Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dibunuh: Kisah Wawan dan Sumarsih di Lingkar Buram ‘98
3 Agustus 2017 8:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Angin sore bertiup tenang di pekuburan Joglo, Jakarta Barat.
Lamat-lamat, di tengah desir angin, suara perempuan terdengar. Seperti rapalan mantra.
ADVERTISEMENT
“Sekarang saya bahagia bersama Wawan. Saya selalu berbahagia bersama Wawan.”
Perempuan bergaun hitam itu duduk di samping sebuah makam. Tangannya menggenggam rosario. Lidah api dari lilin menari-nari di atas pusara.
Nyaris satu jam ia duduk di sana, bergeming menghentikan waktu, berdoa khusyuk untuk satu nama yang terpancang di atas kuburan: Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan).
Hampir 20 tahun sebelumnya, Wawan berbincang dengan ibunya, Maria Katarina Sumarsih.
“Bu, masa sih Wawan itu urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi,” ujar Wawan kepada Sumarsih.
“Dihabisi? Apa artinya?” ujar Sumarsih, balik bertanya. Ia jadi resah.
“Ya mau dibunuh, Bu,” jawab Wawan.
“Hah, mau dibunuh?” Hati Sumarsih mencelos. Ia panik. Mencemaskan keselamatan anak bujangnya.
ADVERTISEMENT
Sumarsih, yang sehari-hari berkerja sebagai pegawai di Sekretariat DPR RI, bukannya tak tahu situasi saat itu sedang panas. Unjuk rasa tak juga surut. Padahal Soeharto telah tumbang beberapa bulan sebelumnya.
Masuk bulan November 1998, Jakarta kembali genting. Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 rupanya tak membuat massa demonstran sepenuhnya puas.
Sang suksesor, Bacharuddin Jusuf Habibie, dianggap sebagian pihak gagal memenuhi tuntutan Reformasi. Dan sebagian mahasiswa kembali turun ke jalan.
Keadaan makin tegang seiring rencana Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998. Pada titik ini, ironi menghampiri Sumarsih dan sang putra, Wawan.
Kala Sumarsih sebagai staf DPR sibuk mempersiapkan Sidang Istimewa MPR di gedung parlemen, Wawan justru turun ke jalan menolak agenda Sidang Istimewa tersebut. Ia bagian dari massa demonstran.
ADVERTISEMENT
Melihat unjuk rasa besar terjadi, Kepolisian dan ABRI memperketat penjagaan, mengerahkan personel hingga 15.000 tentara. Jakarta siaga demi pengamanan Sidang Istimewa MPR November 1998.
Sebagai mahasiswa yang giat berunjuk rasa, Wawan merasa terancam, namun tak mau mundur. Ia berupaya mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Kepada Sumarsih sang ibunda, Wawan minta dibelikan ponsel dan rompi antipeluru.
Sumarsih, yang kian khawatir dengan keselamatan Wawan, lantas memberikan uang Rp 200 ribu kepada Wawan untuk dibelikan rompi antipeluru.
Sayang, rompi antipeluru habis. Wawan hanya mendapat jaket kulit.
Wawan yang masuk kampus mulai Juli 1996, menjadi mahasiswa bersamaan dengan situasi Indonesia yang memanas. Krisis moneter berujung turbulensi politik, dan Wawan tak duduk anteng di bangkunya--ruang perkuliahan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sejak peristiwa gawat di penjuru Jakarta yang juga membuat empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak pada 12 Mei 1998, Sumarsih sudah was-was. Sebab Wawan tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mendampingi korban kekerasan.
Benak Sumarsih kerap dibayangi tragedi Trisakti, resah jika satu saat Wawan harus berdiri di garis depan ketika demonstrasi merebak.
Wawan tak cuma minta dibelikan rompi antipeluru, tapi juga ponsel untuk mempermudah komunikasi.
Meski uang untuk membeli rompi antipeluru diberikan Sumarsih, ponsel tidak.
“Karena saya bisa berkomunikasi dengan Wawan memakai telepon BPM FE (Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya),” kata Sumarsih ketika berbincang dengan kumparan di kediamannya, Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, Sabtu (29/7).
ADVERTISEMENT
Tapi ibu mana yang tak gelisah melihat putranya hampir tiap hari berada di pusaran berbahaya. Sumarsih pun sempat meminta Wawan untuk berhenti dari semua aktivitas. Berhenti kuliah juga tak apa. Asal selamat.
Tapi tekad Wawan tak bisa dibendung.
Bahkan baru tiga hari setelah operasi polip yang mengharuskannya opname di Rumah Sakit Sumber Waras, 9 November 1998, Wawan langsung meminta diantarkan ke kampus. Ia akan memimpin sebuah diskusi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya.
Sejak itu, Wawan terus berada di kampus. Dan tiga hari kemudian, 12 November malam, Wawan berkomunikasi dengan Sumarsih.
“Wawan kenapa nggak pulang? Kan Wawan baru operasi sinus, dan udara luar kotor. Terus kamu makannya bagaimana?” tanya Sumarsih kepada sang bujang.
ADVERTISEMENT
Wawan menenangkan ibunya. “Bu, kalau masalah udara, Wawan kan tidurnya di ruang BPM yang ber-AC. Sarapan tadi dibeliin bubur ayam sama dosen Wawan. Wawan habis dua mangkok, Bu.”
Keesokan harinya, Jumat 13 November, Sumarsih begitu sibuk di Gedung MPR/DPR RI. Hari itu memang hari terakhir Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan keputusan: mempercepat pemilihan umum pada 1999.
Namun di tengah kesibukan, Sumarsih mendadak risau. Ia mendengar kabar gawat: akan dilakukan penembakan bebas dengan peluru tajam oleh aparat, dan Menhakam/Pangab Jenderal Wiranto meminta semua aktivitas ditutup.
Ucapan Wawan kembali menyelinap masuk ke benak Sumarsih.
“Bu, masa sih Wawan itu urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi.”
Sumarsih ketar-ketir dengan kondisi Wawan di kampus. Ia ingin menemui Wawan di Atma Jaya, tapi situasi terlanjur panas.
ADVERTISEMENT
Kantor Sumarsih di DPR RI sudah dijaga pasukan bersenjata di setiap ruangan, dan tong-tong serta kawat berduri dijejer di depan Gedung MPR/DPR.
Sumarsih dan pegawai DPR lain sempat mati kutu. “Mau menyeberang (di belakang Gedung DPR) saja dilarang sama polisi.”
Telepon di kantor Sumarsih berdering. Wawan menghubungi. Namun Sumarsih keburu pulang di tengah situasi kota yang tak menentu.
Sebelum mencoba menelepon Sumarsih, Wawan sempat menelepon ayahnya. Ia menceritakan, keadaan kacau tak memungkinkannya untuk pulang.
“Bagaimana mau pulang? Di kampus suasana sudah kayak perang, Pak.”
Sang ayah lantas meminta Wawan untuk tetap di dalam kampus supaya aman.
Kampus Atma Jaya sudah dikepung aparat pukul 16.30 WIB saat Sumarsih tiba di rumah.
ADVERTISEMENT
Sumarsih menyaksikan ketegangan di kampus putranya itu dari televisi di rumah.
Tiba-tiba, layar televisi memunculkan gambar seseorang terkena tembakan. Sumarsih panik.
“Ada yang kena!” teriaknya.
Sumarsih langsung mengajak sang suami, Arief Priyadi, berangkat ke Atma Jaya.
“Mas, ayo kita ke kampus! Ayo belikan Wawan handphone.”
Sumarsih sangat yakin Wawan ada di tengah lautan mahasiswa yang saat itu sedang dihujani peluru.
Di tengah kepanikan dahsyat yang melanda Sumarsih, telepon berdering. Sejumlah orang menghubungi. Salah satunya dari kawan Wawan bernama Ivon.
“Ini rumahnya Wawan? Tante tenang saja di rumah. Ivon akan cari Wawan. Nanti kalau sudah ketemu, Ivon akan segera telepon ke Tante.”
Menyusul masuk telepon dari Romo Ignatius Sandyawan Sumardi. Pria yang biasa dipanggil Romo Sandi itu merupakan Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), tim tempat Wawan bergabung.
ADVERTISEMENT
Sumarsih langsung berteriak, “Wawan bagaimana, Romo?! Wawan bagaimana, Romo?!”
Melihat sang istri histeris, telepon direbut oleh Arief. Perbincangan antardua lelaki itu terdengar jelas. Ketakutan Sumarsih terkonfirmasi: Wawan tertembak.
Sumarsih dan Arief diminta segera ke Rumah Sakit Jakarta yang tak jauh dari kampus Wawan.
Mulailah momen-momen terburuk dalam hidup Sumarsih dimulai.
“Ketika saya dengar Wawan tertembak dan saya disuruh ke Rumah Sakit Jakarta, saya ganti baju lalu ambil kendaraan. Kemudian saya naik mobil sambil nangis.”
Perjalanan menuju Rumah Sakit Jakarta dilalui penuh liku. Keluar dari Tol Tomang, jalan sudah dibarikade kawat berduri. Polisi dan tentara berjejer berjaga.
Sumarsih kemudian turun menemui aparat, meminta dibukakan jalan agar segera sampai di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
“Pak, saya minta bantuannya bagaimana supaya saya bisa tiba di Rumah Sakit Jakarta. Anak saya kena musibah, tertembak,” ucap Sumarsih, memohon.
Polisi menolak permintaan itu. “Wah nggak bisa, Bu. Nggak bisa.”
Sumarsih masih berkukuh. “Masa sih Pak nggak bisa. Saya bisa didampingi untuk dibukakan kawat berduri ini, ayo.”
Jawaban polisi tetap “tidak”.
Sumarsih belum mau menyerah. Ia beringsut menemui tentara yang berjaga. Kepada mereka, Sumarsih mengajukan permintaan serupa.
“Pak, saya minta bantuannya, supaya segera bisa sampai ke rumah sakit. Anak saya tertembak. Ini KTP saya. Saya pegawai DPR, ini kartu pengenal saya.”
Upaya Sumarsih kembali membentur dinding.
“Nggak bisa. Ibu harus segera tinggalkan tempat ini. Ibu jangan mengundang massa. Terserah ibu lewat mana.”
ADVERTISEMENT
Mobil Sumarsih dan Arief kemudian mencari jalan lain. Sepanjang jalan, Sumarsih tak putus mendaraskan doa dengan rosario tergenggam di tangan.
“Selamatkanlah, Tuhan. Selamatkanlah anak saya. Bunda Maria, tolonglah.”
Saat mobil yang dikendarai Arief dan Sumarsih tiba di sekitar Semanggi, senja menjelang, namun huru-hara masih berlangsung.
Langit senja menyuguhkan pemandangan sendu di mata Sumarsih. Ia, yang sedang dikepung kalut, melihat semburat pelangi di sisi barat jembatan Semanggi dari pantulan kubangan air hasil siraman aparat ke massa demonstran.
Azan magrib berkumandang, dan Sumarsih tiba di ujung Jalan Garnisun.
Keadaan masih saja kacau. Orang-orang berlalu-lalang, dan kendaraan melintas semrawut berlawanan arah.
Pintu Rumah Sakit Jakarta dipenuhi mahasiswa. Sumarsih merangsek masuk, bertanya-tanya kepada mereka.
ADVERTISEMENT
“Dik, saya ibunya Wawan. Wawan katanya tertembak, ya? Wawan sekarang di mana?”
Demi mendengar kalimat itu, mahasiswa itu terlihat agak panik.
“Ini… Wawan di UGD, Tante,” jawabnya.
Ia lantas mengantar Sumarsih dan Arief. Saat mereka hendak masuk lift menuju UGD, seorang mahasiswa lain keluar dari lift, dan ia berbincang dengan mahasiswa yang mendampingi Sumarsih.
“Wawan di mana,” tanya si mahasiswa pengantar.
“Wawan di basemen,” jawab kawannya.
Pikiran buruk sontak melintas di kepala Sumarsih.
Ia langsung dihampiri banyak orang setiba di basemen. Mereka mendekapnya hangat, haru.
Seketika, Sumarsih tahu fragmen-fragmen terpahit dari mimpi buruknya datang.
“Saya langsung menangis,” ujar Sumarsih.
Ia masuk ke ruangan jenazah, dan berhadapan dengan tiga keranda yang berjajar.
ADVERTISEMENT
Wawan terbujur rapi. Tangan terlipat, mata terpejam, dan ujung jempol diikat kain putih.
Sumarsih meraba sang bujang dari kepala sampai ujung kaki. Ia juga membuka pakaian Wawan, dan melihat lubang di dada bagian kiri.
“Kamu ditembak, Wan,” kata Sumarsih, menyapa Wawan.
Wawan tak membalas sapaan sang ibu. Luka di dada, yang telak menembus jantung, telah membuatnya diam.
Di tengah riuh kekacauan massa dan desing peluru, jiwanya terbang hening menuju keabadian.
Sumarsih tak tahu harus menangis seperti apa. Baginya, jika sang putra sudah meninggal, ya sudah. Sumarsih hanya ingin segera membawanya pulang dan mengurus pemakaman.
Namun saat tengah mengurus administrasi pengambilan jasad Wawan, seorang pria menghampiri, menyarankan agar jenazah Wawan diautopsi lebih dulu.
ADVERTISEMENT
Sumarsih sempat ragu. Ia lalu meminta pendapat beberapa pihak, termasuk sejumlah Romo yang hadir di rumah sakit.
Si pria pemberi saran berkata, “Itu hanya operasi kecil, Bu. Nanti menjadi penting.”
Alasan tersebut cukup meyakinkan. Sumarsih menyetujuinya, dan autopsi dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Meski Wawan jelas telah tiada, Sumarsih tak berhenti berdoa. Kegentingan belum reda.
Malam harinya, jenazah Wawan dimasukkan ke ambulans untuk dibawa ke RSCM. Namun ketika melintas di Semanggi, Sumarsih didera kekagetan lain.
Sopir ambulans berteriak, “Tundukkan kepala! Tundukkan kepala! Mobil kita ditembaki!”
Betapa tak mengagetkan. Ambulans tak bersenjata, yang berdasarkan aturan internasional dilindungi di medan perang manapun di seluruh dunia, masih saja ditembak.
Autopsi atas jasad Wawan dilakukan oleh dokter forensik RSCM, Budi Sampurno. Hasil autopsi memperkuat dugaan bahwa Wawan jadi korban penembakan oleh aparat.
ADVERTISEMENT
“Putra Ibu meninggal dunia karena ditembak peluru tajam standar ABRI, mengenai jantung dan paru di dada sebelah kiri,” kata Dokter Budi kepada Sumarsih.
Autopsi usai. Wawan akhirnya pulang ke rumah. Ia tak lagi disambut dengan sate kambing dan tempe kesukaannya, tapi peti mati.
Saat jasad Wawan dimandikan, Sumarsih merasa suwung--hampa. Meski air mata menetes di pipinya, Sumarsih tak merasa sedih, pun tak senang.
“Jari-jari Wawan terlihat lentik, bulunya bagus, badannya gemuk,” ucap Sumarsih sambil tersenyum, mengingat detail tubuh sang putra.
Sumarsih ingin memberikan kado terakhir yang paling bagus untuk anak sulungnya itu.
“Saya minta petinya yang bagus, jasnya yang bagus, makamnya yang bagus. Hanya itu.”
Wawan dimakamkan esoknya, Sabtu 14 November 1998. Gereja Meruya dipenuhi pengunjung. Bendera Merah Putih dan bendera organisasi mahasiswa berkibar.
ADVERTISEMENT
Kawan-kawan Wawan datang berwarna-warni, berselimut jaket almamater berbagai kampus. Warna cerah bercampur duka kelabu.
“Wawan meninggal ditembak oleh aparat ketika sedang menolong mahasiswa yang juga tertembak,” ucap Uskup Agung Jakarta saat itu, Kardinal Julius Darmaatmadja, memimpin prosesi pemakaman.
Semua saksi mengiyakan ucapan tersebut. Wawan, yang mengenakan kartu identitas Tim Relawan Kemanusiaan, memang ditembak dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di parkiran Universitas Atma Jaya.
Budi baik Wawan, ketulusannya membantu kawan, selamanya hidup dalam ingatan keluarga dan sahabat.
Lautan manusia berdiri tegap, memberi hormat ke arah mobil jenazah yang mengarah ke Taman Pemakaman Umum Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.
Sumarsih tak lagi mampu menahan tangis.
Sejak saat itu, hingga 6.900 hari sesudahnya, dan mungkin seterusnya nanti, hati Sumarsih kebas. Ia mati rasa.
ADVERTISEMENT
Tak beda jauh dengan Arief, ayah Wawan. Ia masih menyimpan rasa tak terima di hati.
“Saat saya lihat (dokumentasi) di lapangan, aparat itu benar-benar membidik, bukan melakukan tembakan bebas,” kata Arief.
Wawan, sekrup kecil di semesta, jadi satu di antara yang dibidik.
Sumarsih sampai sekarang masih terus menghitung Wawan sebagai anggota keluarga. Piring, gelas, serta lauk-pauk untuk Wawan, tak pernah luput ia siapkan sehari-hari. Sama seperti sediakala.
Sumarsih tahu, Wawan tak bisa kembali dan tak dapat diganti. Kenangan atasnya bisa kapanpun diputar, tapi tak bakal mengubah kenyataan.
Kini, hampir 20 tahun setelah kepergian Wawan, Sumarsih memaknai kehadiran Wawan dalam hidupnya dengan berbeda, dan lebih dalam.
Setelah ribuan malam merindu Wawan, Sumarsih mendadak tersadar, Wawan selama ini tak pernah jauh darinya. Mereka begitu dekat.
ADVERTISEMENT
Bagi Sumarsih, mati sebatas beda dunia. Secara fisik, Wawan kini menjadi tanah. Tapi rohnya tetap ada.
“Sampai sekarang Wawan bersama saya,” ucap Sumarsih, yakin.
Angin pekuburan kembali membelai lembut tubuh Sumarsih.
“Sekarang saya bahagia bersama Wawan. Saya selalu berbahagia bersama Wawan.”
Senyum mengembang dari bibirnya. Ia lalu menatap tegar ke depan.
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan follow topik Liputan Khusus di kumparan.