Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dari Mapenduma ke Paro: Jalan Panjang Menghapus Kekerasan di Papua
13 Februari 2023 9:19 WIB
·
waktu baca 12 menitPada 8 Januari 1996, Organisasi Papua Merdeka (OPM )―yang kala itu disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh militer Indonesia―pimpinan Kelly Kwalik menyandera 26 anggota Ekspedisi Lorentz ‘95. Mereka dibawa ke Mapenduma, sekitar 160 km barat daya Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan.
Sandera yang berasal dari Papua tak lama kemudian dibebaskan, kecuali dua orang. Satu di antaranya lantas dibebaskan melalui Komite Internasional Palang Merah (ICRC), sehingga tersisa 11 orang lainnya yang masih disandera: 4 warga Inggris, 5 Indonesia, dan 2 Belanda. Ketika itu, Kelly meminta ICRC bertindak sebagai perantara urusan sandera.
Selama negosiasi Kelly dan ICRC, otoritas Indonesia setuju tak mengambil langkah apa pun di radius 12 km dari Geselama, Mimika. Geselama adalah tempat ICRC menggelar lima pertemuan dengan Kelly pada rentang waktu 25 Februari–8 Mei seraya mengecek keadaan para sandera.
Menurut ICRC, dari pertemuan-pertemuan itu telah tercapai kesepakatan antara Indonesia dengan Kelly. Di sisi OPM, Kelly bakal membebaskan seluruh sandera. Sementara di sisi Indonesia, militer akan menahan diri dari segala serangan atau pembalasan ke OPM; sementara ICRC berkomitmen membuat program bantuan medis dan pertanian di Papua.
Menyusul kesepakatan itu, riuh upacara adat pelepasan sandera bergema di Geselama, 8 Mei 1996. Namun, tatkala upacara selesai, Kelly mengubah keputusannya di menit terakhir: ia menolak membebaskan sandera kecuali Papua merdeka.
Dalam buku Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma di Irian Jaya (2019), Dinas Sejarah Angkatan Darat menyebut Kelly telah menipu ICRC soal urusan sandera.
Berubahnya keputusan Kelly membuat pembebasan sandera dengan jalan negosiasi berubah jadi operasi militer. Pada 15 Mei, militer Indonesia dipimpin Kopassus berhasil membebaskan sembilan sandera. Dua sandera lainnya tewas terbunuh di tengah hutan. Di pihak OPM, 8 orang tewas dan 2 lainnya ditangkap.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, 7 Februari 2023, peristiwa penyanderaan serupa terulang. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer OPM―yang disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) oleh Indonesia―pimpinan Egianus Kogoya mengeklaim menyandera pilot Susi Air, Captain Philip Mehrtens.
Dan kali ini, berkaca pada peristiwa Mapenduma, TPNPB menegaskan tak melepas sandera kecuali Papua merdeka. Otak penyanderaan ini adalah generasi kedua dari tetua Kelly Kwalik, Daniel Yudas Kogoya, dan Silas Kogoya yang dahulu membidani penyanderaan para peneliti Ekspedisi Lorentz.
“Dulu dalam perjanjian [soal sandera], orang tua kami pernah ditipu. Masyarakat juga sia-sia dikorbankan. Jadi ini adalah terakhir kali kami sandera pilot dan tak akan dibebaskan apabila tak memenuhi tuntutan kami,” kata Mayor Oscar Wandikbo, Ketua Dewan Militer TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma kepada kumparan, Kamis (9/2).
Inisiatif Setop Kekerasan
Lingkaran kekerasan yang berlangsung antar-generasi di Papua itu membuat Indonesia menggalakkan operasi keamanan. Namun pendekatan keamanan ini justru menimbulkan korban dari KKB, TNI-Polri, hingga masyarakat sipil Papua.
Laporan Tindak Kekerasan di Papua oleh Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Januari 2010 hingga Agustus 2022 mencatat sedikitnya ada 2.165 korban akibat kekerasan di Papua. Sebanyak 497 orang di antaranya meninggal dunia. Aktor kunci dari rentetan kekerasan ini, menurut laporan itu, ialah TPNPB-OPM dan aparat TNI-Polri.
Tren tindak kekerasan di Papua juga meningkat sejak 2010 hingga 2021. Peningkatan drastis terjadi enam tahun terakhir—pada 2016 hanya ada 11 kasus, namun pada 2021 menjadi 83 kasus atau meningkat lebih dari tujuh kali lipat.
Adapun motif kekerasan paling banyak ialah menyangkut separatisme, yakni 275 (73,13%) dari total 376 kekerasan yang terjadi sepanjang 12 tahun terakhir di Papua. Sebagian besar kasus kekerasan dengan motif separatisme terjadi di wilayah pegunungan tengah seperti Kabupaten Intan Jaya (56 kasus), Puncak (49 kasus), Mimika (42 kasus), Nduga (35 kasus), dan Puncak Jaya (32 kasus).
Kapolda Papua Irjen Mathius Fakhiri menjelaskan bahwa kasus kejahatan KKB tahun 2021 ke 2022 mengalami penurunan dari 106 serangan menjadi 90 serangan. Meski demikian, jumlah korban tewas di 2021 lebih kecil daripada 2022, yakni 34 berbanding 53 jiwa. Mayoritas korban adalah warga sipil.
Dengan data kekerasan yang ada, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022 melihat pendekatan keamanan yang berjalan selama ini di Papua tak menghasilkan apa pun, sebab faktanya kekerasan di Papua masih eksis dan korban tetap berjatuhan.
“Harus ada terobosan untuk menciptakan suasana yang kondusif. Dari berbagai banyak pilihan, Komnas HAM harus buat terobosan yang kami sebut dialog damai,” kata Ketua Komnas HAM 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik kepada kumparan, Kamis (9/2).
Taufan menyebut proposal dialog Papua itu telah disampaikan sejak 2021 ke Istana dan mendapat dukungan. Presiden Jokowi menugasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM.
April 2022, awal bulan puasa, perwakilan Komnas HAM bertemu dengan salah satu kelompok bersenjata di pesisir Papua. Taufan enggan menyebut nama kelompoknya, namun membeberkan kelompok ini pernah membuat perjanjian 11-11-2011 dengan utusan khusus presiden untuk dialog Papua, almarhum Farid Husain.
“Dia (panglima kelompok bersenjata Papua) tunggu realisasi [perjanjian] dari 2011. Dia ketemu beberapa petinggi negara di sini (Papua) untuk mulai perjanjian damai itu. Tapi sekarang enggak ada lagi,” cerita Taufan tentang pengakuan kelompok itu.
Dari Papua ke Jenewa
Ada tiga kelompok yang ditemui Komnas HAM yang masing-masing berlokasi di Demta, Kabupaten Jayapura; Kabupaten Waropen; dan Sentani, Kabupaten Jayapura. Di lokasi ketiga, Taufan Damanik bertemu dengan Presiden Negara Federal Republik Papua Barat, Forkorus Yaboisembut. Kelompok Forkorus bukan pergerakan bersenjata.
Selain dengan kelompok pro-kemerdekaan, Komnas HAM juga bertemu sejumlah pemangku kepentingan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Papua, serta gereja-gereja di Papua awal Juni 2022.
Inisiatif Komnas HAM ini kemudian dibarengi pertemuan dengan pihak lain yang nantinya jadi aktor utama dalam dialog kemanusiaan: Dewan Gereja Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Ketiga kelompok itu menyepakati dialog serius dihelat di Jenewa, Swiss, Juni 2022. Dengan catatan bahwa sikap mereka mesti disampaikan ke Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet. Pada 17 Juni 2022, Komnas HAM pun menemui eks Presiden Chile itu.
Menurut Komisioner Komnas HAM 2017-2022 Beka Ulung Hapsara yang turut dalam pertemuan dengan Michelle menyebut, Komisioner Tinggi HAM PBB itu mendukung mekanisme nasional untuk penyelesaian kasus Papua.
“PBB juga berkomitmen membantu secara teknis kalau diperlukan. Misalnya, melatih juru runding atau menyediakan referensi penyelesaian kekerasan bersenjata,” kata Beka.
Setelah itu, pertemuan dihelat antara Komnas HAM dengan tiga pihak tadi di Jenewa. Di pertemuan tersebut, salah satu kesepakatan yang tercapai menurut Beka ialah, “Dialog adalah satu-satunya upaya bermartabat untuk menyelesaikan persoalan Papua. Komnas HAM tidak masuk ke politiknya [kemerdekaan].”
Selanjutnya, dialog itu menyepakati bahwa setiap pihak wajib menyosialisasikan inisiatif Jenewa itu ke para mitra strategis. Komnas HAM misalnya menginfokan pertemuan itu ke Kemenko Polhukam, TNI-Polri, Kementerian Luar Negeri RI, dan lain-lain. ULMWP pun, menurut Beka, wajib menyampaikan inisiatif itu kepada seluruh kelompok yang berhubungan atau bernaung di bawah federasinya.
Agustus 2022, Komnas HAM dan tiga pihak dari Papua kembali bertemu di Jenewa. Pada pertemuan ini, ULMWP-Dewan Gereja Papua-MRP mengajukan proposal penghentian kekerasan di Papua yang kemudian dinamai Jeda Kemanusiaan Bersama (JKB). Proposal itu diterima Komnas HAM untuk dibicarakan dengan mitra strategisnya.
Sepulang dari Jenewa, Komnas HAM menginformasikan hasil pertemuan itu pada Mahfud MD yang kemudian meneruskannya ke Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kata Taufan, wapres dimandati mengurusi persoalan Papua. Ia juga ditunjuk sebagai Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua bentukan Perpres Nomor 121/2022.
Pada Oktober 2022, Wapres mengundang Komnas HAM, Menko Polhukam, Panglima TNI, Polri, BIN, Kemenlu, dan perwakilan pejabat pemerintahan lainnya. Komnas HAM mempresentasikan hasil pertemuannya di Jenewa.
“Arahan dari Pak Ma’ruf luar biasa menarik, dia bilang tolong bikin roadmap (peta jalan) langkah ini sampai 2024,” jelas Taufan yang menerima sinyal pernyataan wapres sebagai dukungan terhadap inisiatif lembaganya.
Dalam pertemuan itu, staf khusus Ma’ruf juga menjelaskan kepada Komnas HAM bahwa proposal Jeda Kemanusiaan bakal masuk ke dalam rencana pembangunan dan program Wapres untuk Papua. Skema itu disebut sebagai upaya “penghentian kekerasan”.
Setelah lampu hijau didapat dari pemerintah, Komnas HAM kembali bertemu dengan ULMWP-Dewan Gereja Papua-MRP di Jenewa 9-11 November. Kali ini pertemuan juga diikuti lima pemantau dari KBRI, Mabes Polri, Kemenko Polhukam, dan perwakilan sipil. Pada pertemuan ini, proposal Jeda Kemanusiaan disepakati.
“Satu, menyetop kekerasan dari berbagai pihak. Kami meyakinkan TNI-Polri melalui Menko Polhukam. Sementara tugas mereka [dari Papua] meyakinkan pasukan OPM hentikan serangan. Kedua, mengurus pengungsi yang jumlahnya ribuan. Ketiga, mengurusi tahanan,” beber Taufan.
Jeda Kemanusian disepakati dengan sejumlah kompromi dari usulan awal. Mulai dari soal tempo yang tadinya diusulkan 6 bulan menjadi 3 bulan saja, hingga soal tempat yang daftar usulannya termasuk Nduga dan Intan Jaya. Namun, atas usulan dari Polri, Komnas HAM memberi pertimbangan untuk mencari wilayah paling realistis untuk menghelat Jeda Kemanusiaan. Maka dipilihlah Maybrat di Provinsi Papua Barat Daya.
“Jeda kemanusiaan adalah ruang membangun kepercayaan para pihak terkait. Selama ini ada anggapan pemerintah [RI] ngapain dialog dengan orang yang sering membunuh; dan Papua ngapain rundingan dengan pemerintah. Untuk bangun kepercayaan itu, Komnas HAM jadi mediatornya,” kata Beka.
Pada 11 November, kesepakatan Jeda Kemanusiaan diteken Komnas HAM, ULMWP, MRP, dan Dewan Gereja Papua di Jenewa. Sehari setelahnya, 12 November, Taufan dan jajaran Komisioner Komnas HAM 2017-2022 resmi mengakhiri masa jabatan.
Berakhir Tanpa Kesan
Tiga bulan setelah itu, 11 Februari 2023, Jeda Kemanusiaan resmi berakhir. Rupanya kesepakatan itu tak pernah benar-benar dilaksanakan para pihak terlibat, dan kekerasan justru mengemuka lagi di Papua, termasuk ancaman terhadap pekerja bangunan puskesmas di Paro dan pembakaran serta klaim penyanderaan pilot Susi Air.
Faktanya, implementasi Jeda Kemanusiaan hanya ada di atas kertas dan tak pernah dilaksanakan di lapangan. ULMWP dan Dewan Gereja Papua sempat menindaklanjuti implementasi Jeda Kemanusiaan dengan mengirim surat ke Komnas HAM pada 1 Desember 2022, 18 Januari 2023, dan 25 Januari 2023.
Meski demikian, Komnas HAM periode 2022-2027 baru merespons surat tersebut pada 7 Februari 2023. Dalam surat itu, Komnas HAM menyatakan bahwa kesepakatan tiga pihak Papua dengan jajaran Komnas HAM periode lampau adalah menyalahi prosedur.
Selain dianggap membuat keputusan strategis di akhir masa jabatan, Komisioner Komnas HAM periode lalu juga dinilai Komisioner Komnas HAM saat ini tak punya wewenang sebagai pihak yang menandatangani kesepakatan.
“Komnas HAM tidak berkonflik dengan masyarakat di Papua, sehingga tidak tepat jika berada sebagai pihak di dalam MoU tersebut. Dan peran Komnas HAM itu kan sebagai pemantau kekerasan,” tutur Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat dikonfirmasi.
Sikap Atnike itu juga disampaikan di surat kepada ULMWP, Dewan Gereja Papua, dan MRP. Namun demikian, ia membantah pihaknya menganulir atau membatalkan kesepakatan Komnas HAM periode lalu dengan ketiga pihak tersebut.
“Karena MoU itu berakhir tanggal 10 Februari 2023, jika para pihak tidak memperpanjang, maka dia batal dengan sendirinya,” ujar Atnike yang memberi catatan bahwa pihaknya tetap terbuka untuk berdiskusi dengan masyarakat Papua.
Dalam rilisnya, ULMWP menulis bahwa Jeda Kemanusiaan berakhir tanpa pelaksanaan komitmen para pihak. Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk menyebut MoU Jeda Kemanusiaan berakhir tanpa kesan apa-apa.
“Kini kami sangat kecewa karena meskipun upaya dan kepatuhan kami terhadap MoU JKB sangat konsisten, sayangnya Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait di dalam pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen apa pun terhadap kesepakatan ini,” kata Markus.
Penyanderaan terhadap pilot Susi Air menandakan bahwa kekerasan di Papua masih berlanjut terlepas dari adanya upaya dialog yang sempat merumuskan Jeda Kemanusiaan.
TPNPB selaku pihak yang mengeklaim menyandera Captain Philip pun tak mengakui proses dialog yang dilakukan Komnas HAM 2017-2022 dengan ULMWP cs.
Menurut Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, Komnas HAM selama ini tak pernah melibatkan mereka. TPNPB menyebut semua proses dialog omong kosong karena tak melibatkan kelompoknya yang menurutnya merupakan aktor utama di Papua dengan basis massa besar.
Sebby mengeklaim bahwa TPNPB-OPM punya 36 komando daerah pertahanan (Kodap) yang masing-masing memiliki 2.500 anggota tetap dan total 3 juta anggota tidak tetap. Mereka juga menolak mengakui ULMWP pimpinan Benny Wenda sebagai federasi yang menaungi TPNPB-OPM.
“Kami angkat senjata tujuan akhirnya di meja perundingan dengan Jakarta—Joko Widodo dengan kami. Bukan dengan TNI-Polri, bukan dengan Komnas HAM,” ujar Sebby kepada kumparan, Kamis (9/2).
Markus Haluk tak merespons ketika ditanya apakah ULMWP melibatkan TPNPB-OPM saat membahas Jeda Kemanusiaan dengan Komnas HAM. Sementara Ketua Komnas HAM 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik menyebut bahwa upaya untuk menemui TPNPB sempat ditempuh, tetapi tak berlanjut.
Taufan menambahkan, sikap TPNPB yang tak sejalan dengan ULMWP adalah hal biasa dalam konflik bersenjata.
“Kadang ada dinamika, misal ada [faksi] yang tiba-tiba keras. Itu biasa,” ujarnya.
Kekerasan yang Tuai Kecaman
Sebby mengatakan bahwa Captain Philip yang berkewarganegaraan Selandia Baru kini tengah disandera menuju Markas Pusat Kodap III Ndugama-Derakma. Ia menyebut tak akan melepas pilot hingga enam tuntutannya kepada Selandia Baru dipenuhi.
Tuntutan itu antara lain meminta agar Selandia Baru dan negara lain menyetop pelatihan militer dan suplai senjata ke Indonesia. TPNPB juga menuntut konflik di Papua diakui PBB dan dibawa isunya ke Dewan Keamanan untuk dibuatkan resolusi. Ia juga meminta RI menarik mundur pasukan keamanan di Papua dan mengakui kemerdekaan Papua.
Pembakaran pesawat Susi Air dan penyanderaan pilot membuat TPNPB-OPM menuai kecaman dari berbagai pihak seperti Komnas HAM, anggota DPR, dan Amnesty International.
“Komnas HAM jelas mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat sipil dan juga penggunaan kekerasan untuk merusak fasilitas umum di Papua,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.
Menurut Atnike, pembakaran pesawat atau fasilitas umum lainnya justru merugikan masyarakat Papua yang seharusnya dapat menikmati pelayanan publik tersebut.
Sementara Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan semua pihak mesti mengutamakan jalan non-kekerasan demi menyelamatkan warga sipil.
Dalam hukum humaniter internasional Konvensi Jenewa IV, disebut bahwa dalam sebuah konflik, seseorang yang tak ikut aktif dalam sengketa dilarang untuk dijadikan sandera atau dilakukan kekerasan terhadapnya, baik jiwa dan raga, termasuk dihukum mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara sistematis.
“Insiden pembakaran pesawat dan penyanderaan ini sekali lagi menjadi bukti berulangnya kekerasan di wilayah Papua, dan warga sipil kembali menjadi korbannya. Kami menyerukan adanya peninjauan ulang atas pendekatan keamanan yang selama ini dipilih oleh negara,” ujar Usman.
Akankah kekerasan terhapus dari tanah Papua?