LIPSUS Yuli TKW Hong Kong, Cover Story

Cerita Yuli Riswati Berhenti di Deportasi

13 Desember 2019 17:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Teka teki deportasi Yuli. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Teka teki deportasi Yuli. Foto: kumparan

Buruh migran dari Jember itu dipaksa pulang. Banyak anggapan, tulisan Yuli di Migran Pos soal demo Hong Kong jadi penyebab.

23 September, pukul 17.00. Di hadapannya adalah ikan dan sayuran, baru bersih ia cuci. Ia mulai memasak meski tak buru-buru. Cukup waktu bagi Yuli Riswati menyiapkan santap malam buat majikannya dua jam lagi.
Hari masih Senin. Masih yang pertama dari jadwal 6-hari-kerja-1-hari-libur bagi pekerja rumah tangga di Hong Kong macam dirinya. Seperti pekerja domestik lainnya, jam kerjanya dimulai pagi-pagi sekali. Tugas utamanya adalah menjaga lansia, seorang nenek umur 89 tahun sesepuh majikannya. Bangun tidur, ia akan sembahyang dan bergegas menemani si nenek senam Tai Chi di taman.
Di luar menjaga si nenek, Yuli juga akan menyiapkan sarapan, bersih-bersih, belanja, memasak makan malam, dan segala tugas printilan yang ia dapat sesuai permintaan majikannya. Pekerja rumah tangga (PRT) sepertinya punya peraturan harus bekerja dan tinggal di alamat yang sama, live in 24 jam. Tak ada batasan jelas soal jam kerja. Ini membuat mereka tak bisa menolak bahkan ketika majikan membangunkan mereka yang sedang tidur untuk mengurus ini itu.
Kecuali, tentu saja, sekali libur setiap Minggu yang amat berharga. Kebanyakan buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong akan berlibur dan jauh-jauh dari rumah: ke Victoria Park, ke Avenue of Star, sampai ke Repulse Bay. Yang lain akan berkumpul dengan teman BMI-nya dari daerah yang sama, berserikat, atau pada organisasi penyaluran hobi mereka seperti menari, make up, sampai fotografi.
Yuli sendiri, biasanya tiap Minggu pagi, akan mengobrol soal buku-buku jurnalisme yang telah dibeli sembari ngopi dengan enam temannya. Mereka adalah personel yang menggerakkan Migran Pos, media dengan fokus kehidupan buruh migran di Hong Kong yang didirikan Yuli Maret 2019.
Mereka akan berbagi hasil bacaan, berdiskusi, berbagi ‘penugasan’ apa yang harus diliput dan ditulis seminggu ke depan. Misalnya soal kegiatan serikat buruh migran di Hong Kong, destinasi wisata, tempat makan yang enak, sampai demonstrasi di Hong Kong yang terus mengental.
Tapi ini masih hari Senin, enam hari lagi untuk punya waktu berkumpul dengan teman-temannya. Di hadapan Yuli adalah ikan dan sayuran, dan ia tak membayangkan akan diperiksa sampai tengah malam di Departemen Imigrasi Kowloon Bay malam itu.
Hingga kemudian ia mendengar suara bel pintu berbunyi. Dua laki dan dua perempuan dari imigrasi Hong Kong, setelah dipersilakan, masuk dan memberi kabar:
“Tidak usah panik. Masalah kecil. Kamu Yuli kan? Kamu overstay.”
Yuli, yang izin kerjanya tertulis hanya sampai 27 Juli 2019, kemudian digelandang.
Yuli Riswati. Foto: Ryan Deshana Prasastya/kumparan
Yuli karib dengan Hong Kong. Sudah 12 tahun ia menetap di sana, menjadi PRT dari satu majikan ke majikan lainnya. Kabupaten Jember di pesisir selatan Jawa Timur sudah ditinggalkannya saat ia berusia 26 tahun. Hong Kong sudah menjadi rumah kedua setelah Indonesia.
Seperti halnya BMI lain (ada 165 ribu BMI di Hong Kong per Januari 2019, 41 persen dari seluruh buruh migran domestik di Hong Kong), awalnya Yuli juga aktif berkegiatan dalam serikat buruh Indonesia yang berada di Hong Kong. Di situ, diberi peran yang disebut sebagai ‘legal’, yang bertugas menampung curhatan masalah dari sesama BMI dan melakukan advokasi dalam berbagai perkara.
“Dari situ saya stres. Kan nggak mungkin kita udah dicurhatin kemudian diceritain ke orang lain, kan nggak etis banget. Saya kemudian menulisnya dalam bentuk puisi,” ujar Yuli kepada kumparan, Jumat (6/12) di Surabaya.
Dari situlah hobinya menulis tersalurkan. Sejak 2011, ia mulai rutin menulis puisi dan cerpen sebagai upayanya bertahan. “Kalau dipikir, menulis itu bukan karena biar dibaca orang. Tapi saya melakukan healing. Menulis itu kayak buang sesuatu di dada, membantu diri sendiri, melepaskan emosi dan unek-unek yang nggak mungkin diceritakan ke orang lain,” kata Yuli.
Tulisannya mendapat pengakuan pada 2018 lalu. Yuli menerima penghargaan dari Taiwan Migrant Literature Award yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan Taiwan setiap tahunnya untuk cerpen berjudul Luka itu Masih Ada di Tubuhku.
Juri mencatat, cerpen Yuli “...memiliki kekuatan bahasa sastra yang sangat baik [...] yang juga terlihat empati si penulis pada perempuan-perempuan pekerja migran yang mengalami pengalaman serupa dengannya.”
Orang-orang menghadiri rapat umum untuk mendukung Yuli Riswati, buruh imigran Indonesia dan jurnalis Indonesia yang dideportasi, di Hong Kong, 7 Desember 2019. Foto: REUTERS/Laurel Chor
Yuli tak berhenti. Meski getol menulis fiksi, ia melahap hampir segala macam bacaan. Ini tak terkecuali berita terkini soal buruh migran, Hong Kong, dan isu-isu faktual di tanah kelahirannya Indonesia. Di titik ini, naluri Yuli terganggu.
“Membaca berita itu membuat saya gelisah. Kenapa yang diberitain cuma gini-gini aja? Apalagi yang memberitakan seputar kehidupan PRT,” kata Yuli memulai ceritanya. Menurutnya, pemberitaan media soal PRT tak pernah benar-benar tepat dan selalu gagal lepas dari stigma buruk soal PRT itu sendiri.
“Orang menulis apa sih tentang PRT? Misalnya berita kalau ada PRT mengalami kecelakaan, diberitakannya pasti karena ceroboh atau ada yang memberitakan karena bunuh diri. Tidak ada satupun PRT yang pergi untuk mencelakakan dirinya sendiri,” katanya.
“Mungkin,” katanya, “Ada hal-hal di balik itu yang nggak dipedulikan, diabaikan, dan nggak ingin diketahui.” Yang dimaksud Yuli adalah pembagian hak dan kewajiban buruh migran yang kadang tak terdefinisi dengan jelas. Isu seperti tuntutan kenaikan upah, perbaikan kontrak kerja, juga jam istirahat yang tak jelas.
“Aksi-aksi buruh terakhir itu menuntut kenaikan upah, perbaikan kontrak kerja dengan memasukkan akomodasi yang layak buat pekerja rumah tangga itu apa. Makanan yang layak untuk PRT itu apa, jam kerja seharusnya seperti apa,” ujar ibu satu anak itu. Menurutnya, aturan yang mewajibkan PRT untuk tinggal serumah dengan majikannya mengaburkan batasan waktu kerja.
“Di kontrak tidak tertulis akomodasi yang layak seperti apa. Ketika ada PRT yang nggak dapat kamar, tidur di dapur, toilet, di lantai, apakah itu layak? Lalu kita harus live in 24 jam. Lagi tidur dibangunin majikan suruh ini itu ya kita tidak berani menolak,” tambahnya. Minimal, menurutnya, “Kalau nggak mau kasih jam kerja, kasih jam istirahat.”
Itu yang pada akhirnya membuatnya memutuskan untuk memulai aktivitas di media. Menurutnya, selama ini aksi yang ia dan teman-temannya lakukan di serikat buruh migran kurang mendapat perhatian yang cukup. Orasi-orasi yang mereka lakukan ia rasa terhenti pada sebuah pintu yang tertutup.
“Orang nggak tahu tentang aksi kami itu. Jadi kayak udah selesai, lalu hilang. Terus ini mau gimana? Harusnya orang lain itu lebih melihat. Dan apa yang bisa dilakukan itu adalah dengan menulis.
“Saya tidak aktif lagi di serikat buruh bukan karena jauh, tapi saya harus mengambil jalan lain tapi tetap di jalan yang ini untuk membantu teman-temanku. Jadi kayak mereka yang aksi, saya yang memberitakan. Mereka yang beraksi, saya yang ambil foto dan video,” ujarnya. “Simbiosis mutualisme.”
Para pemrotes menghadiri pawai Hari Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Front Hak Asasi Manusia Sipil, di Hong Kong, Cina, Minggu (8/12). Foto: ALASTAIR PIKE / AFP
Itulah sebabnya Yuli mulai menulis di media. Sejak Oktober 2018, ia sudah aktif menjadi kontributor suara.com.hk, media Hong Kong berbahasa Indonesia tempat jurnalis Veby Mega Indah yang matanya ditembak aparat bekerja. Meski begitu, sejak 28 Maret 2019, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Yuli bersama salah seorang wartawan televisi swasta yang tinggal di Hong Kong, mendirikan Migran Pos.
Di saat yang sama, muncul aksi protes masyarakat Hong Kong terhadap RUU Ekstradisi yang, sederhananya, dianggap mengikis kebebasan Hong Kong sebagai wilayah otonomi khusus. Dimulai pada pertengahan Maret, skala demonstrasi membesar pada Juni 2019 lalu. Sejak saat itu, tak kurang 900 kali aksi demonstrasi terjadi di Hong Kong. Aksi demonstran yang damai tak jarang berujung bentrok dengan aparat. Hampir 6.000 orang ditahan sejak Juni, dengan 30 persen di antaranya berusia 21 hingga 25 tahun.
Yang jadi masalah, dampak dari demonstrasi skala besar tersebut tak memandang mereka punya KTP mana. Selain warga lokal yang menghadapi kengerian masa depan dalam kungkungan China, BMI di Hong Kong juga terus terdampak aktivitasnya.
“Awalnya teman-teman BMI itu nggak tahu sama sekali apa yang terjadi di Hong Kong. Mereka hanya tahu, ini ada demo, udah itu tok, wes,” kata Yuli. Sementara, katanya, KJRI tak banyak membantu menerangkan dan hanya sebatas mengimbau agar menghindari area demonstrasi.
“Masalahnya, mereka (BMI) tinggal dan bekerja di Hong Kong, bukan yang orang datang pagi pulang sore. Mereka tuh tinggal di situ tuh sampai bulanan, tahunan. Dan otomatis, untuk melindungi dirinya dan tetap bisa berkegiatan, itu dengan mengetahui isu yang ada, memahami situasi terkini,” ujar Yuli.
Dari situ, Migran Pos yang kemudian diawaki oleh enam BMI lain selain Yuli, terus memberitakan info demonstrasi secara rutin, bahkan kadang melalui siaran live di media sosial. Biasanya, Migran Pos memberitakan jadwal dan lokasi demonstrasi secara rutin agar BMI dapat mengantisipasi dan tak terganggu aktivitasnya.
“Ketika ada isu di HK seperti itu, kita sebagai PRT—atau yang bekerjanya harus nganter anak ke sekolah, harus wara-wiri ke sana ke sini—mereka harus tahu titik aksi di mana, apa yang akan terjadi hari ini, apa yang terjadi hari esok, transportasi bagaimana, apakah MTR akan berhenti, apakah rute bus akan dialihkan. Informasi itu dibutuhkan,” kata Yuli.
“Bukan, 'Kamu nggak boleh ke sana, kamu nggak boleh ke sini, nanti bahaya.' Bahayanya apa?”
Meski punya niat baik dengan mendirikan Migran Pos, Yuli mengaku sering mengalami cemooh dari sesama BMI sendiri. Cibiran macam, ‘Babu nggak usahlah nulis soal gitu, itu kan isu orang Hong Kong,’ tudingan hoaks macam adanya buruh migran yang menjadi demonstran bayaran pelan-pelan mereka tepis.
“Masalahnya, cara pandang orang Indonesia terhadap PRT itu pasti gini. 'Nggak berpendidikan, nggak bisa mikir.' Stigmanya memang seperti itu. Dan stigma buruk itu hanya bisa ditepis dengan informasi dan berita yang benar,” ujar Yuli.
Warga menghadiri pameran pada sebuah aksi mendukung Yuli Riswati, buruh imigran Indonesia yang dideportasi, di Hong Kong, 7 Desember 2019. Foto: REUTERS/Laurel Chor
Pelan-pelan, apa yang dilakukan Yuli mendapatkan rekognisi. Laman Facebook Migran Pos telah diikuti lebih dari 16 ribu orang. Ia punya pembaca setia, terutama dari BMI di Hong Kong yang mengandalkan media berbahasa Indonesia untuk tahu informasi terkini terkait Hong Kong. Aminah, buruh migran asal Semarang, merupakan salah satu yang menikmati pemberitaan dari Migran Pos.
“Saya mengikuti media tersebut, dan memang kami selalu mencari berita di mana akan ada aksi,” kata Aminah kepada kumparan melalui aplikasi pesan WhatsApp.
“(Migran Pos) sangat membantu kawan buruh migran, biar saat liburan bisa mencari tempat aman dan jauh dari kerumunan orang demo, demi keselamatan kami juga.”
Begitu juga dengan Lusya, PRT lain yang sudah tinggal di Hong Kong selama 10 tahun. Menurutnya, justru karena dibuat oleh sesama buruh migran di Hong Kong, ia lebih bisa mempercayai berita yang dibacanya. “Kalau dari Migran Pos yang update, kita percaya sekali,” ujarnya melalui sambungan telepon, Kamis (12/12).
Aktivitas Yuli mewartakan apa yang terjadi di Hong Kong juga sempat ditulis oleh surat kabar lokal, Ming Pao. Di situ, Yuli bercerita soal bagaimana ia sempat dipukul oleh warga lokal dan diteriaki oleh aparat karena mengambil foto mereka sementara ia tak menggunakan rompi keselamatan yang biasanya dipakai wartawan. Di artikel tersebut, ia bilang, “Saya takut untuk memakai rompi tersebut dan disebut wartawan palsu, sementara kegiatan saya ini bukanlah kerja profesional (tidak dibayar).”
Nahas baginya, menurut Yuli sendiri, justru artikel di Ming Pao tersebutlah yang membuat dirinya ditangkap. “Kami berpraduga, proses penangkapan saya ini sehubungan dengan aktivitas saya menulis yang saat itu, entah kebetulan atau tidak, sedang viral di media lokal berbahasa Kantonese di Hong Kong,” ujar Yuli saat konferensi pers bersama AJI Surabaya, Selasa (3/12).
Teka teki deportasi Yuli. Foto: kumparan
Sisa cerita Yuli kita tahu semata. Setelah ditangkap pada Senin (23/9) dan menjalani pemeriksaan semalaman, Yuli diperbolehkan pulang dengan jaminan sebesar HKD 500. Dua hari setelahnya, ia diminta datang ke Departemen Imigrasi Kowloon Bay untuk dilakukan ‘penahanan semalam’ meski batal dan hanya menambah uang jaminan sebesar HKD 500.
Setelah itu, pada Senin (30/9) ia menjalani sidang pertama untuk pembacaan tuntutan dan dituntut melakukan pelanggaran izin tinggal. Ia wajib lapor ke polisi seminggu dua kali hingga pengadilan selanjutnya pada 4 November. Yuli juga menambah uang jaminan menjadi HKD 2.000.
Di antara dua sidang itu, majikan Yuli bertanya pada Departemen Imigrasi Wan Chai soal kasus PRT-nya. “Imigrasi Wan Chai mengkonfirmasi bahwa itu bukan kasus besar, ‘Cukup suruh pekerjamu ke sini membawa dokumen dan kami akan memberikan visa baru,’” ujar Yuli menirukan pernyataan petugas imigrasi Wan Chai.
Namun, ketika majikannya berkata bahwa dokumen sudah ada di Imigrasi Kowloon Bay dan Imigrasi Wan Chai mengkonfirmasi hal tersebut ke Kowloon, petugas dari Wan Chai menyebut bahwa kasus Yuli adalah spesial tanpa menjelaskan lebih jauh. Ia hanya meminta untuk mengikuti proses pengadilan baru membikin visa baru.
Infografik Deportasi Yuli Riswati Foto: Argy Pradipta
Pada Senin (4/11), dalam sidang keduanya, Yuli dinyatakan bersalah melanggar izin tinggal dan hanya diperingatkan bahwa dalam satu tahun ke depan tidak boleh melakukan pelanggaran hukum atau berkelakuan buruk atau ia akan didenda.
“Masalah timbul ketika saya pergi ke Kowloon untuk mengambil dokumen, ternyata dokumen sudah dilimpahkan ke Castle Peak Bay Immigration Center.Itu tempat warga asing ilegal yang akan dideportasi,” kata Yuli.
Di situ, ia justru ditahan meski pengadilan tak menyatakan hukuman apapun. Permohonan untuk penangguhan penahanan juga ditolak dengan alasan tidak ada penjamin meski majikannya telah berulang kali meminta agar Yuli diizinkan tinggal di rumahnya. Yuli ditahan selama 28 hari di sel bersama para kriminal, tanpa air panas untuk mandi di tengah cuaca dingin, tanpa perhatian medis, dan tanpa penjelasan mengapa ia ditahan.
Penahanan tersebut berakhir pada Senin (2/12), setelah Yuli dua kali dipaksa membuat pernyataan bahwa ia ingin dipulangkan ke Indonesia hari itu juga.
Surat pernyataan Yuli Riswati. Foto: dok. Yuli Riswati
Bagi Yuli Hong Kong sudah jadi rumah keduanya.
Meski begitu, rumah keduanya itu tak mau sepenuhnya menerima orang-orang macam Yuli. Gaji mereka tak setinggi buruh lokal (dengan margin hampir 100 USD per bulannya). Ia, sebagaimana lebih dari 380 ribu PRT migran dari berbagai negara, juga tidak mungkin mendapatkan status Permanent Residency. Padahal, pekerja migran lain yang bekerja sebagai bankir atau dosen berhak mendapat status tersebut setelah tinggal tujuh tahun di Hong Kong.
Dalam jurnal berjudul Focussing the Familiar? Locating the Foreign Domestic Worker in Postcolonial Hong Kong Discourse (2011), Galvin Chia berargumen bahwa hierarki sosial-ekonomi semacam ini mempertahankan pandangan PRT migran di Hong Kong selaku kelompok “kelas dua” dan bukan bagian dari komunitas lokal. Tak mengherankan ketika kemudian warga kelas dua itu punya posisi tawar yang amat rendah ketika berkasus dalam perkara apapun, termasuk dalam hal right of abode.
Kini Yuli masih tinggal di Surabaya untuk proses hukum yang ia tengah upayakan bersama LBH Surabaya. Ia masih menjalani perawatan medis dan ke psikiater atas trauma yang ditimbulkan pada masa penahanannya selama 28 hari.
(ki-ka) TKW Yuli Riswati, Kabid Perburuhan LBH Surabaya, Habibus Shalihin, dan anggota AJI Surabaya, Yovie, saat konferensi pers di Kantor LBH Surabaya. Foto: Tirta Kusuma Wardana/kumparan
Awal pekan ini (11/12) tim kuasa hukumnya telah melayangkan surat laporan resmi ke Loka Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LP3TKI) yang akan diteruskan ke Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Habibus Shalihin dari LBH Surabaya mengecam keras perlakuan terhadap Yuli dan menyayangkan tidak adanya perlindungan dari Pemerintah Indonesia terhadap Yuli selama ia berada di Hong Kong.
“Tidak ada peran negara sama sekali untuk melakukan perlindungan, tidak ada sama sekali untuk memberikan pendampingan, tidak ada negara selama proses hukum saat Mbak Yuli dihadapkan di pengadilan,” ujar Habibus dalam konferensi pers di Kantor LBH Surabaya, Jumat (6/12).
“Ini yang kemudian perlu dipertanyakan, keseriusan negara dalam menangani kasus-kasus seperti ini,” tambahnya.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu Judha Nugraha. Foto: Salmah Muslimah/kumparan
Sementara itu, Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI & BHI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan pendampingan dalam proses pengadilan Hong Kong.
“Saudara Yuli sudah memilih sendiri pengacaranya. Pejabat KJRI kemudian hadir di persidangan, ini sebagai bentuk pendampingan kita untuk memastikan bahwa hak-hak yang bersangkutan dipenuhi oleh otoritas Hong Kong, ujar Judha kepada kumparan di Direktorat Perlindungan WNI & BHI, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Kamis (5/12).
Sementara itu, untuk ‘kasus spesial’ yang disebut Yuli terjadi pada dirinya, Judha tak mau terlalu jauh berkomentar.
“Yang kami pantau memang yang bersangkutan juga punya aktivitas. Tapi kami tidak ingin berspekulasi apakah itu kemudian terkait dengan kasus hukumnya. Informasi yang kita terima adalah yang bersangkutan melakukan pelanggaran keimigrasian, sudah terbukti di pengadilan bahwa dia overstay dan tidak memperpanjang izin tinggal,” ujar Judha.
Meski begitu, bagi Anis Hidayah dari Migrant CARE, kejadian yang dialami Yuli ini bisa menjadi pengingat bagi aktivis buruh migran yang ada di negara manapun.
Sebenarnya Hong Kong adalah representasi negara yang merekognisi kebebasan berekspresi bagi pekerja asing, termasuk di dalamnya pekerja migran. Makanya kemudian Victoria Park itu menjadi salah satu area di mana mereka banyak melakukan aktivitas apapun, termasuk menulis dan lain sebagainya,” ujar Anis kepada kumparan, Kamis (5/12), di Gedung LPSK, Jakarta Timur.
Menurut Anis, selama ini justru jaringan dan gerakan buruh migran tumbuh dari Hong Kong. Namun begitu, katanya, ada kontradiksi yang terjadi pada Hong Kong dalam kasus beberapa bulan terakhir. “Ternyata, mereka sangat represif ketika menyangkut nasionalitas mereka. Bukan hanya Yuli saja, karena sebelumnya Veby Mega juga ditembak matanya,” tambahnya.
“Tapi sebenarnya itu jadi pelajaran berharga bagi teman-teman yang aktif menyuarakan demokrasi dan HAM di negara orang. Itu harus memperhatikan betul dokumen tinggal, karena jangan sampai itu justru jadi alat yang mudah digunakan untuk mematahkan mereka,” ujar Anis.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten