CSIS Kritisi Penyusunan UU DPR-Pemerintah Serba Cepat: Fast Track Legislative

7 Juli 2022 14:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkumham Yasonna H. Laoly rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6).  Foto: DJKI Kemenkumham
zoom-in-whitePerbesar
Menkumham Yasonna H. Laoly rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6). Foto: DJKI Kemenkumham
ADVERTISEMENT
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal, mengkritisi anggota DPR yang terlalu cepat mengambil keputusan dalam penyusunan kebijakan publik. Menurut dia, hal itu seringkali memantik kritik dari masyarakat karena tidak ada transparansi.
ADVERTISEMENT
"Kita ini sekarang ini mengalami suatu tren yang disebut fast track legislative, jadi cepat sekali perumusannya. Sebenarnya begini, saya mengutip seperti ini. Pengesahan ini, prosedur khusus ini, pengesahan RUU ini dilakukan dalam tahapan yang normal namun dengan jadwal yang begitu dipercepat dalam tiap tahapan. Ini tren hari ini," ujar Nicky dalam agenda CSIS Media Briefing dengan tajuk: Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil yang digelar secara hybrid, Kamis (7/7).
Menurut Nicky, situasi ini jelas tidak sehat bagi iklim demokrasi Indonesia. Ia bahkan tak menampik potensi tren fast track legislative proceduring yang dilakukan legislator dan pemerintah dapat menjadi langkah menutup peran masyarakat dalam proses penyusunan aturan publik.
"Jadi teman-teman bisa memperhatikan beberapa undang-undang cepat sekali disahkan, karena ini ada trennya fast track legislative proceduring. Nah, menurut saya adalah apabila ini diterapkan, maka ini akan menutup partisipasi publik, menutup publik ingin memberikan masukan terhadap pembahasan RKUHP karena trennya sudah ada," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut, kata Nicky, terjadi pada proses pembahasan RUU KUHP. Belum banyak diperbincangkan baik buruknya isi aturan itu kepada khalayak luas, publik kini dihadapkan pada kenyataan aturan itu berada diambang proses persetujuan DPR.
Padahal, seharusnya aturan itu dibuka terlebih dahulu kepada publik sebelum diputuskan untuk disetujui isinya dan diundangkan aturannya.
"Yang beredar selama ini adalah versi September 2019 artinya cukup lama itu di-keep. Nah, ini harusnya apabila menginginkan partisipasi publik yang lebih bermakna, maka akses publik terhadap draft harus dibuka dari sebelumnya. Supaya publik bisa memberikan opini memberikan pandangan bagaimana hukum pidana bisa selaras dengan demokrasi," tegas Nicky.
"Bagaimana publik bisa menilai rancangan tersebut adalah sesuai dengan komitmen demokrasi konstitusional atau sebaliknya dan kita baru mendapatkan itu, kemarin saya mendapatkan itu kemarin yang versi terbaru yang versi 4 Juli," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Nicky mendorong pemerintah untuk lebih mengedepankan komunikasi terkait urusan penyusunan kebijakan publik. Dari situ diharapkan aturan yang lebih berkeadilan di mana publik dapat ikut terlibat di dalam proses pembahasannya.
"Kita tahu partisipasi bermakna itu terdiri dari tiga persyaratan yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, lalu hak untuk mendapatkan penjelasan atas jawaban yang diberikan. Ini yang menjadi concern publik hari ini. Banyak masukan, banyak kajian untuk menyempurnakan RKUHP namun tidak semuanya bisa diadopsi, tidak semua bisa didengarkan, terkadang diabaikan," pungkas Nicky.