Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Puluhan warga Poumako, Mimika, Papua berbondong-bondong meninggalkan TPS 10 yang relatif dekat dengan rumah-rumah mereka. Mereka tak jadi menggunakan hak suara. Gerutu dan perasaan dongkol membayangi mereka. Pasalnya, setelah bolak-balik mencari TPS, mereka diminta mendahulukan beberapa pemilih lainnya.
Pemilih yang dimaksud adalah beberapa Anak Buah Kapal (ABK) yang notabene orang pendatang. Mereka mencoblos duluan, sementara beberapa warga asli Poumako harus mengantre.
“Sebagian besar pulang marah-marah, sebagian menunggu dengan sabar,” kata Hugo Gian, salah seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat.
Saat penghitungan selesai, hanya segelintir orang yang menggunakan hak suara mereka. “Dari 263 Daftar Pemilih Tetap (DPT), sisa 137 surat suara sisa,” kata Hugo.
Surat sisa itu menyisakan masalah. Tetua setempat meminta agar surat suara sisa itu dibakar, untuk menghindari masalah di kemudian hari. Tapi KPPS tidak segera mengambil tindakan. Hugo sempat cekcok dengan petugas KPPS lainnya, petugas berkeras menanti perintah KPUD.
“Setelah 4 jam, KPUD datang dan menjelaskan sistematika pemilu. Setelah situasi aman dan kondusif, kita baru mau pleno jam 18.00 WIT. Di Indonesia bagian barat mungkin sudah banyak yang selesai, kita baru mau buka kotak,” ucap Hugo.
KPUD memutuskan, surat suara sisa tersebut dicoret.
Cerita dari Timur Indonesia ini membuktikan betapa rentan pemilu kita sekarang. Suatu cacat yang perlu dibenahi dari waktu ke waktu untuk pemilu yang dikenal dunia internasional sebagai The Biggest One Day Election.
Pemilu Indonesia memang hanya dilakukan satu hari saja. Masyarakat harus memilih pasangan Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPR Kota-Kabupaten, dan DPD. Ini melibatkan setidaknya 204,8 juta pemilih yang tersebar di 514 kabupaten/kota, 38 provinsi, dan 128 negara perwakilan.
Setelah pemungutan suara selesai, kecurigaan mengemuka. Benarkah ada penggelembungan dan penggembosan?
Noda Dan Kemenangan Prabowo
Sekitar pukul 16.00 WIB, 3 jam setelah pemungutan suara ditutup, tim relawan dan pendukung Paslon Prabowo-Gibran telah bersorak sorai. Mereka merayakan kemenangan yang ditampilkan oleh lembaga survei.
CSIS-Cyrus memotret suara Prabowo-Gibran 58,25%, AMIN 24,91%, dan Ganjar-Mahfud 16,84%. QC Kedai Kopi menampilkan suara Prabowo-Gibran 59,33%, AMIN 24,74%, dan Ganjar-Mahfud 15,93%. Adapun di QC Populi Center, Prabowo-Gibran unggul 59,20%, AMIN 25,16%, dan Ganjar-Mahfud 15,64%.
Di posko TKN Fanta, tim pemenangan Prabowo-Gibran, Komandan TKN Fanta Arief Rosyid memeluk erat kawan-kawannya. Sementara wajah-wajah lesu tampak di rumah relawan Ganjar-Mahfud. Raut-raut datar menggelayut di elite paslon 01, Sudirman Said, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang tiba-tiba pergi dari posko pemenangan.
Prabowo lalu merayakan kemenangan versi quick count itu di Istora, Senayan, Jakarta Pusat yang menurut Arief Rosyid sudah dipesan sekitar 2 hari sebelum 14 Februari.
Tapi, kemenangan Prabowo ternoda. Bawaslu mencatat ada sejumlah kecurangan yang terjadi pada pemilu kali ini. Berikut catatanya : Dugaan mobilisasi di 2632 TPS, intimidasi untuk menyoblos paslon tertentu di 1271 TPS, 2413 TPS berpotensi mengadakan pemilihan ulang karena ada warga yang mencoblos, padahal tak memenuhi syarat untuk memilih, serta kejadian di 1888 TPS dimana saksi, pengawas TPS , dan warga tak bisa menyaksikan penghitungan suara secara jelas.
Hal itu diikuti dengan 1895 TPS, dimana pengawas TPS tak diberikan salinan surat C1, 11.233 TPS yang tak bisa mengakses situs SIREKAP milik KPU, dan ada 3463 TPS yang melakukan penghitungan suara sebelum pemungutan suara selesai.
Timnas AMIN juga mencatat terjadinya kecurangan yang merugikan mereka. Menurut Deputi Hubungan Antarlembaga Timnas AMIN, Putra Jaya Husain, suara mereka berkurang sebesar 3 juta suara. Sementara, suara paslon Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud justru naik.
Berdasarkan analisis mereka, pada pukul 19.00.24 (detik) data ketiga paslon adalah, 01 itu 13.243.659 suara atau 31,97 persen; 02 itu 21.392.437 suara atau 51,63 persen; dan 03 yakni 6.795.057 suara atau 16,4 persen.
“Kan Harusnya semua naik, atau minimal kalau memang 0 tambahannya tetap. Tapi yang terjadi pada jam 19.30.24 justru suara Anies menjadi 9.832.013 suara atau 25,59 persen. suara 02, 21.708.715 atau naik menjadi 56,51 persen," terang Putra dalam jumpa pers, Jumat (16/2).
"Dan suara 03 naik 6.874.062 atau naik menjadi 17,89. Ini terlihat bahwa dalam 30 menit 01 detik, pasangan 01 menurun suaranya sebesar 3.411.645 suara. Artinya ada yang dihapus, di-delete," tambah dia.
Tak hanya itu, sebelum pemungutan suara, KPUD Garut juga menemukan laporan adanya surat suara tercoblos untuk pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud. Atau 8 surat suara yang sudah tercoblos untuk pasangan Prabow-Gibran di Gunung Putri, Bogor.
Beruntung, surat suara tersebut dinyatakan rusak dan tak jadi digunakan.
Kasus surat suara tercoblos juga ditemukan di Sampang, Madura. Beberapa video beredar dan menunjukkan sejumlah remaja mencoblosi surat suara di luar bilik pencoblosan. Mereka mencoblosi surat suara untuk pasangan Prabowo-Gibran. Ada lagi video yang menunjukkan warga yang tengah marah kepada petugas KPPS pada TPS 21 di Sampang, karena melakukan pencoblosan secara ilegal.
Ketua KPU Sampang, Addy Imansyah mengeklaim bahwa informasi itu adalah hoaks.
“Setelah ditelusuri dan didalami, kami jelaskan bahwa narasi itu hoaks dan kesalahpahaman semata,” kata Addy.
Sementara TPN Ganjar-Mahfud tak tinggal diam. Mereka melaporkan sejumlah peristiwa kecurangan pemilu itu ke ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
"Jadi ada dari Madura, dari Papua, ada dari Jawa Tengah, Jawa Timur karena tadi malam kami pun sempat menyampaikan kewaspadaan tertinggi untuk Jawa Tengah dan Jawa timur," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, di Teuku Umar, Jakarta.
Untuk itu, TPN akan menindaklanjuti dugaan gembosnya suara Ganjar-Mahfud di sejumlah daerah ini. Mereka merasa, paslon mereka bakal berada di angka 35-38%. Investigasi akan segera digelar di 11 provinsi yang diduga kuat terjadi anomali.
“Tahap pertama ini sampai kira-kira minggu pertama Maret adalah men-Zoom secara tajam di 11 provinsi di mana anomali pergeseran suara itu terasa mempengaruhi turunnya suara 03,” kata Direktur Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Wijayanto.
Soal tercoblosnya surat suara sebelum pemilu berlangsung, menunjukkan pekerjaan rumah menahun bagi KPU yang tak kunjung bisa dibereskan. Mengingat, sistem pemilu yang kompleks dan begitu besar ini.
Menurut peneliti kepemiluan dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, ini adalah masalah logistik yang tak kunjung usai. Proses distribusi logistik yang begitu besar dengan waktu yang singkat membuat keamanan menjadi rentan.
“Dampaknya, pengawasan menjadi tidak bisa maksimal dilakukan, profesionalitas dan integritas petugas juga menjadi lebih rentan terlanggar,” kata Titi.
Ia menyayangkan bagaimana pemilu tak kunjung membaik, padahal aturan mainnya sama seperti pemilu sebelumnya. Terutama, karena berulangnya masalah yang sama.
“Apalagi ditopang anggaran yang sangat besar dan cenderung jor-joran. Namun, ternyata KPU saja banyak masalah muncul yang diklaim sebagai human error padahal akibat dari manajemen dan kepimpinan organisasi yang lemah,” kata Titi.
Infrastruktur IT KPU yang Diragukan
Selain penghitungan cepat untuk menunjukkan perolehan suara, publik juga bisa mengakses Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilihan Umum (Sirekap). Ini merupakan aplikasi yang digunakan untuk membantu penghitungan suara oleh KPU.
Cara kerjanya, petugas KPPS memasukkan hasil penghitungan suara pada formulir C serta memasukkan foto formulir tersebut ke Sirekap. Aplikasi akan melakukan kesesuaian, antara hasil penghitungan dan foto yang dikirim.
Tapi, Sirekap menuai banyak masalah. Salah satunya adalah eror nya sistem tersebut. Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh, Said Salahudin memprotes penggunaan Sirekap ini. Ia protes, karena KPU meminta rekapitulasi dihentikan dengan alasan aplikasi Sirekap yang eror.
"Terus terang ini membuat kami bingung. Kenapa munculnya permasalahan pada Sirekap menyebabkan proses rekapitulasi harus ditunda? Padahal, Sirekap dan proses rekap merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak boleh saling mempengaruhi satu sama lain," kata Said.
Menurut Said, Sirekap adalah instrumen penunjang untuk memenuhi keterbukaan informasi publik. Sementara rekapitulasi seharusnya terus berjalan secara berjenjang.
Sementara itu, pengamat pemilu, Titi Anggraini menilai bahwa KPU juga tak siap mengelola dan menggunakan Sirekap. Tercermin dari catatan Bawaslu, ada 11 ribu TPS yang tak bisa mengakses Sirekap secara optimal.
“Sulit membantah pernyataan bahwa KPU tidak siap dalam mengelola Sirekap. Ketidaksiapan ini bukan yang pertama, ada banyak kontroversi lainnya. Mulai dari SIPOL yang tidak translaran serta SILON yang tidak optimal secara akses. Sirekap sangat dibutuhkan oleh publik namun kurang dipersiapkan baik oleh KPU,” kata Titi.
Menurut Titi, ada kelemahan dalam sistem yang tak akurat membaca hasil foto formulir C dari TPS. Atau bagaimana manajemen kerja yang kurang terlatih dalam mengoptimalkan Sirekap.
“Hal itu bisa jadi karena teknologi yang digunakan belum optimal atau manajemen kerja yang tidak mampu menjangkau berbagai dinamika yang mungkin terjadi di lapangam akibat uji coba yang tidak maksimal,” ucap Titi.
Padahal, Sirekap adalah instrumen yang baik untuk memberikan informasi publik dan membuktikan profesionalitas serta integritas KPU. Menurut Titi, tidak seharusnya KPU menghentikan rekap karena Sirekap yang error.
Kritik dari publik yang mencermati perbedaan data antara hasil rekap yang masuk dan foto dari form C jangan dianggap sebagai upaya untuk mendegradasi hasil pemilu.
“Justru temuan publik harus mendorong KPU cepat berbenah meningkatkan kinerja sistem dan menjaga profesionalitas operator dlm mengelola Sirekap,” kata Titi.
Sementara pihak TPN Ganjar-Mahfud bakal mengusut ketidaksiapan sistem IT KPU ini. Mereka melihat ini adalah satu rangkaian kusutnya pemilu di Indonesia, mulai dari hulu sampai hilir.
“Harus ditelusuri lebih dalam bagaimana standarnya, misalnya tentang sertifikasinya, end to end encryptionnya, servernya, cloudnya. Kalau dibuat cloud apakah sudah terstandarisasi dengan regulasi atau kriteria yang sudah disusun BSSN,” kata Andi Wijayanto.