Seni Telanjang dari Kacamata Dewi Sukarno

14 Maret 2017 11:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Unggahan foto lukisan istri Soekarno di IG Pevita (Foto: Instagram @pevpearce )
zoom-in-whitePerbesar
Unggahan foto lukisan istri Soekarno di IG Pevita (Foto: Instagram @pevpearce )
Ratna Sari Dewi Sukarno. Istri kelima Presiden Sukarno yang asal Jepang dan bernama asli Naoko Nemoto itu jadi bahan perbincangan lagi gara-gara unggahan lukisan telanjangnya bersama Sukarno berjudul Under My Umbrella karya Ronald Manullang di akun Instagram Pevita Pearce --yang kini telah dihapus.
ADVERTISEMENT
Buat sebagian masyarakat Indonesia, lukisan itu bisa jadi tak biasa, lantaran menggambarkan sang "Dewi" yang berdiri di sebelah Sukarno tanpa mengenakan sehelai kain pun. Ia berdiri manis dalam kondisi telanjang bulat. (Selengkapnya:)
Terlepas dari soal unggahan kontroversial Pevita itu, siapakah sang dewi dalam lukisan itu?
Dewi Sukarno masih berumur 19 tahun ketika ia bertemu dan akhirnya dipersunting oleh Sukarno yang ketika itu telah berusia 57 tahun. Betapa jauh terpaut usia kedua insan itu.
Nama Ratna Dewi Sukarno resmi disematkan pada sang dewi ketika ia menikah dengan Sukarno, menggantikan nama lahirnya, Naoko Nemoto.
Presiden Soekarno (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Soekarno (Foto: Wikimedia Commons)
Pernikahan Ratna Dewi dan Sukarno digelar diam-diam pada 1959, dan diberkati dengan kelahiran seorang anak perempuan bernama Kartika Sari Dewi Soekarno. Sang bayi, yang kini kerap disapa Karina, sejak lahir tinggal bersama ibunya.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya Sukarno lengser, Karina dan Dewi berada jauh darinya.
Sosok Dewi sebagai istri Presiden Sukarno tak banyak diketahui. Ia disebut menjadi jembatan Indonesia dan Jepang. Karakter Dewi yang dominan, blakblakan, dan mandiri membuat Sukarno jatuh hati dan menjadikan Dewi tak hanya sebagai istri, namun juga sebagai mitra kerja yang berperan besar menjaga hubungan harmonis Indonesia dan Jepang, negara asal Dewi.
Terang saja pernikahan Dewi dan Sukarno membawa angin segar bagi hubungan Indonesia dan Jepang. Dewi secara aktif terlibat dalam melindung aset-aset Jepang di Indonesia, bahkan merawat tentara Jepang yang masih tertinggal di Indonesia.
Hubungan bilateral kedua negara yang membaik membuahkan kuota 500 pelajar Indonesia terbaik dikirim ke Jepang untuk belajar secara gratis.
Dewi Soekarno. (Foto: Wikimedia commons)
zoom-in-whitePerbesar
Dewi Soekarno. (Foto: Wikimedia commons)
Dewi di negara asalnya dikenal sebagai sosok kontroversial. Terlebih ketika ia meluncurkan buku Madame de Syuga pada 1998. Dalam buku itu, Dewi tampil dengan lekuk tubuh penuh tato estetis dan tak ditutupi sehelai benang pun. Ia berpose artistik semitelanjang sampai sepenuhnya bugil, menunjukkan tato-tato yang dilukis di kulitnya.
ADVERTISEMENT
Buku Madame di Syuga diterbitkan di Jepang, namun dilarang beredar di Indonesia. Alasannya, masyarakat Indonesia "tidak siap" dengan seni telanjang yang dihadirkan oleh Dewi melalui foto-foto bertatonya. (Baca:)
Madame de Syuga (Foto: website: bukalapak.com)
zoom-in-whitePerbesar
Madame de Syuga (Foto: website: bukalapak.com)
Alih-alih melihat karya seni tato dalam buku itu sebagai keindahan, sebagian orang berpendapat karya tersebut mencemarkan nama baik Sukarno dan warisannya.
Kritik dan ucapan tak enak terus diterima Dewi. Dewi kerap diasosiasikan sebagai aib Bung Karno. Ia dituding telah mencoreng nama baik Bapak Bangsa. (Baca: )
Dewi dianggap kontroversial, terlalu saru, dan tak layak untuk diingat sebagai mantan Ibu Negara. (Baca )
Bagi --mungkin separuh lebih-- masyarakat Indonesia yang lekat dengan budaya sopan dan serbatertutup, ekspresi Dewi Sukarno yang diungkapkan dengan cara pembebasan seni diri melalui ketelanjangan dirasa tak cocok untuk dilakukan seorang perempuan, yang apalagi ialah mantan Ibu Negara.
ADVERTISEMENT
Tapi Dewi tak bergeming mendengar ragam komentar dan anggapan tersebut. Ia tak ambil pusing. Bagi Dewi, foto-foto tersebut adalah karya seni yang menunjukkan bahwa pada usia senja sekalipun, perempuan masih tetap bisa memiliki tubuh indah, dan untuk itu sudah seharusnya perempuan merasa bangga dengan dirinya --dan tubuhnya.
Bagi Dewi, ketelanjangannya dalam Madame de Syuga tak seharusnya dipandang sebagai aksi asusila maupun foto yang sarat dengan nilai pornografi. Buat dia, Madame De Syuga ialah seni penghormatan terhadap tubuh perempuan yang sempurna.
Tapi tentu saja, itu pendapat Dewi. Anda bisa jadi punya perspektif berbeda, dan terserah pada pemaknaan masing-masing individu soal itu --asal tak saling mencela satu sama lain.
Dewi Soekarno (Foto: Wikimedia Commons.)
zoom-in-whitePerbesar
Dewi Soekarno (Foto: Wikimedia Commons.)