Fakta Dalang 22 Mei, dari Donatur hingga Upaya Kivlan Zen

12 Juni 2019 5:58 WIB
Blokade polisi yang di lempari petasan oleh massa di sekitar Bawaslu. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Blokade polisi yang di lempari petasan oleh massa di sekitar Bawaslu. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Satu per satu temuan dalam kerusuhan 22 Mei diungkap ke publik. Teraktual, Polri membeberkan dalang rencana pembunuhan empat tokoh nasional yang disebut-sebut beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Adalah Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Kostrad ABRI yang diduga mengarsiteki rencana pembunuhan terhadap Menkopolhukam Wiranto, Menkokemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan Staf Khusus Presiden, Gorries Mere. Tak ketinggalan, Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Charta Politika Indonesia, juga diduga masuk dalam daftar Kivlan untuk dibunuh.
Lalu, apa saja fakta-fakta yang diungkap Polri dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Selasa (11/6) kemarin?
Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (tengah) berjalan meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Polri sudah menangkap enam tersangka kasus kepemilikan senjata ilegal dan rencana pembunuhan dalam kerusuhan 22 Mei. Mereka adalah HK, AZ, IR, TJ, AD, AF.
Saat konferensi pers kemarin, Polri menampilkan pengakuan HK, yaitu Hadi Kurniawan alias Iwan, dalam sebuah video. Iwan mengaku diinstruksikan oleh Kivlan untuk membunuh Wiranto dkk.
ADVERTISEMENT
"Saya diamankan polisi pada tanggal 21 Mei pukul 13.00, terkait ujaran kebencian, kepemilikan senpi (senjata api), dan ada kaitannya dengan senior saya, jenderal saya, yang saya hormati dan saya banggakan Pak Mayjen Kivlan Zen," kata Iwan dalam video.
Pria berdomisili Bogor itu berperan sebagai pemimpin untuk mencari senjata api sekaligus mencari eksekutor kerusuhan. Iwan ditangkap pada 21 Mei pukul 17.00 WIB di lobi Hotel di Megaria, Cikini, Jakarta Pusat.
Versi Iwan, pada Maret 2019, ia bersama seseorang bernama Udin, dipanggil Kivlan untuk bertemu di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam pertemuan itu, Kivlan meminta Iwan untuk mencari senjata.
"Saya diberi uang Rp 150 juta untuk pembelian alat, senjata, yaitu senjata laras pendek dua pucuk, laras panjang dua pucuk. Uang Rp 150 juta dalam bentuk dolar Singapura saya langsung tukar," jelas Iwan.
ADVERTISEMENT
"Saya bawa memang (senjata) untuk aksi demo, tujuan saya adalah untuk apabila menemukan masa tandingan dan membahayakan anak buah saya, maka saya bertanggung jawab untuk mengamankan seluruh anak buah saya. Dan 21 (Mei) itu itu adalah demo di KPU masa belum ramai. Saya kembali ke pangkalan di Jalan Proklamasi nomor 36," tutur dia.
Pengakuan juga datang dari tersangka berikutnya, TJ. Polri memutar video pengakuan TJ di hadapan wartawan.
Dalam video itu, TJ mengaku mendapat perintah dari Kivlan melalui Iwan. "Saya dapat perintah dari Pak Kivlan Zen melalui Hadi Kurniawan. Satu, (bunuh) Pak Wiranto, dua, Pak Luhut, tiga, Pak Budi Gunawan, empat, Gories Mere," kata TJ.
Konferensi pers terkait aksi dan kerusuhan 21-22 Mei 2019. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Saya diberikan Rp 55 juta dari Pak Kivlan melalui Kurniawan (Iwan) kemudian rencana penembakan menggunakan senjata laras panjang kaliber 22 senjata itu dari Hadi Kurniawan," ucap TJ.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Iwan, TJ merupakan pria berdomisili Cibinong yang berperan sebagai eksekutor karena menguasai senjata api rakitan laras panjang. TJ ditangkap pada Jumat, 24 Mei, pukul 8.00 WIB, di parkiran Indomaret Sentul, Bogor. TJ positif mengonsumsi narkoba.
Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Charta Politika Indonesia, diduga ikut dibidik Kivlan. Irfansyah atau IR, tersangka lainnya, diperintah Kivlan untuk melancarkan serangan tersebut.
Pertemuan Irfansyah dan Kivlan kali pertama berlangsung pada April 2019, sehari setelah pemungutan suara pemilu. Irfansyah menuturkan, keduanya bertemu di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan. Irfansyah tidak sendiri, ia ditemani rekannya, Armin dan Yusuf.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya saat melaporkan sejumlah akun dan pembuatan chat palsu di Bareskrim Polri. Foto: Raga Imam/kumparan
"Keesokan harinya mengajak Yusuf ketemu Kivlan sekira jam 15.00 WIB, pakai mobil Yusuf, bertiga, sampai di Pondok Indah. Kami parkir di lapangan parkir kami menunggu Armin datang mengendarai motor. Lalu kami duduk sambil minum kopi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak lama, Kivlan datang bersama sopirnya, Iwan, kemudian mengajak Armin dan Irfansyah masuk ke dalam mobil Kivlan. "Pak Kivlan pegang HP (handphone) menunjukkan alamat dan foto Pak Yunarto, lembaga quick count, 'nanti kamu foto dan videokan'. 'Siap," tutur Irfansyah menirukan perintah Kivlan.
"Beliau berkata pada saya, 'cek alamat ini'. 'Siap', saya bilang. Beliau berkata lagi: nanti saya kasih uang operasional Rp 5 juta, cukuplah untuk bensin, makan, uang kendaraan," jelas Irfansyah.
"Keesokannya, kami ke lokasi yang diarahkan Pak Kivlan (kantor Charta Politika) di Jalan Cisanggiri 3 nomor 11. Saya dan Yusuf menuju lokasi pukul 12.00 WIB, sampai di sana dengan (menggunakan) Hp Yusuf ke alamat Pak Yunarto," jelas Irfansyah.
"Setelah itu dari Hp Yusuf, videonya kirim ke Hp saya, saya kirim ke Hp Armin, setelah itu kami kembali pulang," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Politikus PPP, Habil Marati, ikut terseret dalam biang rusuh 22 Mei. Habil ditetapkan sebagai tersangka lantaran disinyalir menjadi donatur pembelian senjata ilegal yang akan digunakan Kivlan untuk membunuh keempat tokoh nasional tersebut.
Wadirkrimum Polda Metro Jaya, AKBP Ade Hary, menjelaskan, Habil Marati merupakan tersangka kedelapan yang ditangkap pada 29 Mei 2019.
Habil Marati. Foto: Twitter.com
"Dia adalah seorang laki-laki yang tinggal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tersangka HM (Habil) ditangkap di rumahnya, Rabu, 29 Mei 2019. Tersangka HM berperan memberikan uang, yang diterima dari KZ (Kivlan), berasal dari HM maksudnya, untuk beli senjata api," jelas Ade.
"Tersangka HM ini juga beri uang Rp 60 juta kepada tersangka KZ. Untuk operasional dan beli senpi. Dari HM, kami sita Hp untuk komunikasi dan juga sebuah print out rekening bank milik tersangka HM," lanjut Ade.
ADVERTISEMENT
Selengkapnya baca:
Selanjutnya, Habil memberikan uang Rp 150 juta kepada Kivlan yang akan digunakan untuk membeli empat pucuk senjata api. Politikus PPP itu juga memberikan uang Rp 60 juta yang diduga digunakan untuk biaya operasional pembunuhan.
Tak banyak disebutkan latar belakang politik Habil Marati. Dikutip dari berbagai sumber, Habil ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dengan dapil Sulawesi Tenggara dalam Pileg 2019.
Pada Tahun 2008, eks petinggi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) itu juga pernah diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan aliran dana Bank Indonesia.
Pengacara Kivlan Zen, Muhammad Yuntri, mempertanyakan keterangan para tersangka. Sebab, versi pihaknya, Kivlanlah yang justru diancam dibunuh.
ADVERTISEMENT
"Iwan justru datang ke Pak Kivlan, mengatakan bahwa Pak Kivlan mau dibunuh oleh empat orang itu," kata Yuntri saat dihubungi wartawan.
Yuntri menyebut bahwa Iwan diminta oleh Kivlan menjadi sopirnya. Iwan, kata Yuntri, juga diinstruksikan Kivlan untuk menggelar demonstrasi, namun bukan aksi 21-22 Mei, melainkan peringatan Supersemar.
"Berbarengan itu kan ada peringatan supersemar, dia diberikan uang untuk demo sekitar 15 ribu dolar Singapura atau Rp 150 juta, enggak tahu melaksanakan atau tidak, tiba-tiba sekarang ini muncul dan ceritanya malah dibalik, yang dibikinnya pengakuan dari polisi, (yang menyebut) justru Pak Kivlan yang menyuruh untuk membunuh empat orang itu," kata dia.
Saat ini, Kivlan sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus dugaan makar. Sebelumnya, Kivlan dilaporkan oleh seorang warga bernama Jalaludin pada 7 Mei 2019 atas dugaan menyebarkan hoaks serta makar dengan nomor LP/B/0442/V/2019/BARESKRIM.
ADVERTISEMENT
Selain Kivlan Zen, Polri juga membeberkan peran tersangka lain dalam kepemilikan senjata ilegal, yakni eks Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko. Keterangan itu didapat dari pengakuan Hariyansyah, eks sopir sekaligus pengawal Soenarko, dalam video yang diputar Polri.
Hariyansyah mengaku sempat berkoordinasi dengan orang yang mengurusi pengiriman senjata api ilegal dari Aceh bernama Beni. Berdasarkan keterangan polisi, senjata itu merupakan sitaan dari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Mayjen (Purn) Soenarko. Foto: Dok. kopassus.mil.id
"Kenapa lama sekali, Enggak dikirim?'. 'Ya sudah, Pak, saya cari ke luar'. Di tanggal 15 Mei melalui Bandara Sultan Iskandar Muda dikirim. Tanggal 14 (Mei), saya hubungi Beni minta dikirim lagi ke Bapak (Soenarko)," ungkap Hariyansyah dalam sebuah video yang diputar di Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (11/6).
ADVERTISEMENT
"Tanggal 15, Beni kasih ke saya, 'Bang, senjata sudah dikirim. Jam 3 sore . 'Oke, saya akan laporkan bapak kita akan jumpa di mana'. Saya ketemu jam 2 sama dia di Simpang Surabaya untuk bersama-sama ke airport," sambungnya.
Eks Danjen Kopassus, Mayjen (Purn) Soenarko melaporkan Pati Polri ke Irwasum, Senin (23/7). Foto: Ainul Qalbi/kumparan
Dirtippidum Polri, Kombes Dedi Hartadi, menyebutkan, senjata bersertifikat palsu itu akhirnya dikirim ke Jakarta. Senjata itu dibawa oleh Hariyansyah dan satu tersangka lainnya berinsial SA.
"Saat itu juga oleh BAIS keduanya diamankan dan interogasi serahkan ke POM TNI. Karena hasil pemeriksaan POM TNI para pelaku ada anggota, ada sipil, maka dikirimkan ke Kapolri dan Bareskrim untuk tindak lanjut penyidikan," jelas Dedi.
Dedi menegaskan, senjata api ilegal tersebut masih aktif dan berbahaya apabila disalahgunakan. "Pucuk senjata api tersebut laras panjang menyerupai M4, kabin dan dapat berfungsi baik dan pdt ditembakkan. bahwa ini senjata api aktif dan dapat membinasakan," tutup dia.
ADVERTISEMENT