Derita Minoritas Muslim Myanmar Lari dari Persekusi

9 Juni 2017 11:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nwe Nwe Oo (Foto: REUTERS/Wa Lone)
zoom-in-whitePerbesar
Nwe Nwe Oo (Foto: REUTERS/Wa Lone)
ADVERTISEMENT
Nwe Nwe Oo meninggalkan negara bagian Rakhine untuk memulai hidup barunya di Yangon. Nwe berharap bisa lari dari persekusi yang dialaminya sebagai kelompok minoritas Muslim di Myanmar. Namun ternyata kegetiran lainnya menghadang Nwe.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Nwe tinggal di kamp pengungsi kecil di kota Ramree yang telah berdiri sejak konflik agama pecah di Rakhine pada 2012. Namun pada April lalu, pemerintah Aung San Suu Kyi memerintahkan kamp itu ditutup dalam waktu lima tahun, berdasarkan rekomendasi dari penasihat PBB Kofi Annan.
Nwe adalah satu dari sekitar 100 Muslim etnis Kaman yang diusir dari kamp itu. Pemerintah memberikan mereka ongkos bus dan uang untuk memulai hidup baru, sekitar Rp 7,8 juta.
Baru dua bulan, uang dari pemerintah tinggal bersisa setengahnya, untuk makan dan sewa rumah. Pekerjaan sulit dicari, sementara biaya hidup tinggi. Janda berusia 50 tahun ini harus menghidupi dua putrinya seorang diri di kota asing, 500 km dari rumahnya.
ADVERTISEMENT
Putri sulungnya memang sudah bekerja di pabrik teh dengan upah sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Tapi itu tidak cukup.
"Apa yang akan kami makan setelah uang habis? Kami semua khawatir. Saya tidak bisa cari kerja di sini," kata Nwe, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (8/6).
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Pada konflik tahun 2012, rumah Nwe adalah salah satu yang dibakar warga Buddha Rakhine di Ramree. Konflik itu menewaskan sekitar 200 orang dan membuat puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
"Pemerintah yang baru membantu kami pindah ke Yangon, tapi kami berharap kembali ke rumah kami. Saya tidak tahu apakah itu akan terwujud," ujar Nwe.
Warga Muslim Kaman lainnya mengaku lega pindah dari Ramree. Pasalnya di Ramree, mereka diperlakukan dengan diskriminatif dan pergerakan dibatasi. Pekerjaan dan pendidikan yang layak sangat sulit didapat oleh warga Muslim di kota berpopulasi 97 ribu orang itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa supir bus di Ramree bahkan menolak mengangkut penumpang Muslim.
"Saya cinta kampung halaman, tapi akan ada banyak masalah jika saya tetap tinggal," kata Tin Hla, ayah dari empat anak yang masih bertahan di kamp Ramree. Rencananya bulan ini dia juga akan pindah ke Yangon.
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Pemerintah Suu Skyi beralasan penutupan kamp itu terpaksa dilakukan karena pengamanan tidak mencukupi lagi. Namun menurut kepala Badan Koordinasi Kemanusiaan PBB (OCHA) di Myanmar, Mark Cutts, "menutup kamp dan memindahkan warganya hanya mentransfer masalah ke tempat lain."
Diskriminasi juga terlihat dalam pemindahan warga ini. Berbeda dengan warga Muslim Kaman, sekitar 300 warga Buddha Rakhine yang juga kehilangan tempat tinggal dalam konflik 2012 mendapat perlakuan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Mereka diberikan 54 rumah di wilayah Kyauk Pyu, bersebelahan dengan Ramree. Rumah itu dilengkapi air, listrik, dan sistem pembuangan yang baik. Untuk setiap keluarga, diberikan sekitar Rp3,9 juta untuk memulai hidup baru.
Kaman adalah salah satu etnis masyarakat Muslim minoritas di Myanmar. Berbeda dengan Rohingya yang dijuluki "etnis paling tertindas di dunia", warga Kaman punya status sebagai warga negara Myanmar dan diakui secara resmi sebagai salah satu etnis masyarakat.
Melihat nasib warga Kaman yang tidak bisa kembali ke rumah mereka, harapan kian pupus bagi nasib 120 ribu Muslim Rohingya yang saat ini masih mengungsi di Rakhine.
"Jika pemerintah Myanmar tidak bisa memfasilitasi keamanan dan kepulangan warga Kaman, kelompok etnis yang diakui secara resmi sebagai warga, maka harapan apa lagi yang tersisa bagi Rohingya?" ujar peneliti lembaga HAM Amnesty International, Laura Haigh.
ADVERTISEMENT