Dalam 25 Tahun, Ada 4.610 Pengidap HIV di DIY

3 Desember 2018 19:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
HIV AIDS (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
HIV AIDS (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menghimpun data penderita HIV/AIDS dari tahun 1993 hingga September 2018. Selama rentang waktu 25 tahun, tercatat ada 4.610 orang terjangkit HIV/AIDS, 1.573 orang di antaranya sudah dalam fase AIDS
ADVERTISEMENT
“Itu data kumulatif sejak tahun 1993. Dan tidak semua merupakan warga DIY. Ada yang penduduk KTP luar DIY juga,” ucap Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes DIY Setyarini Hestu Lestari saat ditemui di kantornya, Senin (3/12).
Jika dirinci, jumlah 4.610 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) secara rinci di kabupaten/kota di DIY berada di Kota Yogyakarta yaitu orang dengan 263 orang di antaranya sudah masuk fase AIDS. Kemudian di Kabupaten Sleman ada 1.046 ODHA, dengan 366 di antaranya sudah masuk fase AIDS.
Selanjutnya di Kabupaten Bantul ada 992 ODHA dengan 326 di antaranya sudah masuk fase AIDS. Disusul dengan Kabupaten Gunungkidul dengan 337 ODHA dengan 208 di antaranya masuk fase AIDS. Dan terakhir, Kabupaten Kulonprogo dengan 204 kasus dan 75 di antaranya masuk fase AIDS.
ADVERTISEMENT
“Sisanya penduduk di luar DIY sekitar 636 kasus dengan 286 di antaranya fase AIDS,” beber wanita yang akrab disapa Rini itu.
Usia Produktif Rentan Terserang
Setyarini Hestu Lestari, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes DIY saat ditemui di kantornya, Senin (3/12).  (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Setyarini Hestu Lestari, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes DIY saat ditemui di kantornya, Senin (3/12). (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
Berdasarkan data 1993 hingga 2018, usia produktif masih mendominasi kasus HIV/AIDS di DIY. Usia 20-29 mendominasi dengan 1.402 kasus HIV, disusul dengan usia 30-39 dengan 1.299 kasus dan usia 40-49 tercatat ada 746 kasus.
Sementara jika dilihat berdasarkan pekerjaan, profesi wiraswasta menjadi yang paling rentan dengan 667 kasus, disusul mahasiswa atau siswa dengan 329. Di sisi lain, dalam 25 tahun terakhir ada 108 PNS yang menderita HIV, serta 10 tenaga medis.
“Kalau saya ya angka biarlah angka. Yang penting bagaimana upaya yang dilakukan. Ini kan data yang kita himpun sejak 1993. Kemudian (yang penting) upaya menanggulanginya apa supaya tidak tertular pada penerus kita,” ungkap Rini.
ADVERTISEMENT
Saat disinggung soal angka 108 PNS yang terjangkit HIV, Rini menjelaskan penyebabnya tidak hanya karena hubungan seksual berisiko, tetapi juga bisa hal lain seperti donor darah.
“Belum tentu faktor perilaku bisa jadi mungkin dulu ada donor darah yang tidak terseleksi,” kata dia.
Jika dilihat dari penularannya, faktor risiko tertinggi masih pada hubungan seksual, dengan rincian heteroseksual 2.464, homoseksual 759 kasus, dan narkotika suntik 272.
“Narkotika suntik kalau saya bilang (sekarang) memang kecil ya karena barangnya narkotiknya sudah tidak ada di pasaran jadi pengguna sedikit," ujar Rini.
Masyarakat Jangan Takut Periksakan Diri
Ilustrasi dukungan terhadap pengidap HIV. (Foto: Commons Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukungan terhadap pengidap HIV. (Foto: Commons Wikimedia)
Salah satu cara mengetahui HIV adalah dengan tes Voluntary Counseling and Testing (VCT) secara berkala untuk mendeteksi risiko terkena penyakit tersebut. Masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas tes tersebut di 121 Puskesmas di DIY.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat untuk mengetahui harus segera periksa. Mestinya periode jendela 3 bulan. Kalau seseorang dengan faktor risiko tinggi saya memyarankan periksa di 3 bulan pertama,” jelas Rini.
Termasuk pula untuk ibu hamil yang turut disediakan pemeriksaan sifilis, HIV, dan hepatitis. Jika diketahui ibu hamil menderita HIV, maka akan diberikan obat ARV secara gratis. Obat tersebut berfungsi untuk melemahkan virus HIV sehingga tidak menular ke janin.
“Obatnya hanya obat dari Kemenkes pusat, dari BPJS tidak ada. Dari pusat menyediakan obat tersebut subsidi dan gratis,” tegas dia.
Rini menjelaskan, saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV. Sementara obat ARV hanya berfungsi untuk melemahkan virus agar tidak semakin parah dan menjadi AIDS.
ADVERTISEMENT
“Virus tersebut menyerang daya tahan seseorang. Artinya kalau daya tahannya turun artinya dia bisa terkena penyakit gampang terkena penyakit. Jadi kalau dulu belum ada obatnya. Sekarang degan adanya pbatbtersebut sesorang terkena HIV dia minum obat dan insyaallah untuk menjadi AIDS, tidak. Dia akan bertahan di HIV terus melemah dan tidak menularkan,” kata Rini.
Pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
zoom-in-whitePerbesar
Pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
Selain bermacam upaya pencegahan, Dinkes DIY juga melakukan edukasi untuk mendorong masyarakat tidak mendiskriminasi ODHA. Di samping itu, pihaknya juga menyediakan konselor di seluruh Puskesmas yang ada.
Sementara iu, seorang karyawan swasta di Yogyakarta bernama Kusuma Jaya mengakui sudah waktunya agar masyarakat memahami apa itu HIV/AIDS. Karena dengan kurangnya informasi maka jadi sering muncul persepsi yang salah terkait ODHA.
ADVERTISEMENT
“Kita harus tahu bahwa ODHA tidak harus dijauhi. Tapi kita juga tidak boleh abai dengan faktor-faktor penularan HIV salah satunya hubungan seks berisiko,” ujar Kusuma.
Sementara, Lismi salah seorang bidan swasta di Yogyakarta mengungkpakan tenaga medis juga memiliki risiko tertular HIV dari pasien. Untuk itu sudah semestinya tenaga medis menerapakan SOP, terutama terkait perlindungan diri juga alat medis.
“Menangani pasien apapun pemakaian alat pelindung diri harus lakukan,” tutup Lismi.