kumplus- Siasat Merdeka Finansial Jelang Pernikahan

Dilema Menikah: antara Kesiapan dan Tekanan

8 April 2025 7:42 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mengantongi visa kerja Australia menjadi syarat utama bagi Amaliyah Herdiati—yang akrab disapa Amel—untuk menikah. Bagi Amel, visa kerja bukan sekadar titian karier, tapi juga tujuan hidupnya bersama sang kekasih, Sidra, yang telah lebih dulu merantau ke Negeri Kanguru.
ADVERTISEMENT
Tekadnya itu bukannya berjalan tanpa tantangan. Amel yang kini 27 tahun terus menghadapi desakan dari keluarganya di Medan yang menganggap pernikahan mesti ditempuh oleh perempuan seusianya.
Tekanan keluarga itu tak surut ketika Amel pindah ke Bali untuk lebih fokus dengan dirinya sendiri. Saat Sidra berangkat ke Australia, keluarga Amel makin mendesaknya menikah.
“Aku butuh nunggu. Aku [harus] dapat visa kerja Australia juga, baru setelah itu nikah. Jadi kami akan menunggu sampai aku dapat bisa visa kerja Australia. Kalau gak dapet ya coba lagi dan nunggu lagi [nikahnya],” kata Amel, bercerita kepada kumparan.
Pendirian Amel sering ditentang orang tua dan kerabat yang masih memegang pandangan tradisional bahwa menikah adalah langkah utama menuju kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
“Nikah dulu, urusan lain bisa dicari,” demikian wejangan yang sering Amel dengar.
Perempuan sekarang banyak yang mendahulukan karier ketimbang menikah demi stabilitas finansial di masa depan. Foto: fizkes/Shutterstock
Padahal Amel memiliki alasan kuat untuk tak buru-buru menikah sebelum memegang visa kerja Australia. Ia tak ingin bernasib sama dengan ayah ibunya yang sempat mengalami kesulitan dalam hidup.
Semasa kecil sampai SMP, keluarga Amel sering berpindah-pindah tempat tinggal. Orang tua Amel baru memiliki rumah tetap ketika ia sudah SMA. Memori inilah yang membuatnya sedih.
Berkaca dari perjalanan hidup orang tua, Amel tak ingin masa depannya: nomaden berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya tanpa tempat tinggal yang jelas. Dia bertekad memiliki rumah sebelum menikah.
“Kalau aku sebelum nikah, aku sudah pengen punya rumah sendiri. Karena, kaya gimana ya, aku tumbuh di keluarga yang kurang mampu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Amel menyadari, harga rumah tiap tahun makin mahal. Karena itulah, ia tak berminat bekerja di Indonesia karena gaji yang kecil hingga kestabilan negara yang akhir-akhir ini membuatnya khawatir. Menurutnya, mustahil bisa memiliki rumah jika melihat standar upah karyawan di Indonesia.
“Ketika aku bertahan di Indonesia, aku berpikir kayaknya aku gak akan pernah bisa punya rumah. Even sampai aku sudah tua. Aku skeptis kalau aku tuh bisa punya rumah di masa depan. Jadi kayak, aku menjadikan kerja di Australia itu sebagai jalan pintasku untuk mendapat uang instan. Dan aku bisa punya rumah secepatnya,” kata Amel.
Ia bukan satu-satunya yang berpikir demikian. Keputusan menunda pernikahan tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya tren penurunan angka pernikahan selama 2021-2023.
Ilustrasi pernikahan. Foto: thinkstock
BPS mencatatkan adanya penurunan angka pernikahan selama tahun 2021-2023. Terdapat 1,72 juta pernikahan pada 2021. Angka tersebut menurun pada 2022 menjadi 1,7 juta, kemudian menurun kembali pada 2023 menjadi 1,57 juta pernikahan.
ADVERTISEMENT
Data BPS lainnya menunjukkan adanya tren penurunan persentase pemuda yang berstatus belum kawin. Pada 2014, persentase pemuda belum kawin yakni sebesar 54,11%. Angka ini mengalami peningkatan tiap tahunnya, kecuali pada 2018 yang sempat mengalami penurunan secara tidak signifikan, kemudian meningkat kembali hingga menyentuh angka 68,29% pada 2023.
Jika dibedah berdasarkan kelompok umur, sebanyak 81,93% pemuda usia 19-24 tahun dan 38,05% pemuda usia 25-30 tahun berstatus belum menikah.

Karier dan Stabilitas Finansial Jadi Prioritas

Bagi anak muda, terutama mereka dari kelompok generasi milenial dan gen Z, banyak dari tantangan pernikahan itu datang dari sebelum menikah. Salah satu rintangan terberat adalah faktor ekonomi, terkait biaya pernikahan dan ekspektasi orang tua.
Hal ini tergambar dalam survei Populix bertajuk Pre and Post Wedding: Financial Planning and Management ini melibatkan 1.038 responden yang terdiri dari Generasi Z dan Milenial.
ADVERTISEMENT
Mayoritas responden sebesar 61 persen memilih rentang usia 25-30 tahun sebagai waktu yang paling tepat untuk memasuki jenjang pernikahan. Sementara, 32 persen responden menganggap usia 20-25 tahun sebagai usia ideal menikah. Hanya 8% yang memilih menikah di atas usia 30 tahun.
Ilustrasi Gen Z. Foto: Fit Ztudio/Shutterstock
Menurut survei tersebut, milenial dan gen Z yang sedang merencanakan pernikahan mengungkap tantangan terberat yang dihadapi adalah keterbatasan biaya, diakui oleh 59 persen. Kemudian, 57 persen mengaku ekspektasi orang tua memberatkan mereka dalam merencanakan pernikahan.
Faktor ekonomi diamini Amel menjadi hal utama yang dipikirkan secara matang bersama kekasihnya, Sidra sebelum mengikat hubungan ke jenjang pernikahan.
Menurut Amel, ekonomi pasangan yang stabil akan sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan berumah tangga. Belum lagi watak Sidra yang cenderung emosional jika tak ada uang.
ADVERTISEMENT
“Aku lebih takut soal ekonomi. Jadi aku berharap ke depannya, dia mendapat pekerjaan yang lebih bagus, keuangan stabil,” tutur Amel.
Ilustrasi perempuan lajang. Foto: Krakenimages.com/Shutterstock
Cerita serupa juga dialami Pinky. Baginya, kemapanan finansial bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi juga faktor yang harus diperhitungkan dalam memilih pasangan hidup. Pinky berpandangan pernikahan bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang kesiapan menghadapi realitas kehidupan berumah tangga.
"Menurutku, ekonomi itu hal yang penting dalam pernikahan. Bagaimanapun juga, menikah berarti membangun keluarga, dan itu membutuhkan kestabilan finansial. Ada anak yang nantinya harus dibesarkan, ada kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi, belum lagi tanggung jawab terhadap keluarga besar," ujar Pinky.
Sebagai seorang perempuan, ia merasa perlu bersikap realistis dalam menentukan pasangan. Bukan berarti ia mencari seseorang yang kaya raya, tetapi cukup untuk memastikan kehidupan rumah tangga berjalan dengan layak. Dia yang kini juga bekerja sebagai karyawan swasta juga tengah memantaskan diri dari segi finansial.
ADVERTISEMENT
Pinky meyakini keseimbangan antara cinta, kecocokan, dan kestabilan ekonomi adalah kunci dalam membangun rumah tangga yang harmonis.
"Kalau dari aku cewek nyari suami, kan tugas mencari nafkah adalah suami jadi otomatis aku harus realistis mencari suami yang bisa provide nafkah yang nggak harus berlebihan, tapi kan nafkah yang cukup untuk keluarga jadi ekonomi juga jadi salah satu pertimbangan,” ujarnya.
Co-Founder Talk to Coach Rastrianez. Foto: Dok. Istimewa
Rastrianez, seorang professional matchmaker dan cofounder & COO biro jodoh Ranum.co.id mengatakan, berdasarkan pengalaman sejumlah kliennya, faktor ekonomi banyak menjadi keluhan ketika membahas pernikahan. Menurutnya, semenjak pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu dan kondisi ekonomi di era sekarang, generasi muda masuk ke era penuh ketidakpastian, penuh element of surprise sehingga banyak yang berada di survival mode.
ADVERTISEMENT
Perempuan lulusan S1 Psikologi yang akrab dipanggil Coach Anez itu mengutip teori Maslow’s Hierarchy of Needs bahwa banyak orang yang masih fokus pada kebutuhan dasar seperti keamanan finansial dan pekerjaan.
Ketika seseorang masih berada dalam survival mode, mereka cenderung menunda urusan percintaan karena merasa belum siap. Ketidakstabilan ekonomi dan tekanan pekerjaan juga turut berkontribusi dalam fenomena ini.
“Kalau misalnya kita hidup, orang jaman dulu kan kita tahunya sandang, pangan, papan. Jadi rasanya kalau misalnya kita mau menikah, atau misalnya kita sendiri mau survive dalam kehidupan ini, kita harus memenuhi physiological needs atau sandang, pangan, papan,” ucap Coach Anez.
Sedia uang sebelum menikah. Foto: Nugroho Sejati dan Basith Subastian/kumparan

Butuh Kesiapan Mental dan Emosional

Selain faktor ekonomi, kesiapan mental dan emosional juga menjadi alasan orang menunda nikah. Apalagi, menikah dianggap jalan untuk membangun kehidupan bersama hingga akhir hayat sehingga harus dipersiapkan matang. Perasaan itu, dirasakan pria lajang bernama Anam dan juga perempuan lajang bernama Aprilia.
ADVERTISEMENT
Bagi Anam, dunia pernikahan tidak sesimpel dan sesederhana yang ia pikirkan selama ini. Pengalaman teman-teman sekitarnya yang menikah berujung perceraian, menjadi ketakutan tersendiri bagi Anam. Semakin dewasa, pria berusia 34 tahun itu menyadari untuk membina hubungan yang sehat diperlukan kesiapan mental dan emosional.
“Takut kalau kita menikah tapi nggak siap, takut kalau mental kita belum siap. Dan yang lebih ngerinya lagi, ketika kita menikah, kita tuh nggak cuma mengikat janji sama pasangan kita, tapi juga mengambil alih tanggung jawab besar. Kita mengambil peran orang tua dari pasangan kita, terutama kalau kita jadi suami,” ucapnya.
“Saya mulai mikir, apakah saya benar-benar siap untuk itu? Takutnya kalau mental saya belum siap, saya malah jadi zolim buat orang lain. Sayang juga, kan?” imbuh Anam.
Ilustrasi pasangan muda di awal pernikahan. Foto: TimeImage Production/Shutterstock
Anam tidak masalah jika menikah sedikit lebih lambat. Baginya, pernikahan bukan perlombaan di mana siapa yang lebih cepat, dia yang menang. Ia ingin memastikan bahwa saat menikah nanti, dirinya sudah siap secara emosional dan mental untuk membangun bahtera tangga yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
“Nggak apa-apa telat, yang penting berkualitas. Sekarang ini banyak pernikahan yang gagal karena usia yang terlalu dini. Pendidikan pernikahan, kesiapan mental calon pengantin—baik pria maupun wanita—sering kali belum dipersiapkan dengan baik. Akibatnya, saat membina rumah tangga, mereka justru menghadapi kesulitan hingga akhirnya tidak berhasil,” ujar Anam yang belum mendapatkan pasangan yang cocok itu.
Hal serupa disampaikan Aprilia yang memandang pernikahan sebagai sebuah komitmen besar, baik dalam aspek agama maupun legalitas negara. Baginya, pernikahan bukan sesuatu yang bisa dijalani dengan main-main. Salah memilih pasangan, menurutnya, justru bisa menjadi beban dalam kehidupan di masa depan.
“Ketika menemukan orang yang salah, itu akan menjadi sebuah trap dalam kehidupan. Di mana kehidupan itu akhirnya tidak ideal lagi seperti saat single. Kenapa ragu? Ya pada intinya, tidak mudah untuk menemukan teman yang bisa ngobrol enak, dengan benar-benar mengenal,” tutur April.
Perjanjian pranikah. Foto: fizkes/Shutterstock
Menurutnya, sebelum menikah harus mengenal kesiapan mental dan emosional pasangan. April menilai masalah emosional bisa menjadi momok tersendiri apabila tidak dipersiapkan sejak awal.
ADVERTISEMENT
“Pernikahan itu memang benar-benar nggak mudah. Banyak orang-orang terdekat gue akhirnya married 3 kali, 4 kali. Jujur aja. Karena itu, karena kurangnya kematangan emosional,” kata dia.
Lebih dari sekadar menjalani hubungan yang manis, Aprilia menekankan pentingnya perencanaan pernikahan bersama pasangan. Keterbukaan tentang penghasilan, ekspektasi terhadap pasangan, hingga rencana masa depan setelah menikah adalah hal-hal yang tidak boleh diabaikan.
“Jadi kehidupan pernikahan itu nggak cuma ekspektasinya indah terus, gitu loh. Dia [planning pernikahan] tuh memanage ekspektasi, ‘oh wow, pernikahan itu tidak ada yang indah’. Jadi ya udah, lo harus terima kenyataan apapun kondisinya,” tutur April seorang wanita karier itu.

Pergeseran Prioritas dan Gaya Hidup

Psikolog klinis Denrich Suryadi berpandangan generasi muda saat ini hidup dalam era di mana pilihan semakin beragam. Pendidikan, karier, dan pengembangan diri menjadi aspek yang lebih diprioritaskan sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Jika dulu urutan hidup cenderung linear yakni: sekolah, kuliah, bekerja, lalu menikah, kini jadwal tersebut dianggap menjadi lebih fleksibel.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, banyak anak muda yang memilih fokus pada pencapaian pribadi terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan membangun rumah tangga. Ditambah lagi meningkatnya akses informasi dari media sosial dan internet tentang pengalaman pernikahan yang positif dan negatif dinilai juga berdampak besar pada perubahan pola pikir tentang pernikahan.
“Sehingga ada kemungkinan anak muda zaman sekarang menunda menikah karena ‘Pikir-pikir dulu ah,’ ‘Nanti aja deh, mau cari pasangan yang mapan,’ ‘Nanti dulu, karier harus bagus dulu,’ dan lain sebagainya,” kata Denrich.
Dosen psikologi Universitas Tarumanegara itu juga mengatakan, pengalaman keluarga juga menjadi faktor penting. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis, kemungkinan besar ia akan lebih berhati-hati dalam memutuskan untuk menikah.
ADVERTISEMENT
“Karena biasanya memang pandangan tentang pernikahan itu kan secara langsung itu pasti didapatkan dari pengalaman orang tua kita sendiri di rumah. Melihat pernikahan mereka seperti apa, [kalau] tidak harmonis ya, membuat mereka juga harus mikir dulu. Mungkin saya harus mempersiapkan diri saya,” ujar Denrich.
Ilustrasi perempuan main dating apps. Foto: Shutterstock
Di sisi lain, Coach Anez menuturkan aplikasi dating apps yang sempat dianggap menjadi solusi untuk banyak orang yang ingin mencari pasangan justru menemukan titik jenuh. Dengan terlalu banyak pilihan dan pendekatan yang serba cepat, proses itu menjadi terasa kosong seperti pengakuan para klien yang sering ia tangani.
“Mungkin tahunya cuma sweeping-sweeping doang di dating apps, tapi sweeping di dating apps pun tidak membantu mereka untuk mendapatkan jodoh,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Alih-alih merasa semakin dekat dengan seseorang, Coach Anez menyebut proses sweeping di dating apps justru seringkali menambah rasa keterasingan. Sebab, proses berlangsung tanpa koneksi yang mendalam, relasi pun tak bertahan lama. Pertemuan terasa seperti formalitas, bukan proses mengenal yang tulus.
Ditambah lagi pasca COVID-19, Coach Anez melihat banyak orang semacam kehilangan gairah membangun relasi hubungan romantik yang bermakna dengan orang lain. Sebab, sejak COVID hingga pemerintah menerapkan kebijakan work from home (WFH) dan dicabut pada akhir tahun 2022, banyak orang sudah terbiasa melakukan pertemuan secara online.
Meskipun banyak aplikasi kencan, berbagai event sosial, hingga media sosial yang membuat interaksi jadi instan, ironinya, banyak orang mengaku semakin kesepian. Inilah yang akhirnya memunculkan fenomena dating app burnout—kelelahan emosional akibat terlalu sering menggunakan aplikasi kencan tanpa hasil yang berarti.
ADVERTISEMENT
“Sejak COVID terutama, mulai ada rasa kesepian yang lebih besar dibandingkan sama sebelum-sebelumnya,” kata Coach Anez.
Anak muda juga dinilai berubah pandangan soal umur ideal untuk menikah. Menurut Denrich, jika dulu usia 25–30 tahun dianggap waktunya menikah, kini banyak yang merasa usia 35 tahun atau lebih pun masih pilihan yang baik untuk menikah.
Usia tak lagi menjadi patokan utama, melainkan kesiapan mental, finansial, dan emosional.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten