Dampak Perubahan Iklim di Antarktika: Gunung Es Runtuh, Habitat Penguin Terancam

28 Januari 2025 16:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dampak perubahan iklim semakin nyata, terutama di Antarktika.
Seorang peneliti geomorfologi Antarktika asal Indonesia di Saint Petersburg State University, Gerry Utama, mengungkap ekspedisinya ke Antarktika memperlihatkan bongkahan es terapung dalam ukuran besar, bahkan sebelum mencapai perairan es.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau lihat perubahan iklim itu ke Antarktika. Kita waktu kita mulai ekspedisi dari Cape Town (Afsel), dua hari itu masih di laut selatan, laut samudera selatan, dan itu belum ada es, itu kita sudah lihat iceberg itu sudah mengambang, dalam ukuran yang besar,” ungkap Gerry dalam podcast DipTalk bersama kumparan.

Dampak Besar bagi Ekosistem

Gambar yang disediakan oleh Kementerian Pertahanan ini menunjukkan gunung es, yang dikenal sebagai A23a di lepas pantai Antartika (25/11/2024). Foto: Cpl Tom Cann RAF via AP
Fenomena ini hanya salah satu dari banyak bukti bahwa kutub selatan mengalami perubahan suhu yang masif.
Gunung es terbesar di dunia, A23a, dengan ukuran lebih dari dua kali London, hanyut menuju Georgia Selatan dan mengancam habitat penguin hingga anjing laut.
Mereka yang biasa mencari makan dan membesarkan anak-anaknya di perairan itu harus berenang lebih jauh, menghabiskan lebih banyak energi, yang berujung pada meningkatnya angka kematian anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
“Gunung es pernah terdampar di sana di masa lalu dan itu telah menyebabkan kematian yang signifikan bagi anak penguin dan anak anjing laut,” kata ahli oseanografi fisik di British Antarctic Survey, Andrew Meijers, Jumat (24/1) dikutip dari AFP.
Perubahan juga terlihat dari daratan. Analisis terbaru dalam Nature Geoscience menunjukkan bahwa tutupan tanaman di Semenanjung Antarktika melonjak lebih dari sepuluh kali lipat sejak 1986.
Lumut hijau kini menutupi lebih dari 12 km² wilayah yang dulunya tertutup es.
“Ini bukti bahwa bahkan wilayah sekeras Antarktika pun tak luput dari perubahan iklim,” kata Dr. Thomas Roland dari Universitas Exeter.
Salju yang meleleh di Antartika. Foto: Johan Ordonez

Musim Dingin Tak Lagi Sama

Dalam enam bulan ekspedisinya, Gerry melihat sendiri bagaimana es mencair, bahkan di musim dingin.
ADVERTISEMENT
“Nyata sekali, langsung ambles itu gletser di tebing-tebing pulau itu, di daratan benua itu langsung. Jadi di depan mata pernah (lihat),” cerita Gerry.
“Harusnya es konstan di musim dingin, tapi kenyataannya volumenya tetap berkurang,” tambahnya.
Gerry menjelaskan, perubahan suhu global adalah siklus alam yang memang terjadi dari waktu ke waktu. Namun, kali ini, dampaknya jauh lebih cepat dan lebih besar.
“Saya lebih senang menyebutnya kerentanan iklim. Jadi kerentanan iklim itu berdampak kepada manusia. Tapi kalau global warming itu sudah pasti secara periode bahwa bumi itu mengalami dinamika iklim,” kata Gerry.
Diptalk kumparan bersama Peneliti Geomorfologi Antarktika Saint Petersburg State University Gerry Utama. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ia menyebut percepatan fluktuasi suhu saat ini sangat masif, mempengaruhi keseimbangan lingkungan.
“Sehingga maka muncul istilah-istilah baru antroposen ya, bagaimana paham bumi ini telah dikontrol oleh aktivitas manusia,” katanya.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, Antarktika dikenal sebagai benteng es yang tak tergoyahkan.
Kini, perubahan iklim mengubahnya menjadi ‘laboratorium hidup’ untuk memahami dampak pemanasan global.
“Di zaman tersier, ketika kepulauan Indonesia terbentuk, suhu bumi lebih panas dari sekarang. Tapi bedanya, kali ini, manusialah yang jadi korbannya,” kata Gerry.