguasai semua informasi [yang masuk itu] dan bisa memerintahkan [ke pegawainya], ‘Yang ini kamu survei dulu, yang ini percepat, yang ini tahan,’” jelas Saut.
Sebagai pimpinan KPK periode 2015–2019, Saut melihat sendiri pemilahan dan pemilihan terhadap surat-surat aduan yang masuk ke KPK.
“Dilihat dulu, yang oke kasih ke satgas, lalu mereka mulai mempelajari. Berikutnya panggil pengadunya, karena pengadu pasti meninggalkan nomor hape, [dan proses penyelidikan bergulir],” terang Saut.
Eks penyidik KPK Aulia Postiera menjelaskan, pengaduan masyarakat biasanya berbentuk surat, email, atau melalui KPK Whistleblower System (KWS ). Cara-cara itu tercantum dalam situs web KPK, yang juga menyertakan keterangan bahwa tindak lanjut penanganan atas pengaduan yang masuk sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan.
“Email dan KWS langsung masuk ke bagian Dumas (Pengaduan Masyarakat), sedangkan surat biasanya ditembuskan ke pimpinan KPK,” kata Aulia.
Saat menerima pengaduan, pegawai KPK akan memverifikasi apakah ada penyelenggara negara terlibat atau tidak.
“Kalau sudah memenuhi kriteria [penyelidikan], biasanya ditelaah apakah butuh tambahan bukti atau keterangan. Kalau butuh, dilakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket),” ucap Aulia.
Pada proses ini, Tim Dumas KPK kerap turun ke lapangan. Mereka mengonfirmasi aduan dan mencari data serta bukti penguat. Setelahnya, Dumas memberikan paparan ke penyelidik. Jika penyelidik mengiyakan kasus tersebut, maka Tim Dumas membuat laporan hasil pemeriksaan.
Berikutnya, laporan hasil pemeriksaan dari Tim Dumas (LHP Dumas) dikirimkan ke Deputi Informasi dan Data, ditujukan kepada Deputi Penindakan, dan ditembuskan ke pimpinan KPK. Jadi, Ketua KPK pasti mengetahui hasil penelusuran Dumas tersebut.
“Pimpinan KPK kemudian kasih disposisi ke penyelidik untuk lakukan penyelidikan. Barulah penyelidik membuat surat perintah penyelidikan (sprinlidik),” ujar Aulia.
Proses penyusunan LHP Dumas sampai sprinlidik lazimnya makan waktu seminggu. Itu jika semua pimpinan KPK sudah membaca LHP Dumas terkait. Pada rentang waktu itulah Firli diduga melihat peluang untuk memeras Syahrul.
Itu sebabnya Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ikut memanggil Direktur Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat KPK Tomi Murtomo sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan oleh Firli. Senin (16/10), Tomi diperiksa selama 6,5 jam. Setelahnya, ia hanya berkomentar singkat kepada wartawan, “Aman, aman.”
Saut menyatakan, celah penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK selama periode konfirmasi pengaduan masyarakat ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan Pasal 36 Undang-Undang KPK.
“Aturan pada Pasal 36 itu ketat, sampai ada kata-kata ‘dengan alasan apa pun’. Jadi, ketemu di jalan pun [dengan pihak berperkara] enggak bisa,” tegas Saut.
Sampai-sampai Saut pernah mengusir anggota DPRD yang tak sengaja bertemu dengannya di restoran dan minta berfoto bersama. Meski perilakunya itu tak menyenangkan, Saut menganggapnya lebih baik ketimbang ia mengobrol dengan pejabat yang bisa sewaktu-waktu terlibat atau jadi saksi atas kasus tertentu.
Indikasi Firli Tak Bakal Lolos
Sebagian pihak menyangsikan penuntasan kasus yang diduga melibatkan Firli ini. Alasannya: jabatan Firli yang cukup tinggi sebagai purnawirawan Komisaris Jenderal Polri, dan kelihaiannya untuk lolos dari berbagai kasus selama ini.
Namun, peneliti ICW Kurnia Ramadhana tak pesimistis, sebab proses penegakan hukum terkait kasus ini telah bergerak maju dari penyelidikan ke penyidikan. Polda Metro Jaya pun sudah memeriksa Firli dan ajudannya, menggeledah rumahnya, serta menyita sejumlah barang bukti dari kediamannya itu.
“Dari kacamata penegakan hukum, ketika ada upaya paksa berupa penggeledahan dan penyitaan, itu menandakan aparat sudah yakin dengan peristiwa pidananya. Tinggal mencari tersangkanya,” kata Kurnia.
Dalam konteks itu pun, lanjut Kurnia, subjeknya sudah jelas, yakni pimpinan KPK. Dan selama ini, bukti petunjuknya bahkan sudah ramai beredar, yakni foto Firli dan SYL di GOR badminton yang telah diakui kebenarannya oleh Firli sendiri.
“Pertanyaan lanjutannya: pertemuan [Firli dan SYL] itu membincangkan apa? Apakah terkait penanganan perkara di KPK? Kalau iya, maka itu jelas delik dan Firli terancam dapat diancam dengan pidana penjara,” tutur Kurnia.
Menurut sejumlah sumber di kalangan penegak hukum, Firli tak bakal lolos. Meski Firli disebut telah menemui pimpinan Polri, namun tak ada hasilnya. Alat bukti kuat, Kapolri pun bergeming. Kasus kemungkinan besar akan dilanjutkan sesuai prosedur.
Soal kabar pertemuan Firli dengan Kapolri yang tak membuahkan hasil itu, pengacara Firli, Ian Iskandar, mulanya tak membantah maupun membenarkan.
“Silakan tanya ke Pak Kapolri,” kata Ian kepada kumparan.
Namun, saat kedua kalinya dihubungi, ia mengaku tak tahu informasi tersebut, dan menyebutnya sebagai fitnah untuk memojokkan Firli.
“Sekarang memang semuanya ke beliau itu framing dan fitnah,” kata Ian.
Berdasarkan informasi yang dihimpun kumparan, beberapa terperiksa mengakui bahwa Firli menerima duit dari SYL dalam tiga kali pertemuan. Awalnya, total duit yang bakal diterima Firli berkisar Rp 60–100 milliar. Namun, SYL tidak menyanggupi jumlah sebesar itu.
Sejauh ini, Firli baru menerima Rp 1 miliar pada tiap pertemuan dengan SYL. Karena ia telah tiga kali bertemu SYL (seluruhnya tahun 2022), maka diduga ada Rp 3 miliar yang ia kantongi.
Sampai saat ini, polisi telah memeriksa 55 saksi. Selain Direktur Dumas KPK Tomi Murtomo, ada pula Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar dan ajudan Firli, Kevin Egananta Joshua.
Irwan merupakan mantan bawahan Firli di Polda NTB pada 2017. Ia juga berkerabat dengan SYL. Irwan diduga mengatur pertemuan antara Firli Bahuri dengan Syahrul Yasin Limpo. Irwan menyebut pertemuan awal mereka terjadi pada Februari 2021.
“Pernah tahun 2021, kira-kira bulan Februari, saya diminta menemani Pak SYL untuk menemui Pak Firli dalam rangka membangun atau membuat MoU kerja sama pencegahan tindak pidana korupsi di Kementan,” ujar Irwan.
Namun, ia membantah terlibat penyerahan uang dari SYL ke Firli. Menurutnya, “Itu tidak betul.”
Sementara itu, ajudan Firli yang juga diperiksa, Kevin Egananta, kini telah ditarik kembali ke Bareskrim Polri untuk menghindari adanya tekanan terhadapnya jika terus menjadi ajudan Firli.
Menurut sumber di lingkup penegak hukum, tekanan juga sempat diterima beberapa penyidik yang menangani kasus ini.
Saatnya Nonaktifkan Firli Bahuri
ICW meyakini polisi telah menemukan bukti kuat sehingga penetapan tersangka terhadap Firli tinggal menunggu waktu. Dari beredarnya foto Firli bersama SYL dan digeledahnya rumah Firli, menurut Kurnia, terlihat bahwa Firli memang layak ditetapkan sebagai tersangka.
“Maka jika masyarakat menyangka bahwa Firli adalah pelaku di balik pemerasan terhadap pihak yang sedang berperkara (SYL), itu tidak salah,” ujar Kurnia.
Jika Firli benar-benar menjadi tersangka, Kurnia dan Aulia Postiera mendesak ia dinonaktifkan dari jabatan Ketua KPK sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang berbunyi “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.”
Apalagi, Kepolisian kemudian mengungkap perilaku tak terpuji Firli yang lebih mencengangkan. Menurut Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri, rumah rehat sewaan yang ditempati Firli di kawasan elite Jl. Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ternyata sewanya tidak dibayar oleh Firli sendiri.
Adalah Alex Tirta Juwana Darmadji, bos Alexis yang merupakan pengusaha hiburan malam di Jakarta sekaligus Ketua Harian Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang menanggung pembayaran rumah Rp 650 juta per tahun untuk Firli.
Rumah itu juga pernah menjadi lokasi pertemuan Firli dan SYL selain di GOR badminton Mangga Besar. Artinya, Firli terindikasi melakukan praktik suap sekaligus gratifikasi—yang seharusnya justru diberantas lembaga yang ia pimpin. Ini tentu alasan yang lebih dari cukup untuk menonaktifkannya dari jabatan Ketua KPK.
Aulia menyarankan agar Presiden Jokowi memberikan diskresi untuk menunda putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang kini berlaku 5 tahun dari sebelumnya 4 tahun.
Jika aturan 5 tahun masa jabatan pimpinan KPK itu berlaku mulai saat ini, artinya Firli masih akan menjabat setahun lagi. Padahal, dengan kasus yang membelitnya, hal tersebut akan makin dalam mencoreng citra KPK dan penegakan hukum di Indonesia.
“Lebih baik Presiden menunjuk orang-orang kredibel untuk setahun ke depan supaya KPK bisa tetap dipercaya,” ucap Aulia.
Saut Situmorang berpendapat bahwa kasus Firli membuka mata publik bahwa UU KPK perlu direvisi. Menurutnya, KPK sebaiknya dipimpin satu orang saja. Meski satu orang ini belum pasti baik, setidaknya publik hanya perlu mengawasi satu orang itu saja.
Selain merampingkan struktur kepemimpinan KPK, Saut juga mengusulkan agar Dewan Pengawas KPK dibubarkan. Sebagai gantinya, Pengawas Internal KPK dihidupkan kembali karena mereka dapat bertindak proaktif.
“Ketua KPK ke mana, diam-diam diikuti, dilihat ngapain aja, ketemu siapa saja. Jadi tidak menunggu laporan kejadian [penyalahgunaan wewenang],” ujar Saut.
Hal tersebut ia rasa lebih efektif ketimbang Dewan Pengawas yang hanya bertindak ketika ada laporan masuk sehingga, menurutnya, lebih tepat disebut “Dewan Penerima Pengaduan”.