Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1

Bagi seorang mantan putra mahkota penguasa Korea Utara, hidup Kim Jong-nam berakhir tragis. Ini “salahnya sendiri”, sebab ia murtad kepada junjungannya: rezim kediktatoran komunis Korea Utara.
BBC melansir, Jong-nam sesungguhnya sempat digadang menjadi pengganti Dear Leader Kim Jong-il, Pemimpin Tertinggi Korea Utara yang kedua.
Bagaimana tidak, Kim Jong-nam adalah putra sulung Kim Jong-il yang lahir 10 Mei 1971 dari seorang aktris Korut bernama Song Hye-rim—putri cendekiawan komunis Korea Selatan yang bermigrasi ke Korut saat Perang Korea meletus pada 1950-1953.
Meski demikian, status putra sulung Jong-il tak membuat Jong-nam istimewa. Dia bahkan agak “sial”, sebab ayah dan ibunya sesungguhnya menjalin cinta “terlarang”. Saat mulai berpacaran dengan Kim Jong-il, Song Hye-rim masih menikah dengan lelaki lain.
Oleh sebab itu, Kim Jong-il bertahun-tahun menyembunyikan istri dan putranya itu dari sang ayah, Kim Il-sung yang merupakan Pemimpin Tertinggi Pertama sekaligus Presiden Abadi Korea Utara. Jika sampai ketahuan, masa depan Jong-il sebagai suksesor Il-sung bisa terancam.
Maka bisa dibayangkan seperti apa kelam masa kecil Jong-nam. Identitasnya sebagai putra seorang tokoh besar harus dirahasiakan demi keamanan “karier” sang ayah.
Kim Jong-nam tinggal di sebuah rumah besar di jantung Pyongyang, ibu kota Korut—namun dalam keadaan terisolasi, bagai burung dalam sangkar di belakang gerbang istana.
Seakan hidup tak bisa lebih menyedihkan lagi bagi Jong-nam, sang ibunda, Song Hye-rim, mengidap lemah fisik dan mental. Ia mesti mendapat pengobatan di luar Korut.
Kim Jong-nam pun ditinggal sang ibu berobat ke luar negeri. Ia tinggal bersama nenek dan tantenya dari pihak ibu.
Terlepas dari identitas Jong-nam yang harus ditutupi, Kim Jong-il cukup memanjakannya. Ia tidur dengan sang putra, makan malam bersamanya, dan meneleponnya jika terlalu sibuk untuk pulang ke rumah.
Entah bagaimana ceritanya, rumor menyebut lambat laun identitas Jong-nam diketahui sang kakek, Kim Il-sung, dan mereka berdua pada akhirnya saling berhubungan.

Pada 1979, saat usia Jong-nam 8 tahun, ia keluar dari Korea Utara untuk bersekolah di luar negeri. Ini sekaligus mengawali pengembaraan Jong-nam selama 10 tahun di tanah-tanah asing.
Setelah 10 tahun tinggal di Rusia dan Swiss hingga fasih berbahasa Prancis dan Inggris, Jong-nam kembali ke Korea Utara pada akhir 1980-an.
Namun hidup tak lagi sama bagi Jong-nam yang telah terbiasa berpikir dan berperilaku dengan cara Barat. Ia tak lagi sabar hidup dalam negeri yang terisolasi dengan dunia luar, dan mulai mempertanyakan sistem politik ekonomi Korea Utara.
Tentu saja sikap kritis Jong-nam tak sejalan dengan “keseragaman” yang berlaku di Korut, dan membuat ayahnya merasa frustasi dengannya. Jong-il bahkan mengancam untuk mengirim Jong-nam, yang waktu itu berusia sekitar 18 tahun, ke kamp tahanan politik untuk bekerja sebagai buruh tambang batu bara.
Namun ancaman itu tak terealisasi, dan Jong-nam menghabiskan usia 20-an tahunnya menentang tuntutan ayahnya untuk terjun ke dunia politik Korea Utara yang begitu tertutup.
Meski terlihat jelas Jong-nam tak bakal bisa menggantikan ayahnya memimpin negeri, ia masih terlibat dalam bisnis keluarga. Ia dikabarkan mengurusi devisa yang dihasilkan dari “proyek-proyek” Korut di luar negeri.
Maret 1990-an, saat ribuan warga Korut mati kelaparan, Kim Jong-nam terlibat dalam proses audit yang menyasar pejabat partai pusat. Ia mengaudit praktik bisnis dan keuangan dari pabrik-pabrik milik negara.
Setelah audit rampung, Jong-nam melihat para manajer pabrik dituduh mencuri uang dari negara. Semua ini mengecewakan Jong-nam. Ia jengkel dengan negaranya, dengan sistem politik yang dibentuk oleh kakek dan ayahnya.


Akhir 1990-an, Kim Jong-nam menikah. Lalu mulai awal tahun 2000-an, dia tinggal di luar Korut, di rumah-rumah keluarga Kim di Makau dan Beijing, China.
Meski dianggap bengal dan membangkang, Jong-nam diperlukan oleh dinasti penguasa Korea Utara. Ia diberi tugas untuk mengelola sejumlah rekening keuangan keluarga senilai total miliaran Dolar AS. Dia juga mengurusi beberapa bisnis ilegal Korut.
Jong-nam memang tak pernah terlibat langsung dengan aktivitas kriminal seperti perdagangan narkotika atau penyelundupan senjata, tapi dia berperan mengawasi “keamanan” aliran uang yang datang dari kegiatan ilegal maupun legal, agar terhindar dari pengawasan hukum otoritas setempat.
Dengan pekerjaan macam itu, tak heran jika Jong-nam memiliki gaya hidup jetset, termasuk rutin berjudi di berbagai tempat hiburan kelas atas Asia, dan dengan cepat menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan yang menarik hatinya.
Jong-nam dikabarkan tak cuma memiliki satu istri, tapi dua istri. Dia juga punya satu perempuan simpanan. Dari mereka, Jong-nam memperoleh beberapa orang anak.
Istri pertamanya, Shin Jong-hui, tinggal di utara Beijing. Sementara istri keduanya, Lee Hye-kyong, dan dua anak mereka, tinggal di Makau.
Perempuan simpanan Jong-nam, pramugari bernama Chen Jia Xi, juga tinggal di Makau.
Kedua perempuan itu, seorang berpaspor Indonesia dan lainnya Vietnam, kini tengah diinterogasi Kepolisian Malaysia. Mereka diduga direkrut Korea Utara menjadi mata-mata atau agen bayaran.
Kematian Kim Jong-nam masih hitam, sehitam kisah hidupnya menentang kediktatoran Korea Utara, namun justru dimanfaatkan Korut untuk mengurusi bisnis ilegal mereka.

