Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Diskusi Sastra Erotika Enny Arrow di Semarang Diminta Ditunda
21 Juli 2017 9:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Acara bertajuk “Diskusi Sastra Erotika: Membaca Enny Arrow” yang rencananya akan dilaksanakan di Semarang pekan depan, Selasa (25/7), ditunda. Penundaan acara yang digelar oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Semarang itu disampaikan pertama kali oleh panitia acara, Agung Hima, melalui akun Facebook.
ADVERTISEMENT
Saat dikonfirmasi kumparan, Agung mengatakan penundaaan acara diskusi sastra erotika tersebut dilakukan berdasarkan imbauan kepolisian daerah setempat.
“Kami tunda dulu, karena ada beberapa imbauan untuk tidak diselenggarakan dulu. Imbauan dari Polda. Saya enggak tahu (alasannya), mungkin kriterianya bisa menimbulkan gejolak atau gimana. Mereka tidak melarang, cuma mengimbau,” kata Agung, Kamis (20/7).
Hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan acara itu akhirnya akan dilaksanakan. Panitia penyelenggara terus berkomunikasi dengan berbagai pihak agar diskusi dapat digelar.
Alasan penundaan acara diskusi itu diduga karena isi materi yang dinilai sensitif, berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Menurut Agung, imbauan dari kepolisian yang ia terima berbunyi agar tempat diskusi dipindah ke ruang akademis, seperti dalam gedung perguruan tinggi, agar diskusi benar-benar ditegaskan dilakukan secara ilmiah.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ujar Agung, panitia penyelenggara sampai sekarang tidak menerima tekanan apapun dari pihak-pihak tertentu yang mungkin tak setuju jika acara berlangsung di tempat semula, yakni Surau Kami/Kopium Kafe, Jalan Tusam Raya, Banyumanik, Semarang.
Sementara melalui sambungan telepon dengan kumparan, Kapolda Jawa Tengah Irjen Condro Kirono justru menyebut kepolisian setempat belum menerima surat pemberitahuan tentang diadakannya acara itu.
“Kegiatan tersebut belum ada pemberitahuan ke Polrestabes atau Polda. Kami malah dapat info dari masyarakat yang menanyakan tentang legalitas kegiatan yang dimaksud,” kata dia.
Agung mengatakan, pihaknya memang belum memberi tahu kepolisian terkait acara diskusi itu. Namun, ia tetap merasa heran jika pihaknya diminta untuk memberikan pemberitahuan kepada kepolisian untuk menyelenggarakan acara diskusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Agung, selama ini kegiatan diskusi-diskusi ringan rutin digelar Dewan Kesenian Semarang maupun komunitas-komunitas literasi lain, dan tidak pernah ada masalah meskipun tidak memberitahukan kepolisian.
Namun, imbuh Agung, ia sama sekali tak keberatan jika memang harus meminta izin penyelenggaraan acara terlebih dahulu.
Walau demikian, banyak komunitas literasi di Semarang menyayangkan hambatan yang terjadi pada acara diskusi sastra erotika Enny Arrow, dan mereka lantas menawarkan tempat dan bersedia membantu jalannya diskusi.
“Mereka sebenarnya antusias, dan karenanya kecewa diskusi itu diundur. Tapi saya lebih cari win-win solution daripada nanti tidak mengenakkan. Jadi kami tunda dulu,” ujar Agung.
Menyadari tema sensitif diskusi itu, Agung dalam publikasi acara sebenarnya sudah mencantumkan segmen audiens yang diperbolehkan hadir, yakni berusia 21 tahun ke atas.
ADVERTISEMENT
“Sudah saya tulis 21+ dan yang open minded. Jadi orang-orang yang open minded itulah sasaran kami,” kata dia.
Agung juga berencana menyebar makalah berisi materi bahasan diskusi tersebut di media sosial, untuk memberi pemahaman kepada publik tentang apa yang sesungguhnya akan dibahas dalam forum diskusi.
Melalui cara tersebut, Agung berharap publik bisa memahami maksud baik dari diskusi itu.
Konten acara yang diselenggarkan bersama komunitas OpenMind Community dan Surau Kami itu, kata Agung, direncanakan hanya berisi diskusi ringan. Diskusi itu merupakan bagian dari rangkaian kajian sastra yang memang rutin dilakukan. Kebetulan untuk tanggal 25 Juli, giliran pembahasan tentang sastra erotika.
“Kami pernah membahas sastra Wuxia juga, sastra Sumeria, nah ini giliran sastra erotika. Tahun 1980 sampai 1990-an pulp fiction semacam ini terkenal sekali. Tinjauan untuk Enny Arrow itu banyak,” kata Agung.
ADVERTISEMENT
Salah satu pembicara yang direncanakan mengisi diskusi tersebut, Khatibul Umam, mengatakan manfaat pembahasan diskusi Enny Arrow beserta karya-karyanya yang digolongkan sebagai sastra erotika ialah untuk mengkaji dan memikirkan ulang nilai karya Enny Arrow yang kerap dilihat secara sempit sebagai sastra picisan atau sastra stensil.
Padahal, kata dia, karya-karya Enny Arrow pun memuat representasi dari sebuah kebudayaan yang hidup dalam masyarakat.
“Artinya, itu juga salah satu karya seni yang sebenarnya representasi massa pada zamannya. Namun mungkin oleh para ‘orang yang berkuasa’ dianggap sastra yang tidak bermutu sehingga dinilai tidak usah dibahas.”
“Nah, kami mau mengkaji konteks kesejarahan, kebudayaan massa saat itu, kebudayaan populernya, juga mungkin posisi Enny Arrow,” ujar Khatibul yang merupakan dosen penulisan kreatif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, di berbagai negara sesungguhnya banyak karya serupa dengan yang ditulis Enny Arrow, sehingga karya-karya itu mendapat tempat sebagai karya sastra. Sementara karya Enny Arrow, kata Khatibul, hingga saat ini kedudukan sastranya masih banyak dipertanyakan.
Sayangnya, ujar Khatibul, diskusi itu kini harus ditunda. Ia tak sekadar mempersoalkan permintaan pemindahan lokasi diskusi ke institusi pendidikan, namun juga kecenderungan sulitnya ruang-ruang diskusi publik.
“Kenapa sekadar diskusi budaya dan diskusi seni sekarang kok agak sulit. Sekarang saya mengajar di kampus, maksudnya kalau sekadar mau diselenggarakan pada salah satu institusi pendidikan mungkin saya tinggal bilang pindah kampus mungkin selesai. Tapi kan esensinya bukan itu. Ini tentang forum-forum yang bisa diselenggarakan di berbagai tempat, dan itu sifatnya mungkin positif walaupun temanya agak sensitif,” kata Khatibul.
ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk membuka diskusi di ruang publik, menurut Khatibul, kerap terjadi di Semarang. Yang paling sering terjadi adalah ketika pembahasan diskusi dianggap radikal, misalnya menyangkut ideologi kiri.
Masyarakat berpikiran terbuka, bagi sebagian orang, masih jauh dari realita di Indonesia.