Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mata Denny Indrayana sibuk menyapu kata demi kata, pasal demi pasal. Telunjuk tangan kanannya terus membolak-balik halaman buku tebal yang ditopang telapak tangan kirinya. Ia penasaran apakah masih ada celah hukum lain terkait Pilpres 2019 setelah Mahkamah Konstitusi memutus untuk menolak seluruh gugatan yang diajukannya mewakili Prabowo-Sandi .
“Saya baca UU Pemilu sama peraturan Bawaslu, apakah itu memungkinkan (ada celah hukum lain),” ujar Denny Indrayana saat ditemui kumparan di Indrayana Center, Citylofts Sudirman, Jakarta, sehari setelah pembacaan putusan MK.
Siang itu ia tampak sayu. Kantuk terlihat menggelayuti matanya. “Kurang tidur memang,” ucapnya sambil menandai halaman buku yang ia baca.
Usai menghadiri sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019 oleh MK yang berlangsung selama kurang lebih delapan jam, Denny bersama tim kuasa hukum Prabowo-Sandi—Bambang Widjojanto, Iwan Satriawan, Teuku Nasrullah, dan empat orang lainnya—segera merapat ke Jl. Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, memenuhi titah Prabowo pada Kamis, 27 Juni 2019.
Malam itu, dalam konferensi persnya Prabowo sempat berkata, “Kami akan segera konsultasi dengan tim hukum kami untuk minta saran dan pendapat apakah masih ada langkah hukum dan konstutisional lain yang mungkin ditempuh.”
Namun, kata Denny, ketika tiba di sana tak sekalipun ada diskusi serius menjawab pernyataan tersebut. “Pada dasarnya Pak Prabowo mengapresiasi kerja tim (kuasa hukum). Sambil mengatakan, ‘ya sebenarnya sudah bisa diprediksi sih (hasil putusan MK)’.”
Meski seluruh gugatannya ditolak, namun kecewa tak sepenuhnya dirasa. Sebab, menurut Denny, yang penting bukan soal menang atau kalah melainkan membantu menyuarakan aspirasi.
Berikut kutipan percakapan reporter kumparan, Muhammad Fadli Rizal, bersama mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Susilo Bambang Yudhoyono yang berlangsung di dua kesempatan berbeda.
Bagaimana respons tim kuasa hukum usai mendengar putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan?
Ya sudah selesai, jadi kami sudah bisa mengerjakan yang lain-lain tim kuasa hukum. Tugasnya sudah selesai.
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Mengadili, menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).
MK menilai dalil Prabowo-Sandi soal adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019 tak beralasan secara hukum dan tidak terbukti.
Apakah sebelumnya sudah memprediksi hasil putusan MK akan seperti apa?
Sidang terakhir pembacaan putusan. Kami tidak tahu putusannya, yang kami tahu ya kemungkinan dikabulkan atau ditolak. Harapannya dikabulkan, minimal pemungutan suara ulang.
Bahwasanya kemudian tidak dikabulkan, saya sempat sampaikan ke teman-teman kuasa begini: ‘Ini kalau lihat dari Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) cuman Jumat (21/6) malam dan Senin (24/6) pagi, itu indikasi enggak baik’. Itu saya sampaikan ke teman-teman. ‘Siap-siap saja kalau permohonan kita ditolak’.
Semua masih menunggu, masih berharap, masih berdoa. Siapa tahu ada perubahan, ada namanya harapan. Tapi ya sudah, saya sampaikan kalau sidang RPH singkat, artinya tidak ada perdebatan.
Padahal kalau putusannya, misalnya pemungutan suara ulang, mestinya ada diskusi yang lebih tajam, (mereka) debat dong. Bahwasannya itu hanya sebentar, hanya beberapa jam, berarti tidak ada perdebatan.
Sebagian alat bukti tak dapat disahkan karena tidak ada fisiknya. Apakah hal tersebut mempengaruhi putusan hakim?
Relatif sudah semua (alat bukti disahkan). Tentu ada beberapa yang sebagaimana dilihat oleh publik tidak terselesaikan.
Kalau penilaian barang bukti itu kewenangannya majelis. UU MK mengatakan (bukti) ini kuat, ini lemah, itu memang kewenangan majelis.
Teknisnya, menurut saya, karena ini speedy trial maka alangkah baiknya persoalan-persoalan pembuktian tidak dengan pendekatan manual. Fotokopi 12 rangkap dan lain sebagainya, banyak sekali.
Kemudian dikasih kuping (penanda) kertas, itu kerja teknis sekali. Mahkamah dengan itu (bukti manual) dan dengan speedy trial pasti akan kesulitan. Apalagi kalau mau membuktikan TSM-nya setengah wilayah Indonesia, baiknya ya (alat bukti) dalam format digital.
Sekitar 21 dari 190 item alat bukti tak disahkan karena tak terdapat bukti fisik.
Bagaimana dengan saksi-saksi yang dihadirkan? Apakah Anda merasa cukup puas dengan kesaksian yang telah dikemukakan di sidang?
Dari dalil-dalil yang kami bangun, kemudian dicari saksi yang paham. Ada saksi yang juga tidak bisa hadir, karena alasan keamanan dan keselamatan. Jadi kalau orang bilang, ‘Wah saksinya ini enggak ada yang terancam’. Iya karena yang terancam tidak hadir.
Aparat (calon saksi) yang terkait dengan netralitas aparat itu tidak hadir. Kami berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mencoba membentuk semacam perlindungan saksi untuk menghadirkan saksi-saksi kunci yang memang di bawah ancaman.
Saya tidak bisa bicara kalau soal berapa banyak, siapa saja, unsur apa. Intinya mereka ada dan sebenarnya sudah siap dengan (file presentasi) power point. Siap bersaksi dengan segala risikonya. Tapi tetap membutuhkan kejelasan segala risiko. Kami enggak mau konyol juga.
Kami sudah koordinasi dengan LPSK, apakah mungkin dengan teleconference, mungkin video conference, mungkin suaranya disamarkan, mungkin dengan tabir. Sudah sampai seperti itu diskusinya, udah teknis begitu. Tapi tetap kemudian perlu ada semacam persetujuan dari Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah mengatakan, ‘Aman kok di ruang sidang’. Ini yang perlu diamankan itu di luar ruang sidang. Jadi kalau kita mau serius menggali kebenarannya, sebenarnya itu elemen yang hilang kemarin. Yang menyebabkan saksi-saksi (kunci) ini tidak bisa hadir, karena tidak jelas proteksinya.
Ketika ada atau tidaknya ancaman ditanyakan oleh hakim, sebagian saksi memang mengatakan ada ancaman. Namun ketika ditanya lebih lanjut, ancaman tersebut terjadi jauh sebelum persidangan dimulai dan tak terkait dengan kedudukan sebagai saksi. Anggota Majelis Hakim, Aswanto, bahkan sempat mengingatkan agar tidak memberikan keterangan palsu terkait keberadaan ancaman.
Bagaimana komunikasi Anda dengan Haris Azhar yang akhirnya batal bersaksi?
Kebetulan saya langsung yang komunikasi (dengan Haris Azhar). Salah satu calon saksi yang juga kami minta juga Sulman Aziz. Haris juga saya minta untuk menguatkan dalil. Haris sudah setuju untuk datang. Pada hari H juga sudah minta KTP, dan juga sudah diberikan. Kami janjian kalau dia (Haris) akan datang setelah pukul 13.00 WIB.
Saya baru tahu sorenya kalau dia memutuskan untuk tidak hadir. Itu pilihan dia, dan saya bisa mengerti. Tidak juga bertanya-tanya, ‘Wah kok gak jadi ya’. Memang untuk posisi seperti Haris ada dilema-dilema yang kami terima sehingga enggak bisa hadir.
Walaupun kami menyayangkan karena sudah pada tahap sebenarnya akan hadir dan sudah menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain. Tapi faktanya (Haris tidak hadir) seperti itu.
Haris Azhar merupakan kuasa hukum eks Kapolsek Pasirwangi, Garut, AKP Sulman Aziz, polisi yang sempat mengaku mendapat arahan dari atasannya yakni Kapolres Garut untuk menggalang dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf. Sulman kemudian mencabut pernyataan dan mengatakan hal itu karena kesal setelah dimutasi.
Haris menyatakan bahwa ia tak bersedia menjadi saksi karena tidak dalam kapasitasnya serta tak mau membela salah satu pihak.
Apakah prediksi akan ditolaknya gugatan itu sempat dikomunikasikan ke Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi?
Enggak, saya sampaikan ke beberapa teman saja.
Apakah Anda merasa kecewa?
Enggak, saya enggak berani kecewa pada majelis hakim. Karena memang pada dasarnya majelis sudah bekerja dengan caranya. Berusaha untuk netral, berusaha untuk seadil mungkin memimpin sidang.
Anda dan tim segera merapat ke Kediaman Prabowo usai pembacaan putusan MK. Bagaimana situasi di sana? Apakah Anda diminta untuk mencari celah hukum lain yang dimaksud Prabowo dalam rilisnya?
Kami menyampaikan bahwa tugas sudah selesai dan menyerahkan kembali mandat. Kemudian (kami) makan sedikit, ada sate, ada siomay. Sudah, selesai.
Pada dasarnya Pak Prabowo mengapresiasi kerja tim. Sambil mengatakan, ‘Ya sebenarnya sudah bisa diprediksi sih’. Tentang apa yang akan dilakukan, tadi malam tidak ada diskusi tajam ke arah sana (upaya mencari celah hukum lain).
Saya tidak mengingat ada diskusi ke situ. Tapi dalam beberapa kesempatan terpisah, bertemu beberapa orang lain, saya katakan yang pertama untuk sengketa hasil pilpres keputusan MK itu bersifat final and binding (final dan mengikat), tak ada forum lain. Kedua tidak ada ruang untuk membawanya ke forum internasional.
Tapi celah hukum lainnya tetap dicari?
Kalau sengketa hasil sudah enggak ada celahnya. Yang sekarang saya sedang pelajari yaitu putusan sengketa proses. Putusan yang di Bawaslu dan Mahkamah Agung kan tidak dapat diterima, bukan ditolak. Frasa ‘tidak dapat diterima’ dan ‘ditolak’ itu dua hal yang berbeda.
Kalau tidak dapat diterima itu berarti belum memeriksa pokok masalah, berarti baru memeriksa syarat-syarat formilnya terpenuhi atau tidak. Tapi masalah kecurangannya sendiri itu belum sempat diperiksa.
Usai mendengar putusan MK yang menolak seluruh gugatan tim kuasa hukumnya, Prabowo-Sandi bersama Koalisi Adil Makmur menggelar konferensi pers di kediaman Prabowo di Kertanegara IV, Jakarta Selatan.
Dalam pidatonya, meski menghormati putusan MK, Prabowo tetap ingin mencari celah hukum yang masih bisa ia perjuangkan.
"Sesudah ini kami akan segera berkonsultasi dengan tim hukum kami untuk meminta saran dan pendapat apakah masih ada langkah hukum dan konstitusi lainnya yang masih bisa kita tempuh," ujar Prabowo.
Apakah terasa suasana kecewa atau aura kesedihan?
Enggak, normal saja saya melihatnya. Saya enggak melihat ada yang berlebihan. Kecewa pasti. Tapi, ya tadi. Sudah diprediksi kok.
Target bukan soal menang dan kalah, targetnya adalah menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan aspirasi. Terutama dari pemilih yang tidak ingin ada kecurangan dalam pemilihan umum.