Dalam Cengkeraman Industri Asbes

11 Januari 2018 16:11 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Industri asbes telah dilarang di 52 negara di dunia. Hampir semua negara-negara Barat--dengan pengecualian Amerika dan Kanada--telah melarang produksi maupun konsumsi asbes. Meski demikian, bukan berarti industri asbes mati.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mati, korporasi asbes mulai mengalihkan pangsa bisnis mereka ke negara-negara berkembang. Betapa tidak, dengan jumlah populasi besar, pembangunan ekonomi masif, dan tingkat kesadaran akan bahaya asbes yang rendah, negara-negara berkembang adalah “surga”--pasar menjanjikan bagi bisnis asbes.
Asbes memang dikenal sebagai bahan konstruksi yang nyaris sempurna: tahan api dan panas, kuat dan murah. Selama beberapa dekade, dimulai sejak awal abad ke-20, negara-negara industri seperti Amerika Serikat sampai Australia bergantung pada bahan ini di industri mereka yang saat itu berkembang pesat.
Pada masa itu, bahan asbes banyak digunakan untuk membuat produk-produk semacam pipa, bahan perakitan kapal, kampas rem, atap, dan lantai bangunan.
Setelah mulai digunakan secara masif di berbagai industri di negara Barat, produksi dan konsumsi asbes terus meningkat, dan mencapai puncaknya pada 1980 dengan nilai agregat produksi dan konsumsi hingga 4,8 juta ton.
ADVERTISEMENT
Namun setelah itu, nilai produksi dan konsumsi asbes terus turun, hingga mengalami stagnasi mulai dekade 2000 dengan nilai agregat produksi dan konsumsi berada pada kisaran angka 2 juta ton per tahun.
Kemerosotan hingga pelarangan asbes bukan tanpa alasan. Sejak semula, terlepas dari statusnya sebagai bahan konstruksi yang nyaris sempurna, asbes memang sudah bermasalah. Laporan International Consortium for Investigative Journalists (ICIJ) berjudul “Dangers in the Dust” yang dirilis tahun 2010 menceritakan sejarah kemerosotan industri asbes itu dengan cukup apik.
Menurut laporan ini, sejak tahun 1918, perusahaan asuransi Amerika dan Kanada telah menolak klaim asuransi dari buruh-buruh industri asbes yang mulai terjangkit penyakit paru. Satu dekade berselang, tepatnya tahun 1930, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah memberikan peringatan berbunyi, “Seluruh asbes yang ditambang, tanpa perlu dipertanyakan lagi, mengandung bahaya racun yang cukup besar.”
ADVERTISEMENT
Namun perlawanan buruh yang dirugikan oleh industri asbes di negara-negara Barat baru terjadi 1966. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya, dilakukan tuntutan hukum oleh Claude Tomplait, buruh manufaktur asal Texas, terhadap korporasi asbes, Johns Manville Fibreboard dan Owens Corning Fiberglass.
Sejak itu sampai tahun 1981, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 200 korporasi dan perusahaan asuransi yang menghadapi tuntutan hukum akibat perkara asbes.
Tuntutan demi tuntutan terus berlangsung selama kurun waktu 1960 sampai 2002. RAND Corporation, organisasi think tank Amerika, mencatat pada kurun waktu tersebut setidaknya terdapat 730 ribu warga yang mengajukan tuntutan hukum terhadap korporasi asbes di AS. Hasilnya, korporasi asbes harus membayar biaya kerusakan dan litigasi sebesar USD 70 juta, dengan USD 30 juta di antaranya dibayarkan kepada warga yang mengajukan tuntutan.
ADVERTISEMENT
Seiring ditemukannya bukti-bukti yang mengungkap bahaya asbes bagi kesehatan, pada 1980-an, negara-negara Skandinavia mulai memberlakukan pelarangan terhadap produk ini.
Namun, pukulan terbesar bagi industri asbes baru terjadi tahun 1999, ketika Uni Eropa memberlakukan pelarangan asbes putih per Januari 2005. Kebijakan Uni Eropa ini segera diikuti negara-negara lain seperti Jepang, Australia, Chile, dan Mesir.
Sampai saat ini, sudah 52 negara yang melarang penggunaan asbes.
Menyasar Negara Berkembang
Asbes sudah tidak laku lagi di negara-negara maju. Uni Eropa sejak tahun 1999 telah melarang produksi mapupun konsumsi asbes putih (chrysotile)--jenis asbes yang dianggap paling aman. Sementara di AS, asbes memang masih dilegalkan, namun industri asbes mesti membayar USD 70 juta sebagai kompensasi atas kerusakan, serta biaya litigasi (proses hukum) yang ditimbulkan oleh aktivitas industri tersebut.
ADVERTISEMENT
Penggunaan asbestos di Amerika juga dibatasi hanya untuk industri tertentu seperti otomotif, rem pesawat tempur, dan produk-produk otomotif lainnya. Bahkan, Kanada--yang disebut ICIJ sebagai negara yang paling gigih membela produksi dan konsumsi asbes putih--akhirnya berencana melarang bahan itu pada 2018 ini.
Namun, pelarangan demi pelarangan (lagi-lagi) bukan kiamat bagi industri asbes. Saat ini, korporasi-korporasi asbes menyasar pasar potensial di negara-negara berkembang.
Pabrik asbes di Cibinong. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Berdasarkan data yang dihimpun United States Geological Surveys (USGS) pada 2015, sampai saat ini hanya terdapat 8 negara produsen asbes di dunia. Tiga negara dengan produksi asbes terbesar adalah Rusia dengan total produksi per tahun mencapai lebih dari 1 juta ton, disusul China di kisaran 300-400 ribu ton, dan Brasil sekitar 200 ribu ton.
ADVERTISEMENT
“Dangers in the Dust” juga mengungkap, sejak 2009 kurang lebih 2 juta asbes ditambang setiap tahunnya di Rusia, China, dan Brasil. Kebanyakan dari asbes yang ditambang itu diolah menjadi produk atap dan pipa air.
Asia sampai saat ini merupakan pasar asbes terbesar di dunia. Dari kurang lebih 2 juta ton asbes yang diproduksi tiap tahunnya, hampir seluruhnya (sekitar 1,6 juta-1,7 juta ton asbes) diekspor ke negara-negara di kawasan Asia.
Negara dengan konsumsi asbes terbesar di Asia secara berturut-turut adalah China dengan rata-rata konsumsi asbes per tahun mencapai 500 ribu-600 ribu ton, India 300 ribu-400 ribu ton, dan Indonesia 100 ribu ton.
Melihat fakta-fakta tersebut, ada satu pertanyaan yang penting diajukan: mengapa asbes dilarang di negara-negara Barat, namun tidak di negara-negara berkembang?
ADVERTISEMENT
Apabila mengacu pada laporan ICIJ, jawabannya adalah karena korporasi asbes telah melakukan berbagai lobi ke pemerintah. Dengan begitu, nyaris semua informasi tentang dampak dan bahaya asbes tak disampaikan ke publik.
Menurut hasil investigasi ICIJ, sejak pertengahan 1980, korporasi-korporasi asbes diprediksi telah mengeluarkan hampir USD 100 juta untuk tetap mempertahankan kelangsungan bisnis mereka. Laporan ini secara khusus menguak aktivitas lobi yang berlangsung di India oleh Asosiasi Pengusaha Pabrik Semen Asbes (ACPMA) yang terdiri dari 12 korporasi industri asbes di India.
ACPMA telah mengeluarkan dana sebesar USD 50 juta sebagai bagian dari aktivitas lobi mereka ke pemerintah India. Hasilnya, di India, produk-produk asbes tidak dilengkapi label peringatan dampak asbes bagi kesehatan. Pun di India, terjadi pembungkaman organisasi buruh. Para buruh tidak diberi informasi untuk memahami potensi penyakit akibat asbes di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Menggeliat di Indonesia
Ketika banyak negara di dunia telah melarang penggunaan asbes, tingkat konsumsi asbes di Indonesia justru masih relatif tinggi. Kombinasi antara kemudahan berinvestasi, regulasi perlindungan buruh yang lemah, dan permintaan pasar yang tinggi membuat produsen asbes tidak pikir panjang untuk berbisnis di Indonesia.
Lembaga United States Geological Surveys dalam laporan mereka berjudul 2014 Minerals Yearbook; Asbestos, melaporkan selama kurun waktu 2011-2013, Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi asbestos terbesar nomor lima di dunia, nomor tiga di Asia, dan pertama di kawasan Asia Tenggara.
Tingkat konsumsi asbes di Indonesia selama kurun waktu tersebut cenderung tinggi, dengan tren pertumbuhan konsumsi yang fluktuatif.
Geliat Asbes di Indonesia (Foto: Jafrianto/kumparan)
Pada 2011, Indonesia mengonsumsi 124 ribu ton asbes. Tahun 2012, angkanya meningkat menjadi 162 ribu ton. Sementara di tahun 2013, tingkat konsumsi asbes menurun sedikit ke angka 156 ribu ton, dan kembali turun ke 109 ribu ton di 2014.
ADVERTISEMENT
Sementara apabila ditilik sejak 2000, maka akan tersingkap terang bahwa konsumsi asbes di Indonesia telah melonjak signifikan sejak pertengahan dekade 2000-an.
Tahun 2000, angka konsumsi asbes hanya berkisar 40 ribu ton per tahun. Angka itu sempat berkurang menjadi 35 ribu ton pada 2006. Namun meningkat lebih dari tiga kali lipat ke angka 105 ribu ton per tahun di 2010. Dua tahun berselang, angka itu terus tumbuh hingga mencapai 147 ribu ton per tahun.
Ironisnya, meski tingkat konsumsi asbes di Indonesia tergolong tinggi, seluruh bahan asbes merupakan produk impor. Seiring pertumbuhan konsumsi asbes yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, angka impor asbes berdasarkan data Badan Pusat Statistik juga terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Pada 2007, Indonesia mengimpor 74.460 ton asbes, sedangkan di tahun 2012, total impor asbes meningkat dua kali lipat lebih menjadi 162,418 ton. Namun sejak 2012, tingkat impor asbes cenderung terus turun. Pada 2013, total impor asbes menurun ke angka 156.041, dan pada 2014 terus menurun menjadi 109.687 ton. Sementara di tahun 2015, angka impor kembali meningkat menjadi 120.458.
Berbeda dengan Amerika yang membatasi asbes untuk kepentingan industri, asbes di Indonesia utamanya digunakan sebagai bahan pembuat atap rumah.
Berdasarkan laporan BPS tentang “Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016”, sebanyak 9,25 persen dari 300 ribu rumah tangga perdesaan dan perkotaan di Indonesia menggunakan asbes sebagai bahan atap rumah mereka.
Mengingat reputasi Indonesia sebagai kawasan rawan bencana, laporan BPS tersebut sebetulnya mengkhawatirkan.
Kondisi Salah Satu Pabrik Asbes (Foto: Dok. Istimewa)
Di tengah minimnya informasi tentang bahaya asbes, pihak yang paling diuntungkan oleh kondisi ini tentu saja adalah perusahaan. Berdasarkan data yang dihimpun aktivis Local Initiative for OSH Network Indonesia, Wiranta Ginting, dalam konferensi 2016 Asbestos Awareness and Management yang diselenggarakan di Adelaide, Australia, diperkirakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh 17 korporasi bisnis atap asbes di Indonesia mencapai angka USD 88 juta atau setara dengan Rp 1,1 triliun.
ADVERTISEMENT
kumparan berusaha menghubungi dua perusahaan asbes untuk meminta keterangan lebih lanjut. Namun sampai artikel ini ditayangkan, kedua perusahaan tersebut belum memberikan tanggapan.
Sementara Sudi Astono, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja, mengatakan pemerintah telah melarang asbes biru.
“Asbes biru yang sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia jelas dapat menyebabkan kanker. (Sementara) asbes putih memang bisa menyebabkan asbestosis. Secara teori dan literatur diketahui bahwa asbes itu bisa menyebabkan asbestosis. Makanya ada peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) pada penggunaan asbes, supaya tidak menimbulkan asbestosis,” kata Sudi kepada kumparan, Selasa (9/1).
Soal apakah Indonesia berencana melarang asbes, Sudi menyatakan itu bukan kapasitasnya untuk menjawab. “Karena persoalan itu menyangkut perhitungan sosial-ekonomi dan kebijakan ketenagakerjaan yang berada di level tinggi.”
ADVERTISEMENT
Bisnis asbes, berdasarkan angka-angka di atas, sesungguhnya memang menguntungkan. Namun tanpa kita sadari, angka-angka itu juga mengisyaratkan Indonesia sedang menyimpan bom waktu, yaitu risiko masyarakat terjangkit penyakit akibat asbes di masa depan.
Barangkali, slogan populer yang diulang-ulang oleh guru-guru sekolah kita cukup relevan: lebih baik mencegah daripada mengobati.