Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Cara Polisi Menentukan Seorang Tersangka ‘Gila’
16 Maret 2018 15:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus penyerangan ulama oleh orang gila belakangan menjadi perhatian publik. Sorotan makin kuat karena berbarengan dengan itu, hoaks merajalela, mengaitkan penyerangan tersebut dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ragam kabar menyebar runyam, membuat masyarakat menerka-nerka cemas. Menghadapi situasi ini, Kepolisian menegaskan penyerangan ulama memang terjadi, namun tidak sebanyak yang diembuskan kencang di media sosial.
Sejauh ini terdapat 4 penyerangan oleh orang gila, yakni di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Lamongan, dan yang terbaru di Depok. Insiden-insiden itu, menurut Kepala Satuan Tugas Nusantara, Irjen Gatot Eddy Pramono, tak terkait satu sama lain.
Pertanyaannya: bagaimana penyerang ulama tersebut lalu disebut gila oleh polisi? Bagaimana Kepolisian menentukan apakah seorang tersangka gila atau tidak?
ADVERTISEMENT
Ahli psikiatri Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur, AKBP dr. Roni Subagyo, SpKJ menyatakan terdapat beberapa tahap untuk menentukan kejiwaan tersangka kriminal.
Tim ahli psikiater baru akan bertindak setelah mendapat surat permintaan pemeriksaan dari penyidik Kepolisian, dan pemerikasaan dilakukan di rumah sakit terdekat. Di Jawa Timur--yang tercatat memiliki satu kasus penyerangan ustaz oleh orang gila di Lamongan--kondisinya mungkin berbeda dengan di Jawa Barat atau Jakarta.
Oleh sebab tenaga psikiatri di provinsi itu masih terbatas, para tersangka yang diduga gila sering kali dirujuk ke Surabaya, ibu kota Jawa Timur.
Untuk menentukan kejiwaan seorang tersangka, ada dua tahap pemeriksaan standar yang perlu dilakukan. Meski bila itu dirasa kurang, dapat pula ditambah dengan pemeriksaan penunjang.
ADVERTISEMENT
Pertama ialah auto-anamnesa, yakni mewawancarai langsung kondisi pasien, yakni tersangka. Dari tatap muka dan berbincang langsung selama wawancara, psikiater dapat menganalisis kelainan jiwa yang mungkin dimiliki si tersangka.
Kedua yaitu hetero-anamnesa, yakni pemeriksaan riwayat pasien (tersangka) dari lingkungan sosial di sekitarnya. “Bisa kami gali dari keluarga, masyarakat sekitar, atau bahkan penyidik kepolisian sendiri,” ujar Roni.
Dua tahap pemeriksaan itu, menurut Roni, sudah cukup untuk menentukan kelainan jiwa tersangka kejahatan. “Itu tahap standar yang sudah cukup, dan yang sering kami (Kepolisian) lakukan. Paling lama, rata-rata hanya dibutuhkan 4-5 hari.”
Berdasarkan pengalaman Roni, orang dengan gangguan jiwa bisa memunculkan tanda-tanda kelainannya saat diperiksa maupun ditahan penyidik.
Untuk memastikannya, pemeriksaan penunjang bisa dilakukan oleh tim dokter. Pengecekan tambahan ini biasa diterapkan kepada orang-orang tertentu yang gangguan jiwanya sulit terdeteksi.
ADVERTISEMENT
“Misalnya, melakukan tes-tes psikometri untuk mengetahui kondisi psikologis mereka,” imbuh Roni. Psikometri ini ialah pengukuran inteligensi dan aktivitas mental seseorang.
Sesuai Undang-Undang Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum, tim dokter biasanya melakukan observasi selama dua minggu atau 14 hari untuk memantau detail aktivitas tersangka.
Jika dua minggu ternyata dirasa masih kurang, maka masa observasi bisa diperpanjang.
RS Bhayangkara Surabaya memiliki tiga dokter spesialis kejiwaan yang biasa membantu penyidik menangani pelaku kejahatan yang diduga gila. Namun, untuk kasus yang lebih kompleks, tim dokter tersebut akan melibatkan tenaga ahli dari rumah sakit lain.
“Bisa saja kami minta dukungan psikiater dari RSUD Dokter Soetomo, RSJ Menur Surabaya, atau Universitas Airlangga,” ujar Roni.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus teranyar menyangkut orang gila yang ditangani tim Roni di RS Bhayangkara misalnya terkait pelaku perusakan kaca masjid di Tuban yang dilakukan M Zainudin, dan tersangka penyerangan Kiai Hakam Mubarok di Lamongan.
Kedua tersangka sama-sama menderita skizofrenia, penyakit jiwa yang ditandai dengan ketidakacuhan dan halusinasi. “Ini membuat pelaku mudah tersinggung dan marah, sehingga sifat agresifnya bisa muncul seketika,” ujar Roni.
Penyerang Kiai Hakam, Nandang Triyana, bahkan juga memiliki tingkat intelegensi rendah, sehingga itu mempengaruhi kondisi psikologisnya.
“Kami lakukan tambahan pemeriksaan intelegensi. Intelegensi yang kurang memang sangat mudah mengalami gangguan jiwa berat,” kata Roni yang juga alumnus spesialis kejiwaan Universitas Airlangga.
ADVERTISEMENT
Terkait Zainudin yang merusak kaca masjid di Tuban, tim dokter RS Bhayangkara sempat merawat tersangka selama tujuh hari untuk menenangkan kondisi kejiwaannya. Saat itu, Zainuddin ditempatkan di ruang perawatan khusus yang terdiri dari satu ranjang dan satu pintu berjeruji besi.
“Kami lakukan terapi dan pengobatan untuk menenangkannya. Selama dirawat juga dijaga penyidik yang bertugas,” kata Roni.
Setelah dinyatakan tenang dan stabil, Zainudin dibawa penyidik Kepolisian kembali ke Polres Tuban untuk melanjutkan proses penyidikan.
Menurut Roni, tersangka dengan ganggan kejiwaan biasanya ditahan secara terpisah dari tahanan lain. “Pelaku disendirikan sambil terapi, tapi tetap diawasi penyidik. Kami sarankan agar ia dikasih obat.”
Namun, tersangka yang terganggu jiwanya itu dapat berbaur dengan tahanan lain ketika kondisi kejiwaannya sudah dinyatakan stabil.
ADVERTISEMENT
Langkah pemisahan itu harus diambil karena penderita gangguan jiwa dapat membahayakan orang-orang di sekitarnya apabila, semisal, halusinasinya tiba-tiba kambuh.
Paling penting, terlepas dari apa pun hasil pemeriksaan kejiwaan atas tersangka, seluruh proses hukum tetap menjadi kewenangan penyidik, mulai polisi sampai hakim.
Beberapa kasus dengan pelaku mengalami gangguan jiwa tapi proses hukumnya tetap berjalan ialah Sumanto dan Lia Eden.
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.