Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tak perlu meminjam jari-jari Thanos untuk memusnahkan populasi manusia secara signifikan bila satu virus dapat melakukannya.
Ucapan itu disampaikan Bill Gates, tokoh bisnis dan dermawan AS yang juga pendiri Microsoft Corporation, dalam pidatonya tiga tahun lalu pada Munich Security Conference. Pernyataan itu kembali bergaung akhir Januari 2020, seiring merebaknya wabah virus corona .
Gara-gara virus corona, kota-kota di China mengalami karantina massal. Sebuah kapal pesiar berisi 6.000 orang di Laut Mediterania juga sempat dikarantina lantaran salah satu penumpangnya yang asal China demam dalam perjalanan. Pemerintah Kota Civitavecchia di Italia yang hendak disandari kapal itu ketakutan dan melarang seluruh penumpang turun.
“Apa kamu gila? Siapa yang memberi perintah untuk menurunkan penumpang? Saya akan menyeretmu ke pengadilan. Kalau kamu membiarkan satu orang saja turun dari kapal, kamu akan menanggung risikonya,” teriak Wali Kota Civitavecchia, Ernesto Tedesco, kepada syahbandar, seperti dilansir The Guardian, Kamis (30/1).
Virus corona benar-benar jadi momok. Jenisnya kali ini dinamai novel coronavirus (2019-nCoV) karena belum teridentifikasi.
“Novel” secara harfiah memiliki arti “baru” atau “asing” atau “tidak diketahui”. Sementara “corona” berasal dari kata “crown”, merujuk pada bentuk virus tersebut yang runcing menyerupai mahkota. Nama populernya: Wuhan coronavirus—mengacu pada nama kota di China yang menjadi sumber penyebarannya.
Guna mencegah penyebaran Wuhan coronavirus, otoritas China mengisolasi 16 kota dan 50 juta orang di dalamnya. Ini karantina terbesar sepanjang sejarah. Di kota-kota itu, transportasi publik dihentikan. Bus, kereta, kapal, pesawat, semua tak beroperasi.
Wuhan, metropolis yang jadi awal petaka 2019-nCoV, adalah kota terbesar ketujuh di China dengan populasi melebihi 11 juta orang. Ia juga pusat jaringan transportasi di wilayah tengah China.
Meski tak seterkenal Beijing atau Shanghai, Wuhan punya rute penerbangan ke berbagai negara. Tak heran nCoV menyebar cepat ke seluruh dunia, dari Asia sampai Amerika dan Eropa, walau angka penularan terbanyak tetap di China.
Dalam sehari saja, angka penyebaran novel coronavirus di China bisa mencapai 1.500 sampai 3.000 kasus. Angka-angka tersebut berdasarkan pencatatan real time John Hopkins Center for Systems Science and Engineering, dengan data antara lain berasal dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS (CDC).
Jumlah kasus novel coronavirus yang melebihi 17.000 kurang dari dua bulan sejak pertama kali terdeteksi, melampaui rekor SARS—penyakit “sepupu” nCoV yang sama-sama berasal dari virus corona.
SARS yang mewabah sekitar delapan bulan pada periode 2002-2003 “hanya” menginfeksi 8.096 orang. Meski demikian, jumlah kematian akibat SARS yang mencapai 774 orang, masih lebih tinggi dibanding nCoV yang “baru” di angka 362 per 3 Februari 2020.
Novel coronavirus, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) adalah “tiga bersaudara”. Ketiganya berasal dari satu keluarga “virus corona” yang menyerang sistem pernapasan dan dapat menyebabkan pneumonia atau radang paru-paru hingga kematian.
Seiring peningkatan tajam pada persebaran Wuhan coronavirus di 31 Januari, WHO menetapkan darurat kesehatan global untuk mengantisipasi potensi penyebarannya di negara-negara dengan sistem kesehatan publik lemah.
Tak lama setelah darurat global yang diumumkan WHO, Amerika Serikat meningkatkan travel advisory-nya ke level 4—do not travel—bagi warganya yang hendak bepergian ke China. Anjuran serupa juga diterapkan AS ke Irak dan Afghanistan, namun karena alasan yang berbeda, yakni terorisme dan konflik bersenjata.
Secara tak langsung, Amerika Serikat menyejajarkan risiko kesehatan (health risk) dengan risiko keamanan (terrorist threat/safety risk/crime risk). Pada titik tertentu, mayoritas warga dunia saat ini mungkin merasa lebih terancam dengan corona ketimbang potensi perang atau bahaya nuklir.
Ini pula yang disinggung Bill Gates dalam pidatonya di Munich Security Conference—konferensi keamanan internasional yang berlangsung setiap tahun di Munich, Jerman. Menurut Gates, dunia cenderung mengabaikan keterkaitan antara keamanan kesehatan dan keamanan internasional. Padahal, keduanya terikat erat.
Gates memandang pandemik sebagai ancaman yang sama berbahaya seperti perang nuklir dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, menurutnya, mengabaikan health security dapat berakibat fatal.
“Fakta bahwa pandemik global yang dahsyat belum terjadi dalam sejarah modern, bukan berarti pandemik mematikan tidak akan terjadi di masa depan,” ujar Bill Gates . Pandemik ialah penyakit di suatu kawasan yang tersebar luas ke seluruh dunia.
Gates kemudian mengumpamakan virus Ebola—yang menyerang Afrika Barat—menyebar ke luar benua Afrika.
“Bayangkan kekacauan ekonomi dan sosial yang meletup bila penyakit seperti Ebola mewabah di kota-kota besar dunia,” katanya. Pada 2014-2016, Ebola menewaskan sekitar 11.000 orang di Afrika.
Andai malapetaka macam itu sulit dibayangkan (karena Afrika bukan Eropa), Gates memberi contoh riil pandemik di awal abad 20, tepatnya tahun 1918.
Kala itu, Flu Spanyol menjangkiti 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia, dan menewaskan 50-100 juta orang di antaranya. Ini salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah.
Intinya: satu jenis virus punya kemampuan setara dengan senjata nuklir dalam melenyapkan populasi manusia.
Bill Gates meyakini dunia “... harus membangun gudang senjata baru berisi vaksin, obat-obatan, dan diagnostik.” Ia percaya kemajuan bioteknologi memungkinkan vaksin baru diproduksi cepat untuk mengendalikan pandemik.
Oleh sebab itu pada medio 2016, Bill & Melinda Gates Foundation bersama Wellcome Trust, World Economic Forum, Departemen Bioteknologi India, dan pemerintah Norwegia membentuk Coalition for Epidemic Preparadness Innovations (CEPI) yang menargetkan pembuatan vaksin secara efektif begitu ada ancaman muncul.
Kini seiring mewabahnya Wuhan coronavirus, CEPI berkoordinasi dengan WHO. Ia mendanai tiga program pengembangan vaksin dengan menggandeng Inovio Pharmaceuticals, The University of Queensland, perusahaan bioteknologi Moderna, dan National Institute of Allergy and Infectious Diseases Amerika Serikat.
Inovio Pharmaceuticals kemudian berkolaborasi dengan Beijing Advaccine Biotechnology guna mengembangkan vaksin yang diberi nama INO-4800. Mereka sedang melakukan uji coba fase pertama di AS pada manusia.
Sementara The University of Queensland lewat teknologi klem molekulernya yang baru dikembangkan, akan mengupayakan pembuatan vaksin baru secara cepat karena teknologi tersebut mampu membaca informasi tentang urutan genetik virus.
Pengembangan vaksin bukan cuma dilakukan oleh perusahaan atau lembaga yang ditunjuk CEPI, tapi juga instansi-instansi pemerintah maupun swasta lain.
Misalnya, di luar upaya Beijing Advaccine Biotechnology mempercepat terwujudnya vaksin INO-4800 bersama Inovio Pharmaceuticals, otoritas China memberikan genom novel coronavirus kepada pemerintah Rusia guna memulai uji coba pengembangan vaksin.
Tak hanya negara-negara yang warganya terinfeksi 2019-nCoV yang mencoba membuat vaksin. Indonesia pun, menurut Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof. dr. Amin Soebandrio, tengah menjajaki pengembangan vaksin novel coronavirus.
Lembaga Eijkman di bawah naungan Kementerian Riset dan Teknologi, akan berdiskusi dengan satu perusahaan vaksin di Indonesia untuk melihat kemungkinan tersebut.
Menurut Amin, satu negara tidak harus memiliki sampel suatu virus untuk membikin vaksinnya. Bisa pula dengan mempelajari rangkaian genetika virus yang sudah dibuka untuk publik di GenBank—kumpulan basis data sekuens nukleotida (struktur pembentuk inti sel DNA dan RNA) dari penjuru dunia—yang dikelola National Center for Biotechnology AS.
“Itu bisa dipelajari, lalu dipilah bagian-bagian mana yang bisa dijadikan kandidat vaksin untuk disintesis unsur-unsurnya di laboratorium,” kata Amin kepada kumparan, Kamis (30/1).
Perusahaan lain yang menghentikan operasinya sementara waktu di China antara lain Starbucks, Ikea, serta H&M.
Wabah 2019-nCoV juga mempengaruhi bisnis Google, Amazon, Facebook, dan Microsoft. Mereka membatasi perjalanan bisnis ke China. Terlebih, maskapai-maskapai penerbangan di berbagai negara menyetop rute dari dan ke China.
Zhang Ming, ekonom di Chinese Academy of Social Sciences, lembaga think tank ternama di China, memprediksi pertumbuhan ekonomi China melambat lima persen. Hal itu, menurut Kepala Ekonom Asia Pasifik di IHS Markit, Rajiv Biswas, akan mempengaruhi sektor turisme di Asia-Pasifik, sebab aliran turis asal China yang besar ke kawasan itu jadi terhenti.
Khusus di Indonesia, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa Wuhan coronavirus memukul setidaknya tiga hal, yakni pasar keuangan, pariwisata, dan investasi.
“Di pasar keuangan, performa IHSG melemah. Di sektor pariwisata, jumlah turis masuk Indonesia kan biasanya paling banyak dari China. Di sisi investasi, pasti (wabah virus corona ) mengganggu perencanaan-perencanaan investasi di sektor pertambangan, pengolahan, dan lain-lain, dan ini efeknya bisa lebih panjang,” kata Bhima kepada kumparan, Jumat (31/1).