Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Chairul Tanjung, Anak Singkong Tekad Kingkong
11 Juni 2018 9:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Pada sebuah petang di awal Juni kemarin, pintu rumah Chairul Tanjung di Jalan Teuku Umar, Menteng, terbuka lebar. Layaknya orang Indonesia lain, CT menggelar buka bersama. Yang berbeda, tentu saja, adalah deret tetamuan yang hadir.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, presiden Indonesia ketiga, BJ Habibie. Setelah itu, gantian presiden keempat RI Susilo Bambang Yudhoyono menyusul. Berikutnya, Hatta Rajasa, Boediono, Jusuf Kalla, Moeldoko, sampai Gatot Nurmantyo satu per satu berganti hadir.
Tapi itu pun belum semua. Di samping deretan figur tersebut, tampak pula sosok-sosok petinggi dari berbagai partai politik. Dari Golkar hadir politikus senior Fahmi Idris dan Akbar Tanjung. Dari PPP, Ketua Umum Romahurmuziy mewakili. Ini menyempurnakan daftar tokoh nasional dengan berbagai latar belakang yang ‘dekat’ dengan CT.
Kedekatan dengan semua golongan ini pulalah yang menjadi musabab sekelompok orang di Jawa Barat mau repot-repot mendeklarasikan CT sebagai calon wakil presiden untuk Jokowi di Pilpres 2019. Senin (4/6), kelompok relawan Jokowi-CT mendeklarasikan keduanya sebagai pasangan siap tempur di dua kota sekaligus, Bandung dan Sukabumi.
ADVERTISEMENT
“Ada sekat [di antara] dua poros besar sejak 2014. Masih sama-sama aja, mengkubu, mengkristal dua kelompok ini. Harus ada orang yang punya instrumen melengkapi dan merepresentasikan kedua kelompok tersebut,” kata Nuran Filqalbi, Ketua Relawan Jokowi-CT Bandung, lantas menegaskan, “Jawabannya ada di Chairul Tanjung.”
Bagi mereka, Jokowi sudah baik dan hampir pasti menang. Problem justru berada di posisi wakil, dan CT mereka pandang cocok dan komplementer dengan kemampuan Jokowi.
Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya, setuju dengan anggapan Nuran. Menurutnya, CT memang punya modal kuat untuk menjembatani kubu Jokowi dan seberang yang dinilai punya jurang luas.
“Nama-nama tokoh Islam atau jenderal dianggap cocok mendampingi Jokowi. Atau bisa juga sosok yang dianggap dekat dengan kelompok Islam. Dalam konteks ini, JK masuk,” ujar Yunarto.
ADVERTISEMENT
“Pak CT juga masuk di sini, karena kedekatan dia dengan kelompok PKS, juga kedekatan dia dengan kelompok-kelompok Islam cukup baik.”
The Rising Star
Jakob Oetama, pemilik Kompas-Gramedia Group, pernah mengibaratkan Chairul Tanjung sebagai Raja Midas. Menurutnya, hampir segala usaha yang didirikan CT selalu berhasil. Dari usaha alat kesehatan, perbankan-investasi, sampai media dan supermarket, berhasil CT rintis dan sukseskan menjadi raksasa CT Corp.
Menurut laporan Forbes The World’s Billionaire 2018, CT menempati posisi kelima dalam daftar manusia terkaya di Indonesia. Perkiraan kekayaannya mencapai USD 3,6 miliar, atau Rp 50,1 triliun. Jumlah luar biasa tersebut merupakan akumulasi dari asetnya di CT Corp , konglomerasi perusahaannya yang dulu bernama Para Group.
ADVERTISEMENT
Layaknya Raja Midas, semua yang CT sentuh menjadi emas.
Sudah begitu, menjulangnya nama CT terasa spesial. Ia adalah the rising star, bintang kejora baru di puncak piramida dunia bisnis Indonesia.
Memang, CT kaya sudah sejak lama. Tapi ia berbeda. Ia tak masuk kategori ‘anak orang kaya, anak jenderal, maupun anak konglomerat’ --kelompok yang biasanya memenuhi daftar orang-orang kaya Indonesia.
Hidup CT muda menyedihkan. Ia dilahirkan 16 Juni 1962 sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Ayahnya, Abdul Ghafar Tanjung, merupakan Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Ranting Sawah Besar dan menjadi pemilik penerbitan beberapa surat kabar.
Namun, datangnya Orde Baru menjadi petaka bagi mereka yang Sukarnois. Surat kabar ayah CT diberedel, asetnya pun diambil paksa. Keadaan ekonomi keluarga Tanjung terjun bebas. Mereka bangkrut.
ADVERTISEMENT
Hidup keluarga Tanjung jauh dari berkecukupan. Mereka tinggal di sebuah kamar petak tanpa toilet dan harus tidur berjejalan delapan orang dalam satu ruangan.
Uang kuliah pertama CT di Kedokteran Gigi Universitas Indonesia bahkan harus ditebus dengan selendang sutra satu-satunya milik ibunda, Halimah Tanjung.
Hati CT hancur, saat suatu malam, ibunya bertanya, “Kamu punya sedikit uang, Rul? Uang Ibu habis dan untuk belanja pagi nanti sudah tidak ada lagi. Bapak pun sama sekali tidak ada [uang].”
Pengalaman itu membekas di benak CT hingga kini. Tjahja Gunawan Diredja, penulis biografi Chairul Tanjung, paham betul soal itu.
“Waktu itu kami sedang makan bersama, kebetulan makanan saya nggak habis. Saya dimarahi, ‘Gun, dihabisin itu makan. Di luar sana banyak orang nggak bisa makan.’ Kira-kira begitulah,” ujar Tjahja yang juga mantan wartawan Kompas.
ADVERTISEMENT
Fase hidup tak menyenangkan inilah yang menempa CT dan membuatnya menjadi sosok yang seperti sekarang.
Dahulu, keluarga Tanjung berpindah-pindah dari losmen ke losmen, sampai akhirnya mondok tetap di daerah Gang Abu, Batutulis (saat itu area kumuh yang menjadi simbol kemiskinan Jakarta).
Dari situlah julukan Si Anak Singkong muncul.
Jakob Oetama boleh saja menjulukinya Raja Midas. Namun, Chairul Tanjung tahu bahwa panggilan Si Anak Singkong jauh lebih tepat untuk menggambarkan dirinya.
“[Artinya] anak kampung. Atau kalau di Jakarta, dia adalah anak pinggiran dari keluarga miskin,” jelas Tjahja.
Politik itu Jahat
Diberedelnya surat kabar sang ayah punya dampak tersendiri bagi Chairul Tanjung. Tak hanya membuat keadaan ekonomi keluarganya memburuk, pemberedelan Suluh Indonesia oleh rezim Soeharto sedikit banyak membentuk pandangan politik seorang CT.
ADVERTISEMENT
Dalam biografinya yang terbit pada 2012, CT menyebut ayahnya merupakan sosok yang terlalu idealis. “[Bapak] adalah tipe orang zaman dahulu yang menganggap ideologi pegangannya sebagai harga mati, bahkan rela mengorbankan apa pun demi cita-cita partai.”
Dakwaannya tersebut terbukti saat arus politik berubah mengikuti tikungan zaman. Tetap menerbitkan surat kabar yang menjadi corong PNI di awal rezim Soeharto jelas kabar buruk bagi siapa pun. Sikap ayahnya yang kurang luwes itulah yang berperan membawa keadaan ekonomi keluarga CT ke arah memprihatinkan.
Perihal tersebut pernah ditanyakan Tjahja kepada CT sendiri. Apakah CT tak punya dendam pada rezim tersebut?
“Memperjuangkan ideologi sampai mati, tapi generasi muda termasuk gue sekarang ini enggak bisa kayak gitu lagi memperjuangkan ideologi,” ujar Tjahja menirukan ucapan CT.
ADVERTISEMENT
Proses penyusunan buku Si Anak Singkong yang memakan waktu sekitar dua tahun membuat Tjahja tahu luar dalam sosok CT.
“Misalnya ideologi lu sosialis, kerakyatan. Enggak bisa lu teriak-teriak, enggak bisa. Gue ini pengusaha. Gue harus pro-rakyat, artinya menciptakan lapangan pekerjaan,” lanjut Tjahja, menggambarkan jawaban pragmatis CT soal bagaimana ia melihat perbedaan sikap politik miliknya dan sang ayah.
Berbeda dengan CT, peristiwa pemberedelan Suluh Indonesia berpengaruh besar pada pandangan ibunya terhadap politik. Politik itu jahat.
Meski CT sendiri tak memiliki dendam, garis nasib yang berubah 180 derajat itu membuat Halimah punya pesan khusus pada anaknya: untuk tidak berbisnis sumber daya alam dan untuk tidak masuk ke dunia politik.
Harus Nomor Satu
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Chairul Tanjung memang pebisnis. Politik, setidaknya dilihat dari gelagatnya yang terbuka, tak pernah menjadi tujuan yang ia idamkan.
Sedari muda, CT getol mengejar semua kesempatan yang ada demi sukses di dunia bisnis, bagaimana pun caranya asal tak melanggar aturan.
He takes no second best. Ia selalu terjun langsung, meski posisinya sudah sedemikian tinggi dan mudah saja mendelegasi.
Lantip mental bisnisnya ini terlihat, misalnya, saat ia hendak menerbitkan buku biografinya. Tjahja awalnya mengajukan judul Lompatan Kehidupan Chairul Tanjung untuk biografi yang ditulisnya itu. Namun, usul tersebut ditolak CT mentah-mentah.
Biografi yang ditulis untuk merayakan ulang tahunnya ke-50 itu ia juduli sendiri: Chairul Tanjung Si Anak Singkong.
“Pak CT itu paham betul soal branding dan marketing,” aku Tjahja.
Sampai kini pun, CT selalu terjun langsung dalam mengurusi bisnisnya. Ia dominan, mengikuti secara detail manajemen harian perusahaan-perusahaannya.
ADVERTISEMENT
Maka ketika pada 2014 ia sempat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian selama enam bulan dan terpaksa meninggalkan bisnisnya, perusahaannya sempat terjun bebas.
“Belum ada regenerasi. Orang masih depend on him. Makanya yang resisten dia masuk politik itu bukan hanya keluarganya --ibunya, istrinya, tapi juga internal [perusahaan]nya juga,” ujar Tjahja menjelaskan keengganan CT terang-terangan memasuki dunia politik.
“Belum ada orang yang bisa gantiin. Semua depend on him. Semua rapat itu urusan ke dia.”
Bahkan, menurut Tjahja, apabila benar CT akan masuk politik pun, posisi nomor dua sebagai wakil presiden tak akan cocok buatnya.
“Dia bukan tipikal orang nomor dua. Tipikalnya dia itu harus nomor satu, belum pernah ada, dan harus the best. Menjadi nomor dua justru bisa negatif buat dia,” kata Tjahja.
ADVERTISEMENT
CT boleh saja dijuluki Anak Singkong, tapi dia jelas punya tekad Kingkong.
------------------------
Ikuti terus laporan mendalam Wapres Anak Singkong di Liputan Khusus kumparan.