Dewan Pers Bolehkan Jurnalis Pakai AI: Tapi Ingat, Tetap Harus Verifikasi

6 Desember 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu ditemui di gedung Dewan Pers, Selasa (1/10/2024). Foto: Abid Raihan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu ditemui di gedung Dewan Pers, Selasa (1/10/2024). Foto: Abid Raihan/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyebut wartawan boleh menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam dunia jurnalistik. Namun, verifikasi dan keterlibatan jurnalis tetap menjadi hal yang tak bisa diabaikan dalam proses pemberitaan.
ADVERTISEMENT
“Teknologi kecerdasan buatan ini boleh digunakan, namun karena AI bukan manusia, informasi yang diberikan tetap harus melalui akurasi dan verifikasi oleh jurnalis,” ujar Ninik saat ditemui di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, Jumat (6/12).
“Karena AI nggak punya perasaan,” tambah Ninik.
Ia menegaskan, AI hanya boleh menjadi sumber bahan pemberitaan, bukan pembuat berita jadi yang akan disuguhkan ke masyarakat.
“Yang dibuat oleh AI, bahkan sudah seperti berita itu adalah sebagai bahan. Dia bahan, bukan produksi jadi yang bisa disuguhkan ke masyarakat, karena kalau ada kesalahan dan lain-lain itu merusak publik kita, merusak ekosistem pers kita,” tuturnya.
“Karena AI ini hasil karya manusia, yang harus men-drive pemikiran dan tulisan adalah manusia itu sendiri, bukan teknologi,” tambahnya.
Ilustrasi generator gambar AI. Foto: Shutterstock
Ninik juga mengingatkan pentingnya transparansi dalam penggunaan AI. Ia berharap perusahaan pers untuk menyebutkan sumber penggunaan AI dalam tulisannya dan mencantumkan disclaimer jika informasi yang disajikan berasal dari teknologi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Jika menggunakan AI, harus ada keterbukaan tentang sumber informasi yang digunakan, meskipun data yang dihimpun oleh AI tidak selalu dapat ditelusuri kembali,” ujarnya.
Menurut Ninik, meski AI bisa menghasilkan artikel, akurasi dan verifikasi data tetap menjadi tanggung jawab jurnalis.
“AI tidak bisa diandalkan untuk melakukan investigasi atau pengecekan fakta. Kekuatan jurnalisme terletak pada akurasi, verifikasi, dan kemampuan investigasi terhadap informasi yang diperoleh,” jelasnya.
Lalu, ia menambahkan, berita yang diproduksi AI seringkali tidak dapat menghasilkan keterlibatan atau engagement dari masyarakat, karena tidak ada elemen pemikiran kritis dan analisa yang khas dari jurnalis.
Uji publik pedoman penggunaan kecerdasan buatan pada karya jurnalistik oleh Dewan Pers di Aryaduta, Menteng, Jakarta pada Jumat (6/12). Foto: Abid Raihan/kumparan
Engagement itu penting, jadi artinya berita itu bisa mengajak masyarakat untuk ikut memikirkan berbagai hal yang ditulis di situ. Tindak lanjutnya, kritik dari masyarakatnya, setuju dan tidak setuju dengan tulisan itu,” ucap Ninik.
ADVERTISEMENT
“Nah, engagement tulisan yang dibuat itu tidak akan muncul dari produksi AI karena itu temuan-temuan baru yang dihasilkan dari pemikiran para jurnalis kita,” tambahnya.
Ninik juga menyoroti pentingnya etika jurnalistik, yang tidak dapat digantikan oleh AI.
Ilustrasi artificial intelligence. Foto: Shutterstock
“AI belum memiliki kode etik atau perasaan, sementara jurnalis terikat oleh kode etik yang harus dijaga. Kepercayaan publik terhadap media harus dibangun dari kebenaran yang ditemukan melalui investigasi yang mendalam,” katanya.
Kini, Dewan Pers sedang merumuskan pedoman penggunaan AI dalam karya jurnalistik. Ninik berharap pedoman terkait penggunaan AI dalam jurnalistik dapat segera selesai.
“Pedoman ini sudah 70 persen selesai, kami harap bisa tuntas tahun ini. Pedoman tersebut akan disusun dengan melibatkan masukan dari berbagai ahli dan media yang telah menggunakan AI, serta referensi dari pedoman yang telah diterapkan di negara lain,” tutup Ninik.
ADVERTISEMENT