Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fadli Zon Bicara soal Proyek Satelit Kemhan 2015: Usut!
14 Januari 2022 20:08 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Kasus penyalahgunaan kewenangan terkait pengelolaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan ) terus menuai sorotan. Proyek pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sejak tahun 2015 itu diduga membuat negara mengalami kerugian lebih dari Rp 500 miliar.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon, ikut mendorong Kejaksaan Agung untuk segera menuntaskan masalah ini. Ia mengingatkan proyek satelit tersebut sangat strategis dan perlu mendapat perhatian maksimal.
"Segera ungkap bagaimana hal ini bisa terjadi. Proyek satelit ini penting dan strategis. Perlu diusut dugaan penyimpangan-penyimpangan ini segera," kata Fadli saat dihubungi, Jumat (14/1).
Fadli menerangkan pada 2015, dirinya menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI dan tak sempat hadir di Komisi I untuk memantau masalah tersebut.
Namun saat ini, ia menegaskan proyek ini harus diusut tuntas. Termasuk indikasi korupsi dan keterlibatan anggota TNI di dalamnya.
"Ya, perlu diusut tuntas," tandasnya.
Permasalahan satelit Kemhan bermula pada tanggal 19 Januari 2015. Ketika itu, Satelit Garuda 1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemhan disebut kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan. Padahal, Kemhan tidak mempunyai anggaran untuk itu.
Selain itu, penyimpangan diduga terjadi dalam pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) Kemhan tahun 2015. Kejaksaan menyebut Kemhan juga tidak mempunyai anggaran.
Penyimpangan tersebut kemudian berujung dengan gugatan arbitrase dari perusahaan yang menjalin kontrak, salah satunya Avanti. Negara bahkan harus membayar Rp 515 miliar karena gugatan itu, yang kemudian dinilai sebagai kerugian negara.