Exit Poll Pileg di DKI: Perindo Kalahkan Golkar

25 April 2017 10:13 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Elektabilitas Partai Politik. (Foto: Dok. PolMark Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Elektabilitas Partai Politik. (Foto: Dok. PolMark Indonesia)
Saat melakukan exit poll pada hari pencoblosan Pilgub DKI Jakarta (19/4) lalu, PolMark Indonesia juga mengajukan pertanyaan mengenai partai apa yang akan dipilih jika pemilu legisliatif digelar di Ibu Kota. Hasilnya, elektabilitas PDIP masih yang tertinggi di DKI. Disusul Gerindra dan PKS di peringkat kedua dan ketiga.
ADVERTISEMENT
Elektabilitas PDIP mencapai 16,9 persen sementara Gerindra bertengger di peringkat kedua dengan raihan 16,1 persen. Di sisi lain, PKS berada di peringkat ketiga dengan 12,8 persen.
Runner up pada Pileg 2014, Golkar, anjlok karena hanya meraih 3,5 persen. Posisi Golkar berada di bawah Partai Demokrat (4,5 persen) serta Nasdem (4,1 persen). Sementara PKB mencapai 3,5 persen, PPP mencapai 2,5 persen dan PAN meraih 1,7 persen. Partai yang dipimpin Hary Tanoesoedibjo, Perindo, meraih elektabilitas sebesar 5,8 persen, lebih tinggi dari Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP, dan Partai Demokrat sekali pun.
Proses pemilu. (Foto: kpud-medankota.go.id/)
zoom-in-whitePerbesar
Proses pemilu. (Foto: kpud-medankota.go.id/)
ADVERTISEMENT
Direktur Riset Polmark Indonesia, Eko Bambang Subiantoro, mengatakan prediksi elektabilitas pileg dipengaruhi oleh sosok cagub-cawagub yang dipilih pada Pilgub DKI Jakarta.
"Ketika kandidat punya elektabilitas tinggi, maka berkorelasi secara langsung terhadap partai-partai pendukung. Mereka melihat partai-partai adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kandidat," ujar Eko kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (25/4).
"Mereka menunjukkan aktivitas yang tinggi, sering muncul. Bersosialisasi, alhasil, mereka juga dikenal oleh masyarakat menajdi harapan baru terhadap kehendak masyarakat," lanjutnya.
Gejala seperti ini, kata Eko, terjadi pada Pileg 2014. Saat itu, mayoritas orang memilih PDIP karena mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden. Hal ini pula yang menyebabkan PDIP buru-buru mendeklarasikan dukungan bagi Jokowi sebagai capres.
ADVERTISEMENT
Anies, Sandi, Prabowo merayakan kemenangan (Foto: Dedi Wijaya/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Anies, Sandi, Prabowo merayakan kemenangan (Foto: Dedi Wijaya/ANTARA)
"Ketokohan mempunya relevansi yang cukup positif terhadap penguatan partai. Sama kayak 2014, PDIP mendukung Jokowi maka elektabilitas saat pileg tinggi. Makanya PDIP mendorong Jokowi, ada Jokowi effect dan saat ini ada Anies-Sandi effect yang menjadi faktor dominan," ujarnya.
Sementara itu, di partai pendukung Ahok-Djarot, hanya PDIP yang mampu menjaga konstituennya agar tetap memilih partai berlambang banteng tersebut dan memilih Ahok-Djarot. Sementara partai-partai lainnya, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura, tidak mampu menjaga konstituen dan berujung pada rendahnya elektabilitas.
"Hanya PDIP yang terbukti bisa merawat konstituen. Berbeda dengan partai pendukung lainnya. Jadi memang rendah elektabilitas. Pertama, karena mereka memilih Ahok-Djarot dan yang kedua karena gagal merawat konstituen," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Sebagai perbandingan, berikut hasil Pileg 2014 di DKI Jakarta:
1. PDIP: 1.231.843 suara (28 kursi)
2. Gerindra: 592.568 suara (15 kursi)
3. PPP: 452.224 suara (10 kursi)
4. PKS: 424.400 suara (11 kursi)
5. Golkar: 376.221 suara (9 kursi)
6. Demokrat: 360.929 suara (10 kursi)
7. Hanura: 357.006 suara (10 kursi)
8. PKB: 260.159 suara (6 kursi)
9. NasDem: 206.117 suara (5 kursi)
10. PAN: 172.784 suara (2 kursi)