Diponegoro, Knoerle, dan Anggur Putih Constantia

22 April 2020 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pangeran Diponegoro. Foto: Wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
Pangeran Diponegoro. Foto: Wikipedia
Belum sampai dua bulan sejak pengkhianatan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada Idul Fitri 28 Maret 1830 itu, Bendara Pangeran Harya Dipanegara sudah jauh di laut lepas. Ditangkap di Magelang, Diponegoro sempat ditahan di Gedung Karesidenan Semarang dan Stadhuis Batavia sebelum akhirnya diasingkan ke Sulawesi.
Menumpang Pollux—korvet angkatan laut Belanda yang baru tiba dari Eropa—Pangeran Diponegoro, istri keenamnya Raden Ayu Retnaningsih, dan 20-an anggota rombongan lain berlayar ke Manado dan meninggalkan Jawa untuk terakhir kalinya. Pollux berangkat dari Teluk Batavia pada 4 Mei 1830 dan berlabuh di Manado pada 12 Juni 1830.
Perjalanan selama 40 hari sebagai seorang tawanan tak bisa dibilang menyenangkan bagi Diponegoro. Ia tak senang, jiwanya tak tenang. Sebagian karena ia mencemaskan perlakuan Belanda pada istri dan iparnya, sebagian lain karena ia sakit-sakitan dan bahkan sempat merasa bahwa ajalnya sudah dekat.
nulya babar layar mangkat sing Betawi/ mring Menadhu ika/ mapan datan angsal angin/ langkung remben kang baita.
lawan laknat mapan kathah ingkang sakit/ myang kang modar/ sajroning baita sami/ susah kang tyasing sri naléndra.
bokmenawa telas jidhèt tan dumugi/ ing Menadhu ika/ mangkana wus tan winarni/ ing Menadhu sampun prapta.
mapan ngantos kalih tengah wulan iki/ lampahnya naléndra/ Menadhu saking Betawi/ Sabab tan wonten anginnya.
Benteng Fort Nieuw Amsterdam di Manado tempat Diponegoro ditawan. Foto: Dok. KITLV via Kemendikbud
Diponegoro terserang malaria dan mabuk laut. Demam dan muntah berkali-kali membuat wajahnya pucat dan tubuhnya kering. Kondisi kapal tidak lebih baik. Dalam lima hari pertama pelayaran, empat awak tewas dan dibuang ke laut. Diiringi dokter kapal H. Schillet—ahli bedah yang juga pakar dalam penanganan kolera—dan jamu beras kencur ramuan sendiri, Diponegoro bertahan.
Dalam hampir enam minggu perjalanan tersebut, Diponegoro didampingi oleh Letnan Dua Justus Heinrich Knoerle. Knoerle adalah seorang Jerman yang diangkat sebagai ajudan militer Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch, yang kemudian menjadi pendamping dan penerjemah rombongan Diponegoro selama perjalanan menuju Manado.
Diikutsertakannya seorang penerjemah dalam pelayaran ke Manado sesuai dengan permintaan Diponegoro sendiri. Diponegoro ingin ada seorang petugas yang bisa menerjemahkan omongannya dalam bahasa Jawa, mengingat ia tak fasih dan tak nyaman berbicara dalam bahasa Melayu.
Sejatinya, Kapten J.J. Roeps yang sebelumnya biasa menjadi penerjemah pemerintah Kolonial menjadi pilihan utama. Namun ia sudah akan cuti selama dua tahun mulai pada Juli 1830. Akhirnya pilihan jatuh pada Knoerle, ajudan Van den Bosch yang dinilai mempunyai kemampuan bahasa dan pemahaman unggah-ungguh Jawa yang baik.
Dari situ, perilaku, sikap, juga percakapan demi percakapan Diponegoro tercatat oleh Knoerle dalam bentuk sebuah jurnal. Jurnal tersebut merupakan laporan yang Knoerle tulis khusus untuk Van den Bosch. Saat itu, sang gubernur jenderal harus mempertimbangkan implikasi politik pengasingan Diponegoro terhadap kemungkinan serangan Inggris ke Indonesia.
Empat puluh hari tentu bukan waktu yang sebentar. Di atas selembar tikar segala diperbincangkan, dari geografi nusantara bagian timur; soal lukisan William I; sampai persoalan seperti apakah mengasingkan pimpinan musuh yang baru saja ditaklukkan adalah kebiasaan di Eropa.
Knoerle memanggil dengan sapaan “Kanjeng Tuwan Pangeran” dan Diponegoro membalas dengan “kowe”. Catatan dari obrolan itu, suatu hari, sampai pula ke perkara anggur Constantia.
Lukisan Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro. Foto: Wikipedia
“Aku tidak akan pernah lagi mendapati kejadian seperti itu: Dipanagara sedang asyik mencicipi anggur,” tulis Knoerle dalam jurnalnya, seperti dikutip Peter Carey dalam bukunya The power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855 (KITLV Press, 2008).
Menurut kesaksian dalam jurnalnya, Knoerle melihat botol Constantia dan sebuah anggur Rhine, dan Diponegoro mencicipi keduanya secara bergantian menggunakan sebuah gelas bir.
“Keesokan harinya, aku menemui Dipanagara yang sedang menghabiskan anggur Constantia itu [...] Ia bilang, anggur itu terasa sangat enak, lebih-lebih karena ia sudah tak minum anggur lezat itu selama lima tahun,” tulis Knoerle.
Anggur Constantia adalah anggur yang amat populer di masa itu. Diproduksi di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dalam sebuah winery pemerintah Kolonial Belanda, Constantia terkenal karena menjadi favorit beberapa nama besar dan masuk ke dalam kultur pop masa itu.
Dua dari sekian banyak penggemarnya adalah Frederick The Great dari Prussia dan Napoleon Bonaparte. Napoleon bahkan memesan khusus Constantia meski ia tengah diasingkan di St. Helena. Constantia juga terkenal karena disebut dalam karya sastra klasik seperti Sense and Sensibility (1811) Jane Austen dan novel tak selesai Charles Dickens The Mystery of Edwin Drood.
Knoerle agak tak percaya oleh apa yang dilihatnya tersebut. Dalam suratnya untuk Van den Bosch pada 9 Juli 1830—saat ia sudah pulang dari Manado dan tengah berada di Surabaya—Knoerle menilai Diponegoro sebagai seorang yang fanatik dalam beragama (meski juga mengakui kualitas sang bangsawan sebagai orang yang penuh rasa hormat dan memiliki penilaian yang tajam).
“Aku mengenal tawanan ini sebagai seorang pangeran Jawa yang fanatik, yang menganggap prinsip agamanya sebagai yang tertinggi dan paling agung,” tulis Knoerle.
Menurut jurnal yang ditulis Knoerle, Diponegoro menilai bahwa meminum anggur putih manis tidaklah melanggar ketentuan Al-Quran. Basisnya, kata Diponegoro masih menurut Knoerle, adalah bahwa orang-orang Eropa meminum anggur putih macam Constantia sebagai tombo (obat) ketika mereka mabuk karena anggur merah Madeira.
“Dipanagara berkata padaku, bahwa dia mau minum anggur putih manis itu karena dia merasa semakin lemah dari hari ke hari (dalam pelayaran ke Manado). Dan soal larangan Nabi untuk minum anggur, menurutnya larangan itu diperuntukkan hanya untuk anggur yang memabukkan, seperti Madeira dan anggur merah,” tulis Knoerle, seperti dikutip Carey pada catatan kaki Bab III bukunya di halaman 122.
Ilustrasi anggur Constantia dari Afrika Selatan. Foto: Shutter Stock
Maju hampir 200 tahun setelahnya, perkara Diponegoro minum anggur-atau-tidak minum anggur ini menjadi polemik, setidaknya di jagat Twitter Indonesia. Mulanya adalah pemberitaan Majalah Tempo edisi 11 April 2020 yang mewawancarai Peter Carey soal polemik orisinalitas keris Kiai Nogo Siluman yang dikembalikan pemerintah Belanda awal Maret lalu.
Dalam versi awal pemberitaan, Tempo menuliskan bahwa Pangeran Diponegoro minum anggur dan gin. Berita tersebut kemudian disebarkan ke Twitter dengan judul “Peter Carey: Pangeran Diponegoro Tidak Selurus Itu” pada 12 April 2020.
Ternyata Tempo salah kutip dalam perkara gin. Soal gin, yang istilah Belandanya adalah jenever, Peter Carey bukan tengah membicarakan Diponegoro, melainkan Raden Mas Said (Mangkunegoro I). Kesalahan tersebut telah diralat oleh Tempo.
Namun, sebagian netizen Indonesia yang kurang baca tapi emosian itu kadung ramai. Perdebatan melantur ke mana-mana, seperti tuduhan pada Peter Carey yang disebut sebagai instrumen kolonial, sampai pernyataan konyol bahwa Diponegoro tak pantas jadi pahlawan nasional karena sebetulnya hanya berjuang buat dirinya sendiri.
Terkhusus soal anggur, argumen milik Salim A Fillah yang meragukan kesimpulan bahwa Diponegoro minum minuman beralkohol kemudian mencuat. Salim, seorang ustaz dan penulis novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (Pro-U Media, 2019) menyuarakan skeptisisme pada digunakannya Knoerle sebagai rujukan yang menunjukkan bahwa Diponegoro minum anggur.
Salim mengajukan kesaksian P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck, dua sejarawan Belanda yang menulis De Java-oorlog Van 1825-30, yang juga ditulis Carey dalam The power of prophecy sebagai keterangan terhadap jurnal Knoerle. Louw dan Klerck, seperti ditulis Carey, memandang rendah Knoerle sebagai pemburu jabatan.
“[Louw dan Klerck] menyebutnya seorang ‘pemburu jabatan’ yang sangat bernafsu dan culas. Mereka menekankan bahwa Knoerle hanya berhasil mencapai pangkat perwira paling rendah dalam tentara kolonial,” tulis Carey di Bab III The power of prophecy, yang terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuasa Ramalan.
“Maka di sini kita menyimpulkan bahwa [...] kredibilitas laporan Knoerle sejak awal lemah karena dia memang sedang berusaha ‘mencari kredit’ sebanyak-banyaknya pada atasan,” tulis Salim di laman Facebook dan Instagram-nya.
Salim menggarisbawahi tidak adanya sumber pembanding yang menyebutkan bahwa Diponegoro minum anggur. Salim juga menuliskan, apabila benar Diponegoro minum, itu juga dengan “...asumsi tidak haram menurut beliau, sebab: (i) tidak memabukkan, (ii) dimaksudkan untuk obat.”
“Di samping tidak ada sumber lain yang pernah melaporkan Diponegoro minum wine (Babad Manado, Babad Kedung Kebo, Babad Diponegoro Surakarta, Babad Diponegoro Suryongalam, Babad Diponegoro tulisan Gondokusumo, hingga laporan Cleerens, De Stuers, maupun De Kock), laporan Knoerle berkait konteks sakit malaria dan mabuk laut yang dialami Sang Pangeran,” tulis Salim.
Peter Carey di peresmian kamar Diponegoro dan Pameran Jakarta Kota Kosmopolitan, Senin (1/4/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Peter Carey sendiri akhirnya memberi penjelasan lebih lanjut soal catatan sejarah Diponegoro minum anggur. Dalam diskusi bersama Bonnie Triyana di Historia.id, ia teguh pada apa yang ia tulis dan meminta kita tidak melihat sejarah melalui kacamata saat ini.
“[...] menurut saya, seperti ditulis oleh sastrawan LP Hartley, ‘Past is a foreign country, they do things differently there.’ Yang lampau adalah negeri asing dan mereka bertindak lain di sana,” kata Carey dalam channel Instagram Historia.id, Kamis (16/4).
“[Diponegoro] was not a drunkard. He drank very sparingly. Dia punya selera yang sangat khas, dia sangat jarang dan langka (minum anggur). Tapi ternyata, seperti Raden Mas Said, Pangeran Notoprojo, dan Ali Basah Pengalasan (dia juga minum),” kata Carey.
“Ya itu cara bersosialisasi yang sangat berbeda (dengan masa sekarang),” kata Carey.
Carey, yang menghabiskan hampir 40 tahun hidupnya untuk meneliti soal Diponegoro, menjelaskan bahwa di kalangan bangsawan pada masa itu alkohol bukanlah sesuatu yang teramat asing.
“Seumpamanya saya residen di Jogja, saya punya tugas untuk menjamu tamu-tamu agung dengan menyuguhkan minuman keras,” ujar Carey, menekankan bahwa Diponegoro bukanlah social drinker dan hanya sok-sok (bahasa Jawa, kadang-kadang) minum.
Dalam diskusi bersama Kontekstual.com sehari setelahnya, Jumat (17/4), Carey menjelaskan konteks hubungan alkohol dan bangsawan pada masa itu dengan mencontohkan apa yang dilakukan Raden Mas Said (Mangkunegoro I).
“Kalau kita lihat Raden Mas Said, terang benderang dia seorang Islam yang saleh dan bisa mengkopikan enam kali Al-Quran di Kadipaten Mangkunegaran. Tapi dia juga gemar sekali dengan jenever (gin), sehingga di Salatiga pada 16 Maret, ditegur oleh Harting, bahwa itu bukanlah minuman yang pantas untuk seorang pangeran,” papar Carey. Nicolas Harting adalah Gubernur Jenderal VOC untuk Jawa bagian timur saat itu.
Soal jurnal Knoerle, Carey sebetulnya telah menjelaskan posisi sumber tersebut di buku Kuasa Ramalan yang setebal 1.000 halaman lebih. Di situ, ia menuliskan bahwa apa yang dicatat dalam jurnal Knoerle memang perlu diperlakukan dengan hati-hati.
Namun, Carey juga bilang, bahwa jurnal itu merupakan laporan pihak Eropa paling lengkap mengenai keseharian Diponegoro dalam 40 hari pelayaran menuju Manado, dus merupakan rujukan berharga dan perlu untuk dikutip.
“Seorang sejarawan, selain menguasai bahasa dan sumber, dia harus memahami dunia yang amat berbeda dari yang sekarang. Diponegoro punya ketegasan batin dan lahiriah. Dia bahkan dikagumi oleh Jenderal de Kock. Dan itu incidental, dia seorang pangeran, jadi dia punya banyak istri. Itu lain hal, itu bukan pelecehan, tapi itu realitas dari sebuah zaman,” kata Carey.
“Kalau menilai dengan zaman sekarang, kita akan sangat kecewa,” ujarnya.
Metodologi dan perlakuan seorang peneliti terhadap suatu sumber memang sangat krusial dalam sebuah penelitian sejarah. Polemik soal dipakainya jurnal Knoerle dalam hal perilaku Diponegoro saat menuju Manado menjadi sebuah percikan yang konstruktif dalam memahami bagaimana relik sejarah dicatat.
“Sumber itu memang perlu pembanding. Kalau cuma satu, ya ditulis, tapi dengan keterangan catatan kaki bahwa kesaksiannya cuma satu pihak,” kata Bonnie, sejarawan yang juga menjadi Pemimpin Redaksi Historia.id kepada kumparan, Senin (20/4), melalui pesan singkat.
Bonnie bilang, tidak bisa menyalahkan sebuah sumber sejarah hanya berdasar asumsi. “Harus ada bukti juga yang bilang dia salah dan keleru. Kalo nggak, ya kasih aja keterangan bahwa ini one side information,” tambah Bonnie.
Sementara itu, Ki Roni Sodewo, keturunan generasi ketujuh Diponegoro yang juga turut serta dalam diskusi bersama Shofwan Al Banna, Salim, Sam Ardi, dan Carey di Kontekstual.com, menyoroti framing media dalam pemberitaan sejarah Diponegoro yang kontroversial.
“‘Pernah melakukan’ dan ‘gemar’ itu dua hal yang berbeda,” katanya.
Meski demikian, Ki Roni juga mengajak kita melihat Diponegoro sebagai manusia biasa. “Jangan kita kultuskan, jangan kita lebih-lebihkan. Beliau juga manusia biasa, beliau punya kelebihan, beliau punya kekurangan,” ujarnya.
Bonnie mengatakan hal serupa. “Kembalikan Diponegoro itu sebagai manusia, sebagai pelaku sejarah dengan segala kerumitan kisah hidupnya yang tak perlu lantas direduksi perannya hanya karena ukuran-ukuran tertentu yang pada masa kini menjadi standar. Misal standar kesalehan,” katanya.
“Apakah dengan minum anggur lantas perjuangan Diponegoro berkurang nilainya?” tanya Bonnie, yang rasa-rasanya tak perlu dijawab.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Anda juga bisa bantu donasi untuk atasi dampak corona.