Cerita Jurnalis RTV Korban Persekusi Aksi 22 Mei: Wartawan Bukan Musuh

25 Mei 2019 16:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wartawan RTV, Intan Bedisa. Foto: Instagram/@intanbedisa
zoom-in-whitePerbesar
Wartawan RTV, Intan Bedisa. Foto: Instagram/@intanbedisa
ADVERTISEMENT
Masih belum hilang dari ingatan kita tentang adanya berita persekusi terhadap wartawan yang sedang bertugas di masa lampau. Namun belum lama ini, kejadian itu kembali terulang.
ADVERTISEMENT
Tepatnya pada kerusuhan yang terjadi di seputar gelaran Aksi 22 Mei. Kejadian itu sempat berbuah persekusi pada jurnalis RTV. Ialah Intan Bedisa (28) dan rekannya, salah seorang camerawoman, yang menjadi korban.
Keduanya sempat dikerumuni dan diteriaki massa saat meliput kerusuhan yang terjadi di Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (22/5). Beruntung keduanya langsung diamankan oleh personel TNI yang berjaga. Kejadian tersebut berlangsung sekitar pukul 11.15 WIB.
Mulanya, Intan dan rekannya sedang mengamati kerusuhan yang terjadi di sebuah jembatan di jalan Jati Baru. Setelah menunggu 10 menit, kerusuhan itu mereda. Perempuan 28 tahun itu kemudian membuat laporan berita di tengah jalan di dekat jembatan tersebut.
Jurnalis RTV dipersekusi massa ketika meliput aksi 22 Mei di Jatibaru Foto: dok: istimewa
“Tiba-tiba ada satu orang mendekat, terus si satu orang ini dia bawa selongsong peluru, terus dia bilang, ‘Nih Mbak saya ketembak, saya ketembak,’ ngomong kayak gitu,” kata Intan kala dihubungi kumparan, Jumat (24/5).
ADVERTISEMENT
Awalnya Intan cuek dengan seorang massa aksi yang sempat rusuh itu. Ia tetap melanjutkan laporannya di depan kamera meski mendapat gangguan.
“Terus entah kenapa pas dia itu gue diemin tiba-tiba segerombolan tiba-tiba masuk, datang. Terus mereka langsung teriak-teriak, ya hoaks lah, ya tolol lah, goblok lah, dibayar Jokowi gitu-gitu,” katanya setengah kesal.
Padahal saat membuat laporan, keberadaan Intan dan sang camerawoman cukup jauh dari massa yang sedang istirahat di pinggir-pinggir jalan, menghindari gas air mata polisi. Ia juga merasa massa yang menghampirinya tak mendengar persis apa yang dikatakannya.
“Dan kalaupun mereka menuduh itu hoaks, gue punya konten laporan gue, dan gue tahu konten laporan gue. Gue tidak menyudutkan pihak manapun, gue bicara fakta bahwa memang baru terjadi kerusuhan hingga kini kami belum bisa mengonfirmasi massa mana yang terlibat,” ujar Intan.
ADVERTISEMENT
Pemilik gelar Master Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina ini memperkirakan bahwa massa hanya terbawa emosi saja tanpa mempertimbangkan isi konten yang ia buat.
Wartawan RTV, Intan Bedisa (kanan). Foto: Instagram/@intanbedisa
“Mungkin karena apesnya pun media cuma gue berdua dan camerawoman gue jadi (terlihat) mencolok dan memang baru mereda (kerusuhannya),” paparnya yang kala itu langsung ditarik mundur ke kantor setelah kejadian itu berlangsung.
Laporan yang dibuat Intan pun terhenti dan tak jadi tayang di RTV. Bahkan, saat dipersekusi, ia mengaku ada upaya massa merebut kameranya lalu menghapus rekaman laporan tersebut.
“Tapi untungnya kita sigap untuk self defense, artinya gimana caranya biar gue enggak jatuh sama camerawoman gue. Mungkin kalau gue jatuh takutnya diambil kan (alatnya)?” imbuhnya.

Pertama Kali Dipersekusi

Intan Bedisa, jurnalis RTV yang dipersekusi saat meliput aksi 22 Mei. Foto: Dok. Istimewa
Bukan kali pertama perempuan yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik ini meliput berita di wilayah yang bernuansa kerusuhan. Selama 5 tahun kariernya, ia sudah pernah meliput demonstrasi ricuh hingga terorisme.
ADVERTISEMENT
“Gue liputan demo, sebelumnya pernah saat ricuh. Tapi mendapat persekusi kayak gini ya gue pertama kali sih,” terang Intan.
Setelah kejadian persekusi itu, Intan tetap berkomitmen pada profesinya. Namun, ia berharap agar masyarakat tidak menganggap wartawan sebagai musuh kala menyampaikan aspirasi lewat aksi demonstrasi.
Wartawan RTV, Intan Bedisa. Foto: Instagram/@intanbedisa
“Kalau mereka dalam aksinya adalah bagian dari demokrasi untuk mengekspresikan aspirasi, artinya wartawan itu bukan ditempatkan sebagai musuh, tapi justru rekan untuk menyampaikan aspirasi mereka, membantu mendekatkan aspirasi mereka ke pemerintah,” jelasnya.
Menurut Intan, tidak seharusnya masyarakat melakukan persekusi sebagai saudara sebangsa. Ia pun mengimbau masyarakat agar menyuarakan aspirasi dengan sikap yang bijaksana, bukan malah menyalahkan wartawan saat diliput.
“Kadang mereka kesalnya kalau yang jelek-jelek diambil (beritanya). Loh, sekarang Anda melakukan hal yang buruk, contoh merusak fasilitas umum, apa itu dibenarkan? Bukan hanya media, logika rakyat biasa pun bisa tahu kalau itu salah. Jadi jangan salahkan jika wartawan merekam tindakan itu,” tutupnya.
ADVERTISEMENT