Ditolak Ratusan Warga, Eksekusi Tanah Adat Sunda Wiwitan Gagal

24 Agustus 2017 21:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
ADVERTISEMENT
Eksekusi lahan sengketa oleh Pengadilan Negeri (PN) Kuningan di kawasan cagar budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan gagal dilaksanakan pada Rabu (24/8).
ADVERTISEMENT
Gagalnya eksekusi tidak lepas dari aksi penolakan yang dilakukan oleh Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan beserta warga yang sejak pagi menutup kawasan cagar budaya dengan cara berbaring di jalan.
"Pengadilan mengatakan eksekusi gagal dan ditunda, karena kita juga bertahan agar tanah itu tidak dieksekusi," kata Dewi Kanti, Girang Pangaping atau pembina masyarakat adat Sunda Wiwitan kepada kumparan (kumparan.com) (Rabu 24/8).
Aksi penolakan itu, menurut Dewi, diikuti lebih dari 500-an orang yang terdiri dari masyarakat adat beserta dukungan beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Gerakan Masa Perjuangan Untuk Rakyat (Gempur), Gerakan Masyakarat Bawah Indonesia (GMBI), beberapa organisasi dari Muhammadiyah dan gabungan ormas Jawa Barat 'Imah Gede'.
"Semua (ormas) melihat persoalan ini bahwa tanah adat itu harus dilindungi dan hukum masyarakat adat itu harus dilihat sebagai hukum positif oleh negara," ujar Dewi.
ADVERTISEMENT
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
AKUR melihat banyak kejanggalan dalam keputusan PN Kuningan terkait eksekusi lahan yang merupakan tanah adat Sunda Wiwitan tersebut. Menurut Dewi, tanah adat adalah tanah komunal yang tidak bisa dimiliki secara pribadi.
"Tanah adat adalah sesuatu yang komunal, karena amanat itulah yang kami pegang sesuai tuntunan leluhur yang mengatakan bahwa tanah tidak bisa digunakan secara pribadi yang berpotensi dijual kepada pihak ketiga karena (tanah adat) memiliki nilai historis, magis dan religius tersendiri," jelas Dewi.
Selain itu Dewi berpendapat bahwa eksekusi tidak seharusnya dilakukan karena tanah adat tersebut berada di kawasan cagar budaya.
"Tanah yang dijadikan objek sengketa berada di kawasan cagar budaya nasional Paseban, karena merupakan kawasan penyangga. Di dalam UU cagar budaya itu ada zonasi, yang terbagi zona inti dan zona penyangga, (lahan sengketa) ini masuk ke dalam zona penyangga," tutur Dewi.
ADVERTISEMENT
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
Sengketa tanah adat ini diawali oleh gugatan salah seorang ahli waris yang bernama Jaka Rumantaka. Tanah yang berdiri atas nama Pangeran Tedja Buana itu diklaim Jaka sebagai miliknya--yang merupakan keturunan dari Pangeran Tedja Buana.
"Jaka memang sebagai keturunan, tetapi kami juga sama (keturunan Pangeran Tedja Buana). Kami sudah tidak mempunyai hak waris karena tanah adat memang komunal tidak digunakan secara pribadi. Dia tiba-tiba mengklaim ada hak waris hanya berangkat dari penjelasan seorang mantan juru tulis desa dengan pernyataan mendapat wasiat dari sesepuh adat kami di generasi kedua," beber Dewi.
Upaya penolakan masih terus dilakukan oleh Dewi dan kawan-kawan. Saat ini pihaknya sudah mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni penyelesaian sengketa menggunakan pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
"Prosesnya sedang berlangsung, minggu depan masuk sidang pertama," jelas Dewi.
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi penolakan eksekusi tanah adat di Cigugur (Foto: Dok : Tim Paralegal Cigugur)
Wilayah Cigugur merupakan pusat dan tempat lahir Sunda Wiwitan. Hal tersebut lantas menjadikan Sunda Wiwitan kerap disebut sebagai agama di Cigugur. Meski demikian, pemerintah tidak menetapkan Sunda Wiwitan sebagai agama, melainkan sebuah aliran kepercayaan atau animisme.
Tidak hanya Cigugur, penganut Sunda Wiwitan tersebar di beberapa daerah lain di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti Cisolok (Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Cirebon, Kanekes, Lebak (Banten) dan Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul.