Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya mendapat laporan terkait kembali beredarnya buku SD yang menyebut NU sebagai organisasi radikal . Padahal, itu telah dicabut oleh Muhadjir Efendi pada 2017 lalu yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Sebutan NU sebagai organisasi radikal itu ditemukan dalam buku kurikulum 2013 untuk kelas V tema 7 pada pembelajaran 4, halaman 45 yang berjudul Masa Awal Radikal 1920-1927-an.
Dalam halaman itu, disebutkan bahwa organisasi radikal pada masa 1920-1927-an adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
“Karena masih beredar saya sampaikan ke Kepala Dinas Pendidikan lalu beliau memberikan respons positif dan cepat. Kemudian, segera memerintahkan ke sekolah-sekolah untuk mencabut buku itu,” kata Ketua PCNU Kota Surabaya Muhhibin Zuhri saat dihubungi, Selasa (11/2).
Muhhibin mendapat laporan peredaran buku ini dari Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Namun, ia yakin masih ada beberapa daerah yang menggunakan buku itu.
ADVERTISEMENT
“Karena itu kan kewenangan dari pusat mengenai penerbitan buku ajar untuk siswa bukan dari kewenangan dari dinas pendidikan yang bisa dilakukan untuk sementara ini menghilangkan atau merobek halaman yang kontroversial,” ucapnya.
Muhhibin menyebut sudah melayangkan protes kepada Dinas Pendidikan Kota Surabaya terkait peredaran buku itu. Hal itu disambut dengan perobekan halaman buku yang menyebut organisasi Nahdlatul Ulama radikal di Dinas Pendidikan Kota Surabaya pada Senin (10/2).
“Hari Senin dan sebelumnya sudah dilakukan secara massa serentak di SD-SD merobek halaman tersebut dan mengumpulkannya (bukunya) di kantor dinas pendidikan kemarin,” tutur Muhhibin.
Muhhibin menilai, pengarang buku SD tersebut salah memilik diksi. Pasalnya, kata radikal dalam penyebutan NU dalam konteks sejarah penjajahan menggunakan kata ‘non kooperatif’. Sementara istilah radikal saat ini menurutnya dimaknai sangat sempit dan cenderung melekat oleh kelompok konservatif dan fanatik terhadap agama.
ADVERTISEMENT
“Memang ini soal pilihan kata dan konteks yang enggak benar. Artinya konteks penjelasannya adalah pada era Belanda. Kalau itu mengikuti sejarah yang benar namanya bukan radikal, namanya (penyebutannya) adalah organisasi non kooperatif tehadap Belanda,” jelasnya.
“Dalam konteks perkembangan istilah saat ini radikal kan netral ke akar-akarnya tapi dalam konteks sosial politik dewasa ini kata ini kan mengalami satu stigma yang dilekatkan dalam satu gerakan ‘negatif’ karena itu ini aktor yang berikutnya,” tuturnya.
Sementara Kepala Pendidikan Kota Surabaya Supomo membenarkan peredaran buku itu. Ia mengatakan halaman yang menyebut NU radikal juga langsung dirobek.
“ya benar (dilakukan perobekan halaman yang bertuliskan NU radikal),” kata Supomo.
Live Update