Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jangan gaduh, pesan Jokowi kepada elite Golkar, mitra koalisinya. Ia tak luput mengamati perebutan takhta di partai beringin.
Senin (1/7), Jokowi meriung bersama para politisi Golkar di Ruang Garuda Istana Bogor. Hari itu, rombongan pengurus Golkar yang dipimpin sang ketua umum, Airlangga Hartarto, datang memenuhi undangan Jokowi pasca-putusan sengketa Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi.
Pertemuan antara Presiden dan salah satu partai koalisinya itu berlangsung cair. Para peserta duduk melingkar, dengan Jokowi dan Airlangga duduk berhadapan di antara mereka. Hadir di sana Mensos Agus Gumiwang Kartasasmita yang juga salah satu koordinator bidang di Dewan Pimpinan Pusat Golkar, Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, Ketua Koordinator Pemenangan Pemilu Wilayah Indonesia Timur DPP Golkar sekaligus Ketua Fraksi Golkar DPR Melchias Marcus Mekeng, hingga Ketua DPP Golkar Aziz Syamsuddin.
Ada pula Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sulawesi Selatan yang juga Ketua Koordinator Bidang Pratama DPP Golkar Nurdin Halid, dan Plt Ketua DPD Golkar DKI Jakarta merangkap Koordinator Bidang Penggalangan Khusus DPP Golkar Rizal Mallarangeng.
Kepada mereka semua, Jokowi mengucapkan terima kasih atas kerja keras Golkar dalam membantu pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Pemilu 2019. Ia juga memuji capaian Golkar pada Pemilu Legislatif yang meraih 12,31 persen suara nasional (85 kursi di DPR). Jokowi cukup kaget karena survei internalnya memprediksi Golkar hanya bakal mengantongi 7 persen suara.
Jokowi menekankan peran penting Golkar sebagai partai besar, dan memintanya untuk terus ikut menjaga stabilitas politik nasional pada pemerintahan periode keduanya, 2019-2024.
“Kemudian keluar kata-kata ‘jangan gaduh,’” kata Nurdin Halid kepada kumparan di kawasan Senayan, Senin (9/7).
Pesan itu membawa perbincangan menjadi lebih serius. Jokowi menyinggung dinamika internal Golkar. Belakangan, Golkar memang memanas seiring desakan sebagian kadernya untuk menggelar Musyawarah Nasional guna memilih ketua umum partai.
Jokowi menegaskan tak mau ikut campur perkara domestik Golkar. “Silakan berkonsolidasi tapi harus taat aturan, taat mekanisme partai,” ujar Nurdin mengulang ucapan Jokowi.
Terakhir, Jokowi meminta Golkar untuk memperkuat kepemimpinan partai saat ini—sebuah pesan yang memicu ragam tafsir di antara pengurus Golkar yang saat ini terpecah antara kubu Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo. Yang disebut terakhir ini berniat mengambil kursi ketua umum partai dari Airlangga.
Menurut Dedi Mulyadi yang dihubungi terpisah, pesan Jokowi cukup jelas. “Kalimat Pak Presiden jelas: ‘harus dipertahankan.’”
Ucapan Dedi diamini Melchias Markus Mekeng dan Ketua Koordinator Bidang Kepartaian DPP Golkar Ibnu Mundzir. Namun tidak demikian bagi elite Golkar di kubu Bambang Soesatyo. Menurut mereka, pesan Jokowi normatif saja. Ia, ujar mereka, meminta Golkar diperkuat siapa pun ketua umumnya.
“(Pesan Jokowi) satu, beliau tidak ikut campur dalam urusan internal Partai Golkar. Dua, tidak boleh ada ribut-ribut di internal Partai Golkar,” ujar Azis Samual, eks Ketua Bappilu Golkar Wilayah Indonesia Timur.
Takhta Airlangga di Golkar saat ini diintai oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo yang di DPP Golkar duduk sebagai Wakil Koordinator Bidang Pratama. Bamsoet—sapaan Bambang Soesatyo—kini telah menerima dukungan dari sejumlah pengurus pusat Golkar sampai pengurus Golkar tingkat provinsi maupun kota/kabupaten.
Sebut saja Yorrys Raweyai yang terang-terangan mengaku sebagai Tim Sukses Bamsoet, dan menyebut beberapa rekan separtainya ikut dalam barisan pendukung Bamsoet. Semisal politisi senior Golkar MS Hidayat, Bendahara Umum Golkar Robert Joppy Kardinal, Azis Samual, dan Mukhamad Misbakhun.
Untuk memuluskan langkah Bamsoet, mereka mendesak Musyawarah Nasional Golkar digelar sebelum Oktober 2019—lebih cepat dari rencana semula pada akhir tahun.
“Tak ada tertuang (dalam poin hasil Munaslub 2017 bahwa Munas berikutnya) harus Desember 2019. Waktunya dari Januari sampai Desember,” ujar Bamsoet kepada kumparan di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Kamis (4/7).
Ia heran karena Airlangga seperti ketakutan jika Munas digelar sebelum Oktober.
Sementara kubu Airlangga berkukuh Munas harus digelar Desember. Pada barisan sang petahana ini antara lain Nurdin Halid, Dedi Mulyadi, Melchias Markus Mekeng, Rizal Mallarangeng, Lodewijk Freidrich Paulus, Agus Gumiwang Kartasasmita, hingga Aziz Syamsuddin—yang semuanya hadir di Istana dalam pertemuan dengan Jokowi pada 1 Juli.
Selain sejumlah pengurus aktif itu, senior-senior Golkar seperti Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono juga menyatakan mendukung Airlangga.
Oktober jadi patokan karena pada bulan ini berlangsung pelantikan kabinet baru Jokowi dan pelantikan anggota baru DPR periode 2019-2024.
Artinya, siapa pun yang menakhodai Golkar pada Oktober akan ikut menentukan siapa-siapa saja tokoh Golkar yang masuk ke kabinet, dan siapa-siapa saja kader Golkar yang duduk di Alat Kelengkapan Dewan—mulai pimpinan DPR hingga pimpinan komisi.
“Alangkah tepatnya Munas digelar Desember karena kita harus konsentrasi ke agenda kenegaraan,” ujar Dedi Mulyadi yang berada di kubu Airlangga.
Yorrys tak sependapat. Menurutnya, Agustus adalah waktu yang tepat. “Kepengurusan baru (Golkar) menentukan kabinet ke depan. Jadi (kepengurusan baru sebelum Oktober) betul-betul bisa smooth mendukung agenda pemerintahan ke depan.”
Semua itu, menurut Bamsoet, tak cuma soal kabinet. Namun agar konsolidasi di tubuh Golkar rampung sepenuhnya sebelum pemerintahan periode kedua Jokowi dimulai.
“Kami selalu ingin merespons dan mengikuti ritme Pak Jokowi dalam membangun koalisi di pemerintahan yang baru nanti. Kami tak ingin mengganggu konsolidasi awal pemerintahan baru,” tutur Bamsoet.
Ia bahkan mengatakan akan mengusulkan Airlangga dan Agus Gumiwang menjadi menteri lagi ke Jokowi andai ia terpilih menjadi Ketua Umum Golkar . “Kita harus melihat dengan objektif bahwa kinerja keduanya bagus," tutur dia.
Bamsoet mengatakan, saat ini banyak pengurus Golkar di tingkat kabupaten/kota yang resah dengan kebijakan Airlangga yang kerap mengangkat pejabat pelaksana tugas untuk posisi Ketua DPD II Golkar. Hal ini terjadi di DKI Jakarta yang dipimpin Rizal Mallarangeng selaku Plt Ketua DPD. Juga di Bali yang memiliki enam Ketua DPD II berstatus Plt, bukan pejabat definitif.
Padahal, menurut Bamsoet, Ketua DPD II Golkar idealnya dipilih oleh pengurus kecamatan melalui Musyawarah Pimpinan Daerah. Bukannya lewat campur tangan ketua umum dengan langsung memilih Plt Ketua DPD I dan DPD II Golkar. Akibatnya, lanjut Bamsoet, pengurus daerah merasa kewenangan mereka dibelenggu oleh DPP.
Kubu Bamsoet juga menuding Airlangga kurang rajin menggalang konsolidasi ke daerah. Padahal, kata Yorrys, sudah menjadi hukum tak tertulis di Golkar bahwa seorang ketua umum harus rajin mendatangi kader dan pengurusnya di daerah.
Yorrys mencontohkan, pada tahun pertama kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, ia melakukan safari ke 152 DPD II dan 15 DPD I Golkar. Sementara pada bulan pertama Setya Novanto menjabat Ketua Umum, ia langsung berkonsolidasi dengan turun ke 15 DPD I Golkar.
“Sementara Airlangga di dua bulan pertama (memimpin Golkar), baru satu DPD (dikunjungi), ke Aceh. Ini kan artinya konsolidasi di daerah tak jalan,” kata Yorrys di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (3/7).
Pendapat itu sudah tentu berbeda dengan pengurus Golkar pro-Airlangga. Mereka menilai sang Ketua Umum terbilang berhasil karena bisa mengangkat suara Golkar di Pemilu Legislatif 2019—kurang dari dua tahun setelah partai itu terpuruk gara-gara ketua umum terdahulunya, Setya Novanto, terjerat kasus hukum.
“Dia (Airlangga) bisa melalui badai besar hanya dalam waktu satu tahun, dan bisa menempatkan (Golkar) di nomor urut dua,” ujar Mekeng.
Mengganti ketua umum dalam Munas Golkar tidaklah mudah. Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai itu, rencana Munas harus dibahas lebih dulu dalam rapat pleno DPP yang dihadiri semua pengurus tingkat pusat dan dipimpin ketua umum.
Dalam pleno itu, ketua umum memiliki kewenangan besar untuk menentukan agenda apa saja yang akan dibahas dalam Munas. Rapat pleno selanjutnya disusul oleh Rapat Pimpinan Nasional yang melibatkan pengurus DPP dan DPD I. Di sinilah jadwal dan urusan teknis terkait Munas diputuskan.
Di sini, Airlangga diuntungkan oleh posisinya sebagai Ketua Umum. Ia dapat lincah bermanuver karena berwenang mengatur jadwal rapat pleno, termasuk—kalau mau—mengulurnya hingga lewat Oktober usai pelantikan kabinet baru Jokowi.
“Penentuan (rapat pleno) ini dari Ketua dan Sekjen—undangan dari ketua dan sekjen, yang memimpin Ketua dan Sekjen. Makanya ini tergantung Airlangga. Bisa saja memang sudah dikunci. Jadi menurut saya, Bambang ini now or never,” ujar Lalu Mara Satriawangsa, mantan Wasekjen Golkar.
Menurut hitung-hitungan kubu Airlangga, Munas sebelum Oktober sulit dilakukan. Pasalnya, pada Agustus, anggota DPRD kabupaten/kota sudah mulai dilantik. Setelah itu, sebulan sesudahnya sampai September, mereka akan disibukkan oleh penentuan alat kelengkapan Dewan di DPRD.
Pada September pula, pelantikan anggota DPRD provinsi berlangsung, disusul penyusunan alat kelengkapan mereka hingga bulan berikutnya, Oktober. Dan pada awal Oktober inilah anggota baru DPR RI di pusat akan dilantik, diikuti pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2019.
Padatnya rangkaian agenda politik di tingkat daerah sampai pusat itulah yang membuat kubu Airlangga berkeras Munas paling tepat digelar Desember, setelah segala kesibukan mereda.
Bambang Soesatyo mencium upaya untuk mengulur jadwal Munas Golkar. Ia menduga proses pemilihan ketua umum akan dirancang berlangsung secara aklamasi lewat musyawarah mufakat, bukan dengan pemilihan langsung oleh para pemilik suara.
“Ini enggak boleh. Di Golkar tak terbiasa ketum lahir dari rapat pleno atau aklamasi, tapi lahir dari Munas. Golkar biasanya panas kemudian bersatu lagi,” kata Bamsoet.
Ia mengklaim telah mengantongi 400 dari total 557 pemilik suara. Namun kasak-kusuk di internal partai menyebut sejumlah pengurus DPP dan DPD Golkar masih enggan menyatakan dukungan secara terbuka kepada Bamsoet karena cemas bakal kehilangan jabatan.
Kader-kader yang mengang pileg, misalnya, khawatir batal dilatik jadi anggota legislatif. “Intinya, tanda tangan Airlangga sakti karena dia masih ketum,” ujar seorang sumber.
Airlangga sendiri belakangan rajin keliling ke daerah untuk menyambangi pengurus Golkar. Dalam dua pekan terakhir saja, ia mengunjungi 20 provinsi, termasuk Kalimantan Selatan yang semula memberikan dukungan untuk Bamsoet.
Menurut Dedi Mulyadi, Airlangga mengantongi 468 suara DPD I dan DPD II plus ormas Golkar yakni MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Ia dan Bamsoet kini tengah gencar berebut suara demi takhta Golkar . Pertarungan baru mulai.