Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Halalbihalal (memang) khas di Idul Fitri dan hanya ada di Indonesia kalau tidak salah,” ujar Yon Machmudi, Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, kepada kumparan, Rabu (20/5).
Benarkah demikian?
Berkeliling menemui keluarga saat momen Idul Fitri tentu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Arab Saudi, misalnya, open house (uwadan) dilakukan di tanggal 7 Syawal. Orang-orang bersilaturahmi, melakukan uwadan ke tetangga dan masyarakat sekitar. Orang juga berziarah ke makam keluarga dan ulama.
Tak hanya di Saudi, orang-orang Turk dan Afghan juga melakukan praktik ‘halalbihalal’ saat Idul Fitri. Pada Gadyr Gijesi di Turkmenistan, orang memasak tujuh jenis makanan dan berkumpul bersama keluarga besar bahkan sampai pagi. Di Afghanistan, mereka mengunjungi kakek nenek, teman-teman, dan saudara jauh.
Memang, silaturahmi bukanlah hal baru. Ia sudah ada sejak jaman bahela. Namun menurut Yon, halalbihalal sebagai sebuah konsep di Indonesia baru muncul pada masa setelah kemerdekaan. Menurutnya, negara membutuhkan momen penyatuan di antara banyak tokoh dan elemen bangsa yang saat itu kerap memiliki pandangan berbeda.
“(Idul Fitri) itu yang dijadikan sebagai momen penting,” ujar Yon.
Lalu, bagaimana cerita munculnya halalbihalal di Indonesia? Siapa tokoh yang menjadi tokoh di balik konsep halalbihalal tersebut?
Indonesia masih berumur tiga tahun dan gejala disintegrasi sudah begitu nyata. Krisis politik silih ganti terjadi dan elite politik enggan duduk dalam satu forum. Pemberontakan yang muncul di berbagai daerah seperti DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun juga tidak membantu.
Seperti diceritakan Rais Syuriyah Pengurus Besar NU, Kiai Masdar Farid Mas’udi, dalam NU Online , untuk mencari obat penawar, Sukarno kemudian memanggil Kiai Abdul Wahab Hasbullah, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara. Muncul saran dari Kiai Wahab agar Bung Karno menyelenggarakan silaturahmi karena sebentar lagi sudah hari raya Idul Fitri .
“Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” jawab Bung Karno.
“Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” kata Kiai Wahab. “Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’.”
Saran Kiai Wahab itu diterima Bung Karno. Oleh karena itu, pada Idul Fitri tahun 1948, Sukarno mulai mengundang semua tokoh politik untuk menghadiri silaturahmi di Istana Negara yang bertajuk ‘Halal bi Halal’. Dalam acara tersebut, akhirnya para tokoh dapat duduk dalam satu meja sebagai babak baru untuk menyusun persatuan bangsa.
Sejak 1948 itulah instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan halalbihalal.
Halalbihalal kemudian mulai menjadi tradisi masyarakat secara luas, terutama muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. “Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah.”
“Jadilah halalbihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang,” ujar Kiai Masdar.
Menurut Yon Machmudi, halalbihalal tersebut menegaskan karakter masyarakat Indonesia yang lebih ekspresif dalam merayakan hari besar keagamaan. “Perayaan-perayaannya lebih besar dibandingkan di negara-negara Arab,” ujarnya.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.
Live Update