Cerita Hakim Agung Gazalba Saleh Ngaku Pernah Temukan Permata di Kebun Australia

26 Agustus 2024 18:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh mengajukan pertanyaan kepada saksi dalam sidang lanjutan kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh mengajukan pertanyaan kepada saksi dalam sidang lanjutan kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh mengaku sempat menemukan batu permata di salah satu kebun di Sydney, Australia. Batu permata itu pun dijualnya dengan harga SGD 75 ribu atau sekitar kurang lebih Rp 889 juta (kurs Rp 11.858,59).
ADVERTISEMENT
Hal itu terungkap saat jaksa KPK mencecar Gazalba dalam pemeriksaannya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (26/8).
Gazalba menyebut, batu permata itu ditemukan saat dirinya bekerja di sana pada tahun 1993.
"Saudara peroleh batu permata sejak kapan, Pak?" tanya jaksa dalam persidangan.
"Ketika saya menemukannya di, ketika saya bekerja di Australia," jawab Gazalba.
"Ketika kerja di Australia, Saudara punya batu permata?" tanya jaksa.
"Saya menemukan, Pak," ucap Gazalba.
"Kapan Saudara bekerja di Australia, Pak?" cecar jaksa.
"Sudah lama, Pak, sekitar kalau saya tidak salah tahun 1993, Pak," timpal Gazalba.
Saat itu, Gazalba mengaku bekerja di perusahaan perkebunan di sana. Batu permata itu ditemukannya di salah satu kebun di Sydney, Australia, hingga kemudian dijual dengan harga SGD 75 ribu.
ADVERTISEMENT
"Saudara temukan di mana waktu itu?" tanya jaksa.
"Waktu saya bekerja di perkebunan, Pak," jawab Gazalba.
"Iya, ditemukan di mana?" cecar jaksa.
"Di kebun, Pak," timpal Gazalba.
"Daerah mana itu?" tanya jaksa.
"Di Australia, saya tidak ingat lagi," tutur Gazalba.
"Di Canberra atau di Sydney gitu?" tanya jaksa mengkonfirmasi.
"Sydney, Pak," ujar Gazalba.
Usai batu permata itu dijual di Singapura, uang hasil penjualannya kemudian disimpan Gazalba dalam bentuk valuta asing (valas). Ia pun mengaku menerima uang dalam mata uang dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat.
"Saya menemukan batu permata itu ketika saya berada di Australia tahun 1993, lalu kemudian setelah itu saya pulang ke Jakarta. Lalu, saya simpan-simpan setelah itu kemudian saya ke Singapura, lalu kemudian di Singapura saya jual lalu kemudian saya diberi mata uang Dolar Singapura dan Dolar Amerika," tutur Gazalba.
ADVERTISEMENT
Jaksa kemudian mencecar penggunaan uang tersebut hingga Gazalba kemudian diangkat menjadi Hakim Agung pada 2017 lalu.
Saat didalami, ternyata uang hasil penjualan tersebut tak dilaporkan dalam LHKPN oleh Gazalba.
"Sampai di 2017 masih ada enggak uang itu?" cecar jaksa.
"2017 masih ada, Pak," jawab Gazalba.
"Saudara kan 2017 diangkat menjadi Hakim Agung ya, ada enggak dilaporkan ke LHKPN itu?" tanya jaksa.
"Akan saya laporkan nanti, Pak," ucap Gazalba.
"Totalnya berapa tadi jumlahnya? 75 ribu dolar?" tanya jaksa.
"Itu sekitar 75 ribu dolar Singapura, Pak, kalau saya tidak salah. Saya lupa," imbuh Gazalba.
Dakwaan Gazalba Saleh
Adapun dalam kasusnya, Hakim Agung Gazalba Saleh didakwa dengan dua dakwaan berlapis. Pertama, menerima gratifikasi terkait pengaturan vonis kasasi. Nilainya hingga Rp 650 juta.
ADVERTISEMENT
Kedua, dia juga didakwa melakukan pencucian uang. Uang yang diduga dari hasil pidana diduga digunakan untuk sejumlah kepentingan pribadi.
Terkait pencucian uang itu, jaksa memaparkan bahwa Gazalba Saleh pernah menerima sejumlah gratifikasi. Nilai totalnya hingga Rp 46,4 miliar. Penerimaan uang itu kemudian menjadi pencucian uang.
Bentuk pencucian uang bermacam-macam. Mulai dari membeli mobil, tanah dan bangunan, hingga ‘ngebom’ KPR.