DPR: Pasal Kontroversial RUU Permusikan Dirumuskan Badan Keahlian

11 Februari 2019 12:23 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota DPR Anang Hermansyah saat diskusi RUU permusikan di Cilandak Town Square Jakarta Senin (4/2). Foto: Ronny/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota DPR Anang Hermansyah saat diskusi RUU permusikan di Cilandak Town Square Jakarta Senin (4/2). Foto: Ronny/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR terus mempertahankan Rancangan Undang-Undang Permusikan meski 260 musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP) melawan. Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PAN, Anang Hermansyah, berusaha meyakinkan jika aturan ini hadir untuk membantu para pegiat musik alih-alih membelenggunya.
ADVERTISEMENT
Naskah akademik dan draf RUU Permusikan yang baru beredar luas akhir Januari lalu ditengarai memiliki pasal kontroversial. Pasal yang ditentang misalnya pasal 5, 10, 11, 12, 13, 19, 32, dan 33, rentan memidanakan musisi. Di samping itu, RUU Permusikan dianggap membelenggu kebebasan berkarya yang selama ini menjadi nafas pelaku musik.
Politisi PAN yang juga seorang artis ini menolak anatomi RUU Permusikan tak mewakili kepentingan musisi. Anang mengaku telah berbicara dengan pelaku industri musik seperti Glenn Fredly dan kawan-kawan lain lewat berbagai audiensi.
Justru menurut Anang, proses RUU Permusikan saat ini begitu terbuka sebagai bagian dari proses penyempurnaan. “Makanya itu RUU sebatas rancangan dulu untuk diberikan masukan,” kata Anang.
Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perencangan UU Badan Keahlian DPR RI. Foto: kumparan
Badan Keahlian (BK) DPR RI kekeh mempertahankan RUU Permusikan ini lantaran perannya sebagai pembuat naskah akademik dan draf final. BK seolah menutup kuping bahwa banyak pasal di dalamnya yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
BK menambahi sana-sini pasal naskah akademik dan draf RUU yang telah dibuat disusun Prof. Agus Sardjono selaku guru besar hak kekayaan intelektual dari Universitas Indonesia. Alasannya: naskah akademik dan draf tersebut tidak layak diproses. Tapi pasal itu justru menjadi biang kontroversi.
“(Pasal kontroversial) itu hasil dari rumusan di sini, Badan Keahlian DPR.,” ujar Kepala Pusat Perencanaan UU BK DPR, Inosentius Samsul kepada kumparan di Gedung DPR, Kamis (6/2).
Lantas bagaimana tanggapan Anang dan Kepala Pusat Perencanaan Undang-undang BK DPR Inosentius Samsul soal gaduhnya pembahasan RUU Permusikan? Keduanya menjawab pertanyaan kumparan dalam kesempatan yang berbeda.. Berikut penjelasannya.
Pembahasan RUU Permusikan sudah sampai tahap mana di DPR?
Anang: Tahapnya pasti hari ini masih konsolidasi. Karena pendapatnya juga berbeda-beda. Kalau tidak berbeda-beda ya tinggal kita duduk seperti apa maunya.
ADVERTISEMENT
Apa urgensi RUU Permusikan?
Tidak perlu mencari hal-hal di belakang itu. Kita harus membahasnya simpel. Industri musik Indonesia sekarang aku tanya (ada) masalah nggak? Ya kan kita berpikir industri musik kita lagi punya problem nggak? Kalau kita bisa melihat masalahnya kompleks banget, bukan?
Masalah pengakuan itu juga penting. Masalah standar minimum pembayaran para pelaku dalam fragmen seninya, pelaku industrinya, pertunjukannya. Kan kayak gitu. Terus masalah tax. Setelah masalah tax, tentu masalah kalau di luar negeri. Penarikan kita di luar negeri kan ada pembayaran dari luar negeri dalam dunia digital itu. Itu kan withholding tax, berarti kan tax kita dipegang sana, kreditnya kita. Lah itu ngurusnya gimana?
Apakah Undang-undang Nomer 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta itu bisa mengakomodir semua perkembangan yang terjadi di ranah musik? Hak cipta itu sendiri kan luas.
ADVERTISEMENT
Nah terus keadilan dalam hubungan kerja. Seniman itu kan butuh imbalan yang layak dan adil dalam hubungan kerja. Terus infrastruktur dalam permusikan nasional, baik pusat dan daerah, keberpihakan pemerintah terhadap traditional music, ini kan traditional music kan ini kan pendekatannya socioculture, sementara ekonomi itu pendekatan dari musik kontemporer hari ini.
Terus yang memikirkan nasibnya di situ kalau tidak melalui penguatan hukum yang tertinggi apa bisa dilaksanakan berkelanjutan di ranah pemerintahan? Coba dipikirkan dulu, bisa nggak itu?
Itu pertanyaan banyak orang. Pelaku musik itu bermacam-macam, tidak satu genre. Bukan hanya musik indie, tapi musik yang tidak indie juga membutuhkan membedah permasalahan yang terjadi di ranah itu. Makanya bagaimana UU ini bisa mewakili permasalahan permusikan?
ADVERTISEMENT
Walau baru RUU, salah satu yang bikin gaduh ialah naskah akademik versi DPR yang berbeda dengan versi musisi?
Kalau bisa coba kita sekarang tutup naskah akademiknya dulu. Jadi, jangan menyalahkan naskah akademiknya kurang lengkap. Ya kan minta masukan. Dan itu draf. Kalau kamu mempermasalahkan, ini draf final naskah akademik dan ini draf RUU final. Pembahasan pemerintah dengan DPR and this is final, besok mau diresmikan presiden. Aku tanya, logic berpikirnya di mana?
Jadi permasalahan hari ini sebuah permasalahan dinamika dari bagaimana kita bersama-sama membangun republik ini. Ada apa sebenarnya yang lebih dari itu? Artinya bahwa kita ini sebagai seniman sudah nggak asik untuk bicara, sudah saling curiga.
ADVERTISEMENT
Ini masalah urusan masih 100 tahun yang akan datang. Yang kita mau tentukan bukan kita mau besok, bukan. 100 tahun, 1000 tahun kalau enggak kiamat. Kita membangun kebijakan publik yang berbentuk undang-undang yang tinggi itu kayak apa kalau nggak banyak masukan? Makanya UU itu bisa lama, bertahun-tahun kayak UU Pemajuan Kebudayaan Nomer 5 Tahun 2017. Panjang loh itu perjalannya, hampir empat periode.
Jadi mari kita dudukkan, kita ini punya problem nggak sih dalam berindustri musik? Aku bilang berindustri musik, banyak arti loh itu, jangan dianggap enteng loh.
Bagaimana soal sertifikasi musisi sebagai salah satu poin yang disoal?
Kita (Indonesia) sudah meratifikasi regional model kompetensi standar. Pasal 32 RUU itu jelas secara redaksional. Sudah klir: tidak diharuskan, itu pilihan. Jadi tidak diharuskan. Terus sertifikasi adalah pengakuan. Penting nggak seniman memiliki pengakuan?
Kala Negara Mengatur Musik Foto: Basith Subastian/kumparan
Dari sedemikian banyak masukan yang masuk sejak pertama kali disusun, berapa banyak yang dikembangkan oleh BK DPR?
ADVERTISEMENT
Inosentius: Cukup banyak. Kalau menurut saya ditambah sekitar 75 persen.
Soal pasal-pasal kontroversial, rumusan itu dari mana?
Itu hasil dari rumusan di sini, Badan Keahlian DPR.
RUU ini sekarang tahap apa saat ini?
Sekarang ini tahap persiapan untuk pembahasan di badan legislasi, persiapan di baleg, tapi belum dibahas sama sekali. Jadi anggota DPR ini sebenarnya belum tahu seperti apa isinya. Saya yakin mereka belum baca.
Siapa saja yang terlibat pembuatan RUU Permusikan ini?
Itu dari Konferensi Musik Indonesia (KAMI). Mereka menunjuk Glenn Fredly, Anang Hermansyah, Prof. Agus Sardjono.
Anang Hermansyah (kanan) bersama Glenn Fredly (kiri) melakukan pertemuan membahas tentang RUU permusikan di Cilandak Town Square, Jakarta, Senin (4/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ketika proses penyusunan draf RUU Permusikan, apakah sempat studi ke kampus?
Oh iya, yang saya ikuti waktu itu saya ke Yogyakarta. Saya ketemu dengan grupnya Bagong, Djaduk Jogja, itu diskusi juga. Kemudian datang ke Ambon, dan beberapa tempat lainnya.
ADVERTISEMENT
Ada akademisi tapi musisi juga. Ada beberapa stakeholder yang ditemui sampai pertengahan Agustus-September. Karena bulan ini naskah itu sudah harus dimasukkan lagi ke Baleg untuk bisa di list dalam prolegnas.
Dari kalangan musisi siapa yang aktif dalam menyusun draf RUU Permusikan?
Glenn Fredly. Cuma satu aja karena mewakili komunitasnya itu. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan kami juga terlibat dalam kegiatan KAMI, termasuk waktu acara di Ambon.
Nah, setahu kami Konferensi Musik Nasional di Ambon Tahun 2018 itu semacam roadmap kemudian ujungnya nanti suatu saat, muncul kebijakan untuk melahirkan undang-undang tentang permusikan. Makanya kami merasa ini didukung kan. Berarti memang stakeholder-nya menginginkan seperti itu.
Kemudian dalam pelaksanaannya juga sesuai dengan mekanisme kami di sini, diskusi pakar, kita bisa kalau teman-teman mau mendalam bisa kita keluarkan siapa-siapa saja yang pernah kita undang, bisa kita telusuri ke mana kami mencari data, dengan siapa kami bertemu. Dan karena RUU ini musik ini sangat bervariasi kelompoknya maka cukup banyak juga stakeholder yang kami datangi.
ADVERTISEMENT
Nah, terus kemudian setelah kita kumpulkan data. Ya, dari berbagai daerah dan bertemu dengan musisi dan juga akademisi juga. Terus kemudian coba kita mendesain RUU ini setelah dirumuskan terus kita uji konsep lagi. Jadi dua kali. Sebenarnya proses ini udah lama juga, cuma mungkin perhatian masyarakat waktu itu belum terlalu. Kami berharap betul banyak masukan.
Anang Hermansyah bersama musisi melakukan pertemuan membahas tentang RUU permusikan di Cilandak Town Square, Jakarta, Senin (4/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Proses sinkronisasi dalam penyusunannya seperti apa?
Katakanlah konsultasi publik sudah dilakukan, terus membuat drafnya. Dan karena ini dokumen hukum maka kami sudah punya frame untuk mendesain suatu regulasi.
Saya mau mengatakan, kenapa harus ada undang-undang ini, karena sudah ada hak cipta, sudah ada pemajuan kebudayaan, sudah ada KUHP, sudah ada undang-undang ITE.
Nah, jangan lupa bahwa kita bisa katakan bahwa hampir tidak ada subjek yang diatur dalam kehidupan saat ini yang belum ada sama sekali murni undang-undang. Pasti selalu ada kaitannya.
ADVERTISEMENT
Nah, tugas kami adalah memastikan agar undang-undang ini tidak bertentangan dengan undang-undang yang lain. Sehingga katakanlah hubungan dari RUU ini dengan UU tentang Hak Cipta, misalnya, tidak ada yang tumpang tindih. Tapi kami pastikan bahwa dengan undang-undang permusikan ini ketentuan penegakan hukum hak cipta itu akan diperkuat di sini. Karena ini tujuannya kan untuk kepentingan perlindungan dalam upaya pekerja musik.
Banyak yang keberatan soal Pasal 5 RUU Permusikan, bagaimana pasal ini bisa muncul?
Pasal 5 ini saya tahu ini pasal yang diperdebatkan. Tapi mungkin kita perlu berpikir ulang.
Pertama, karena norma itu sebenarnya sudah ada di Undang-undang Perfilman. Itu fotokopi sebenarnya. Sama. Jadi kontrol kalau kita bicarakan kebijakan kontrol itu sudah ada di Undang-undang Perfilman. Saya juga dengar, "Norma seperti ini yang kami tidak inginkan.”
ADVERTISEMENT
Untuk pelaku seni, pertanyaan saya sebenarnya kalau itu tidak dikehendaki kenapa itu tidak dilakukan judicial review terhadap Undang-undang Perfilman? Supaya kalau itu memang dianggap melanggar pasal, katakanlah pasal 28 Undang-undang Dasar 45, mestinya itu yang harus di-judicial review juga. Atau ini sekarang juga didiamkan begitu saja.
Artinya ini kan norma yang hidup dan ketentuan dalam pasal 5 itu sebenarnya sangat normatif. Misalnya seni tidak boleh melecehkan agama, suku, ras, memang ada kata-kata provokatif. Saya bisa menjamin mungkin itu bisa kami coret ya. Karena kan sangat subjektif itu dan itu memberikan diskresi kepada kepolisian. Itu artinya dari rumusan itu masih bisa kita perbaiki.
Kenapa pasal 5 itu harus dibawa dari UU Perfilman?
ADVERTISEMENT
Ya, karena perfilman itu juga kan seni, permusikan juga seni. Dan persyaratan itu menurut saya sangat normatif.
Menurut saya begini, di pasal 5 itu ada kata-kata tertentu yang bisa kita delete. Tapi ada juga yang tetap perlu sebagai acuan, saya kira. Mungkin itu bisa diperlunak dengan tidak mengatur sanksi yang diatur dalam undang-undang yang bisa dikaitkan dengan KUHP. Bisa solusinya seperti itu. Tapi bahwa ada koridor, aturan, norma mungkin terkesan membatasi kebebasan. Tetapi mungkin kalau kita pikirkan juga ada baiknya juga. Supaya orang juga kebebasan itu kan ada batasnya.
Jadi gini, sanksi pidana ini sebenarnya sangat teknis perundang-undangan. Memang ada pemikiran bahwa tidak harus semua undang-undang itu ada sanksi pidananya. Saya setuju dengan itu sebenarnya. Tapi jangan sampai publik atau siapapun berpandangan bahwa setiap pelanggaran undang-undang luput dari ketentuan pidana belum tentu juga seperti itu.
Koalisi Nasional tolak RUU Permusikan. Foto: Instagram/@danillariyadi
Yang saya mau katakan bahwa kami nanti bisa saja menghilangkan sanksi pidana dalam undang-undang ini. Tapi jangan lupa kita juga ditunggu oleh KUHP juga. Jadi sama aja sih sebenarnya. Tapi bedanya diatur dalam undang-undang ini atau diatur dengan KUHP. Sehingga nanti kita tinggal me-refer saja. Bahwa beberapa pelanggaran terhadap undang-undang ini yang bisa menimbulkan ini bisa dikenakan melalui sanksi pidana. Kan bisa saja.
ADVERTISEMENT
Sebab, misalnya ada undang-undang yang dalam kegiatan permusikan yang kemudian menyinggung atau merasa ada orang yang menjadi korban kan dia bisa mengajukan delik tapi menggunakan KUHP. Itu juga bisa untuk memodifikasi ketentuan. Dalam undang-undang ini itu bisa terjadi seperti itu.
Apakah ada perbandingan di luar negeri soal regulasi yang membahas soal permusikan?
Ada, contohnya ada UU tentang Music Moderetation Law di AS. Mereka baru membuat UU bulan oktober 2018. Dan pada saat kita lakukan penyiapan ini jadi kita baca. Kerangkanya sama, tentang penguatan hak cipta, perlindungan terhadap pencipta musik, perlindungan terhadap artis, dan sama juga frame kita. Jadi artinya, frame-nya itu diperlukan. Bahwa nanti diperlukan isi detailnya itu nanti yang perlu kita sesuaikan lagi. Jadi saya berani katakan, di negara yang paling liberal pun aturan itu ada.
Nada Sumbang RUU Permusikan Foto: Basith Subastian/kumparan
Bagaimana soal pasal uji kompetensi yang juga dipermasalahkan?
ADVERTISEMENT
Uji kompetensi ini saya setuju kalau itu kontroversial, dalam arti bermasalah.
Ada hal-hal tertentu yang perlu kita munculkan, tetapi tidak bersifat mandatory, tetapi voluntary aja. Dan lagi-lagi, dokumen itu sebenarnya dari Konferensi Musik Indonesia. Jadi itu sebenarnya salah satu rekomendasi dari Konferensi Musik Indonesia yang waktu itu kita terima untuk diakomodasi dalam undang-undang. Artinya pemikiran itu pun sebenarnya lahir dari para musisi sendiri juga. Saya tidak tahu kenapa muncul itu. Tetapi sepertinya karena mungkin kita terlalu berpikir ideal ya, bahwa seolah-olah musik itu hanya monoton aja. Padahal, kan sebenarnya genre-nya banyak tuh.
Dan saya kira kami terus terang masih menunggu lagi nih, kita mau diskusikan kapan kita bertemu dengan para musisi itu untuk menerima masukan itu biar kita udah duduk bersama aja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana sikap BK DPR setelah ada penolakan-penolakan seperti ini?
Sekarang kami ya kalau boleh saya katakan, ada memang ketentuan yang perlu kita perbaiki.
Anggota DPR Anang Hermansyah(kanan) dan musisi Glenn Fredly (tengah) saat diskusi RUU permusikan di Cilandak town square Jakarta Senin (4/2). Foto: Ronny/kumparan
Sudah memprediksi bakal ada ribut-ribut?
Yang kami baca sebelumnya, ternyata memang dunia permusikan ini sangat bervariasi, apalagi dia bicara kultur. Waktu itu sudah ada yang bicara gini, "Bagaimana ceritanya soal musik dengan membangun paradigma untuk menjaga jarak dengan budaya asing? Sementara, orang mempertanyakan memangnya musik itu budaya Indonesia?"
Jadi ada konsep-konsep dasar waktu itu yang menurut saya akan menimbulkan persoalan karena ternyata kita tidak bisa mengasingkan diri melalui regulasi di bidang permusikan. Karena, musik ini juga bukan sesuatu yang murni pada kita, ada kultur dari Arab, India, Eropa. Di situ saya merasa, "Wah ini tidak mudah," karena kita akan kesulitan dari mana kita akan memulai istilah perlindungan ini.
ADVERTISEMENT
Yang kedua bicara soal kebebasan. Dari prinsip kebebasan ini dalam musik itu seni sangat luar biasa atau bahkan, mohon maaf, itu adalah suatu profesi yang menurut saya unsur kebebasannya itu sangat dijunjung tinggi. Sehingga kita kalau mau mengatur seperti itu, saya sudah prediksi ini akan menimbulkan masalah, pasti berpotensi.
Jadi pada dasarnya memang mereka nggak mau diatur, mau kreasi saja.