Desain Pilkada 2024 Dianggap Bermasalah, 11 Kepala Daerah Ajukan JR ke MK

26 Januari 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
ADVERTISEMENT
Desain Pilkada Serentak 2024 tengah menjadi sorotan 11 kepala daerah. Mereka mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kepala daerah yang mengajukan judicial review yaitu Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Wali kota Makassar, Wali kota Bontang, Wali kota Bukittinggi.
Mereka menunjuk Visi Law Office yang diisi Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang sebagai kuasa hukumnya.
"Jakarta, 26 Januari 2024, VISI LAW OFFICE menjadi Kuasa Hukum dari 11 (sebelas) Kepala Daerah untuk mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) UU PILKADA ke Mahkamah Konstitusi," demikian keterangan tertulis Visi Law Office, Jumat (26/1).
Dalam keterangannya, 11 kepala daerah itu menilai desain keserentakan Pilkada nasional tahun 2024 yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi. Mereka mengeklaim aturan itu telah merugikan sejumlah 270 kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang paling mereka soroti yakni terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan. Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah atau 49,5%.
Adapun pasal yang mereka perkarakan yakni:
Pasal 201 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”;
Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016: “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024;
ADVERTISEMENT
Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan Penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui pemilihan serentaknasional pada tahun 2024”;
Selain itu, terdapat 7 poin argumentasi hukum Visi Law Office yang dimasukkan dalam judicial review. Berikut bunyinya:
1) Tidak Terdapat Perdebatan Teknis dan Substansial dalam Pembahasan Jadwal Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.
ADVERTISEMENT
2) Penjadwalan Penyelenggaraan Pilkada November 2024 Tanpa Mempertimbangkan Risiko dan Implikasi Teknis
3) Tujuan Keserentakan Pemilu untuk Efisiensi Anggaran Tidak Terlaksana
4) Penentuan Jadwal Pilkada Serentak Nasional 2024 Merugikan Sebanyak 270 Kepala Daerah Hasil Pilkada 2020
5) Keserentakan PILPRES, PILEG, dan PILKADA Membuat Potensi Korupsi Lebih Tinggi
6) Keserentakan PILPRES, PILEG, dan PILKADA Membuat Potensi Gangguan Keamanan dan Ketertiban Menjadi Besar
7) Adanya Potensi Penumpukan Perkara Hasil Sengketa Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi
Minta MK Beri Putusan
Rasamala Aritonang, Febri Diansyah dan Donal Fariz. Foto: kumparan
Atas seluruh argumentasi yang dijelaskan secara detail dalam permohonan, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.
Pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.
ADVERTISEMENT
"Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut," tutup keterangan tersebut.