1:1 Bendera FBR

FBR: Menjadi Jawara dan Juragan di Tanah Sendiri

6 Desember 2019 16:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Korwil FBR Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Korwil FBR Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Hari itu, Senin (18/11), Wasekjen Pengurus Pusat Forum Betawi Rempug (FBR) Ibrahim atau yang akrab disapa Bram tampak sibuk sedari pagi. Lewat tengah hari ia baru bisa rehat usai pontang-panting membantu pendaftaran hampir seratus anggotanya untuk jadi pengemudi ojek online.
Sebagai pengurus pusat, Bram merasa bertanggung jawab atas penghidupan ratusan ribu anggotanya. Sulitnya mendapat pekerjaan di sektor formal membuat banyak anggota FBR masuk ke sektor-sektor informal seperti tukang parkir atau pengemudi ojek.
“Kita menciptakan itu, bagaimana mengubah mindset orang dari yang liar menjadi terukur,” kata Bram saat berbincang dengan kumparan di kantornya. Banyaknya anggota FBR yang menjadi tukang parkir kerap jadi sorotan. Lantaran anggota ormas satu ini sering terlibat tawuran demi berebut lahan parkir.
“Kehidupan jalanan itu keras,” kilah Bram.
Manurutnya, keberadaan anggota FBR sebagai tukang parkir tak perlu dipersoalkan. “Meskipun hanya tukang parkir dia punya status (pekerjaan). Dibandingkan dia enggak ngapa-ngapain, meskipun dia punya uang,” tambah Bram.
Bendera FBR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Di sebuah kantor kecil bernuansa Betawi yang terletak di sebelah pintu masuk JTS Kemayoran, Jakarta Pusat, Bram menyambut hangat kumparan untuk berbincang soal dinamika aktivitas FBR. “Sampai larut pun tak masalah,” ucapnya ramah. Berikut petikan perbincangan kami.
Selain dikenal sebagai ormas kelompok Betawi, FBR juga dikenal karena banyak anggotanya mengelola lahan parkir…
Sebenarnya kalau FBR sendiri sih kegiatannya secara umum adalah keseharian. FBR itu partisipasi bukan mobilisasi. Jadi FBR itu lebih mengutamakan kebutuhan. Kebutuhan status, kebutuhan kepastian mendapat lapangan kerja, kebutuhan perlindungan, kebutuhan lain-lainnya, silaturahmi.
Kenapa merasa perlu untuk menyediakan kebutuhan lapangan kerja bagi anggota FBR?
Karena dulu kan, jujur Betawi ini termarginalkan. Di daerah lain, untuk menjadi Ketua RT itu susah kalau bukan orang asli situ. Tapi ketika di Betawi, enggak. Apa kita usik?
Jadi yang banyak (jadi Ketua RT) itu kayak pegawai negeri, terus pegawai Pemda, mereka kan kebanyakan bukan orang Betawi. Tapi kita enggak pernah marah. Kita egaliter. Kita menerima, karena kita enggak ada kerajaan sehingga fatsun ningratnya itu enggak ada.
Sehingga, kita, Betawi harus eksis di tanahnya sendiri. Maka jargonnya adalah menjadi jawara dan juara di tanah sendiri. Tapi itu moto global kita. Tapi sebelumnya adalah dari otak jadi otot, dari otot menjadi otak. Pertama 3 S—salat, sekolah, silat. Berubah menjadi otot dan otak. Sekarang berubah lagi menjadi jawara dan juragan di tanah sendiri.
Bagaimana cara mewujudkan jargon ‘Jawara dan juragan di tanah sendiri’?
Kita pengin bahwa, Anda rela nggak kampung Anda diusik orang? Enggak kan. Itu bentuknya partisipasi kita menjaga kampungnya. Menjaga kampungnya dari serangan apa? Dari serangan ekonomi luar, intervensi dari luar. Sehingga dia menjaga kampungnya dalam berbagai macam hal, dari segi ekonomi, politik, macam-macam lah. Sehingga dengan dia menjaga kampungnya, kampungnya aman, berarti semua juga aman.
Posko FBR di Jakarta Barat tempat anggotanya pernah dibacok. Foto: Andesta Herli/kumparan
Langkah konkret apa yang dilakukan pengurus FBR untuk memberdayakan ekonomi anggotanya? Apakah mengelola lahan parkir salah satunya?
Kalau ekonomi kan keseharian bagaimana mereka punya kepastian lapangan pekerjaan. Meskipun hanya jadi tukang parkir, dia punya status. Dibandingkan dia enggak ngapa-ngapain meskipun dia punya uang. Tapi kalau dia tukang parkir, dia mengatur parkir di wilayahnya. Enggak mungkin parkir di Kemayoran, tapi tukang parkirnya dari Sunter. Jadi hal-hal yang kecil itu berpengaruh. Bagaimana dia bisa eksis di kampungnya sendiri.
Apakah ada profesi lain yang disediakan FBR selain parkiran?
Bisa aja dia bantu BPJS, bantu kelurahan, dia mungkin jadi pengamanan, security. Jadi banyak sektor. Kita menciptakan itu, bagaimana mengubah mindset orang dari yang liar menjadi terukur.
Terukur ini begini, dia sebelumnya nyari duitnya serampangan, tidak melihat itu punya orang atau tidak. Tapi di FBR itu punya aturan. Kalau lo udah kerja di sini, lo harus jaga karena ini pendaringan lo. Jangan nipu lagi, jangan ngutang lagi, jangan macem-macem lagi. Itu ada aturannya.
Karena dia udah bawa label organisasi. Itu yang harus dia jaga. Kalau dia bukan anggota FBR, sambil parkir bisa nyopotin kaca spion, sambil parkir sambil malak. Kalau di FBR, dia enggak bisa begitu.
Ormas Penguasa Parkiran Jakarta. Foto: Maulana Saputra/kumparan
FBR juga identik dengan gardu yang tersebar. Apa fungsi gardu bagi jalannya organisasi?
Jadi kalau di FBR itu kayak kompeni, daerah jajahan, teritorial. Kayak misalnya di Pasar Minggu, gardunya cuma 1, isinya 200 doang. Posnya banyak. Di Paseban, satu kelurahan, 2 gardu. Jadi enggak ada fatsun yang ini harus segini. Selama lo ada 200an orang, lo boleh bikin gardu.
Basis FBR yang kuat di pusat di mana?
DKI Jakarta merata. Kalau di luar DKI mungkin ada wilayah-wilayah tertentu.
Berapa jumlah gardu di masing-masing wilayah?
Jakpus 30 gardu, Jakut 41, Jakbar 56, Jaktim 114, Jaksel 61, Pulau Seribu 2, Tangkot 5, Tangsel 26, Depok 34, Bekasi Kota 38, Bekasi Utara Kab 14, dan Bekasi Selatan Kab 18.
Jadi sistem gardu itu jadi kunci FBR untuk menghidupi anggotanya?
Wilayahnya mereka punya teritorial sendiri. Jadi bagaimana memperluas pengaruh melalui gardunya. Misal ada proyek atau apa, belum ada nih yang masuk. Apa dia minta tenaga kerja security atau dia masuk jadi pemasok bahan bangunannya. Apa dia seperti apa? Cuman ritme elegannya itu mulai 2006. Elegannya itu pakai surat, enggak ada pemaksaan.
Salah satu gardu korwil FBR Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Jadi sebelumnya tidak dengan cara elegan melalui perantara surat resmi?
‘Ini kampung gue, lu mesti bayar upeti ke gue’. Gitu. Liat aja bagaimana ITC Cempaka Mas ditutup sama FBR. Karena enggak mengakomodir masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar itu sudah muak, akhirnya kerja sama ama FBR lah. Lalu di situ pada dapat kerjaan, dapat parkir, dapat pekerjaan jadi security. Karena apa? Karena FBR.
Ada ahli waris yang enggak dibayar tanahnya karena dimanipulasi pejabat. Akhirnya kita demo. Dibayar 13 miliar. Kita enggak lagi lihat nilai nominal, tapi pada saat orang dizalimin, orang minta bantuan, kita wajib membantu. Itulah kenapa orang nyaman di FBR.
Kenapa sering terjadi gesekan dengan ormas lain?
Gesekan itu pasti ada. Enggak mungkin enggak. Ini kehidupan keras di lapangan.
Bagaimana caranya untuk lebih unggul dari ormas lain?
Adu banyak. Adu kuat negosiasi, massa, pendekatan.
Apakah sampai terjadi bentrokan kekerasan?
Ada juga yang tarung. Tahun 2002 kan kita tarung, bacok-bacokan.
Ada juga ormas kedaerahan sejenis FBR. Apakah juga pernah bergesekan dengan mereka?
Selama dia tidak mengganggu atau mengusik, enggak masalah. Kita juga enggak mau ngambil rezeki orang.
Apakah FBR menetapkan kriteria khusus untuk anggota baru?
Yang enggak punya agama aja boleh masuk kok. Kita enggak mempertanyakan. Yang penting dia manusia, jangan dedemit yang masuk. Barulah setelah dia masuk FBR. dia ngikutin acara FBR, ngikutin pengajian. Itu wajib. Dia mengikuti bagaimana anggota FBR ini makin lama makin terbentuk akhlaknya.
Mantau enggak? Yang tadinya tukang minum, dia hormati orang lain jadi minumnya ngumpet. Minumnya yang tadinya lima botol jadi sebotol. Yang tadinya di jalanan, ngumpet. Yang sangat dilarang itu di Korwil atau di Gardu itu minum dan main judi. Itu enggak ada ampun. KTA-nya dicabut, orangnya digebukin. Karena melanggar syariah.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten