Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fenomena Pound Fit di Stasiun MRT: Apakah Kita Kekurangan Tempat Olahraga?
26 Oktober 2024 9:18 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Sejumlah masyarakat yang melakukan olahraga pound fit di Stasiun MRT Bundaran HI pada Senin (21/10) lalu menuai kritik. Publik menilai kelas pound fit di stasiun MRT bukanlah hal yang bijak. Terutama karena suara bising yang mengganggu pengguna MRT.
ADVERTISEMENT
Belakangan, kegiatan pound fit tersebut akhirnya dihentikan. Kepala Divisi Corporate Secretary PT MRT Jakarta, Ahmad Pratomo, mengaku pihaknya mendengarkan publik dan tengah melakukan evaluasi.
"Sampai hasil evaluasi selesai, kegiatan olahraga pound fit di stasiun sudah dihentikan," kata Ahmad Pratomo melalui keterangan tertulis, Rabu (23/10).
Pound fit merupakan jenis olahraga yang cara kerjanya memanfaatkan drumstick serta gerakan tari. Mirip dengan latihan aerobik, olahraga ini pertama kali diperkenalkan Cristina Peerenboom serta Kirsten Potenza, mantan penabuh drum asal California, Amerika Serikat, pada 2011 silam.
Fenomena pound fit di stasiun MRT kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah ketersediaan ruang publik di Indonesia belum cukup memenuhi kebutuhan masyarakat untuk berolahraga?
Data Ruang Publik Terbuka di Indonesia
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul 'Statistik Potensi Desa Indonesia 2021', desa/kelurahan di Indonesia yang memiliki ruang publik terbuka mencapai 30,15 persen. Artinya, baru ada 25.356 desa/kelurahan yang memiliki ruang publik terbuka dari total 84.096 desa/kelurahan di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut BPS, ruang publik terbuka adalah lahan umum yang utamanya diperuntukkan sebagai tempat berkumpul warga untuk bersantai serta bermain tanpa perlu membayar. Ruang publik terbuka dapat berupa lapangan terbuka/alun-alun, taman, tempat bermain, dan lain sebagainya.
Publikasi BPS tersebut adalah publikasi yang terbit tiga tahunan. Yang terbaru adalah data tahun 2021 yang diterbitkan pada 2022 lalu. Data yang dihitung BPS bukanlah jumlah ruang publiknya, tetapi banyaknya desa/kelurahan yang tercatat sudah memiliki ruang publik.
Berdasarkan data BPS yang kami olah, persentase kelurahan/desa yang memiliki ruang publik terbuka paling banyak adalah DKI Jakarta (84,27%). Diikuti Kepulauan Bangka Belitung (83,72%), Yogyakarta (74,43%), serta Jawa Tengah (56,45%).
Sementara itu, persentase kelurahan/desa yang memiliki ruang publik terbuka paling sedikit adalah Aceh (7,66%), Sumatera Utara (11,69%), Papua (12,10%), Kalimantan Selatan (13,40%), serta Papua Barat (17,37%).
ADVERTISEMENT
Selain ketersediaan ruang publik terbuka, kami juga mengolah data pusat kebugaran maupun sejumlah lapangan olahraga. Data tersebut dapat dilihat dalam data di bawah ini.
Sebagai gambaran, pusat kebugaran di Aceh cuma mencapai 1,37 persen. Artinya dari 6.514 desa/kelurahan di Aceh, cuma ada 89 desa/kelurahan yang memiliki fasilitas tersebut.
Bagaimana dengan Jabodetabek?
Di Jabodetabek, Kepulauan Seribu memiliki persentase ruang publik terbuka sebesar 100 persen. Artinya, sebanyak 6 kelurahan di sana semuanya memiliki fasilitas ruang publik terbuka. Meski begitu, tidak ada pusat kebugaran sama sekali di kabupaten tersebut.
Adapun kota/kabupaten yang memiliki rasio ruang publik terbuka terendah adalah Kabupaten Tangerang. Di sana, kelurahan/desa yang memiliki ruang publik cuma ada di angka 22,99 persen.
ADVERTISEMENT
Selain ruang publik dan pusat kebugaran, ada fasilitas olahraga lainnya yang turut kami hitung. Detailnya adalah sebagai berikut:
Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Menurut pengamat tata kota, Nirwono Joga, pound fit yang dilakukan di stasiun MRT memang tidak bisa dibenarkan. Menurutnya, hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan penumpang lain.
Meski begitu, kata dia, peristiwa ini semestinya bisa dimanfaatkan Pemprov DKI Jakarta untuk mendorong komunitas-komunitas semacam itu untuk memanfaatkan taman-taman kota.
"Kita tuh punya kurang lebih sekitar 300 loh, 300 taman kota, luar biasa sebenarnya, cuma tidak dioptimalkan," kata Nirwono saat dihubungi kumparan, Jumat (25/10).
Artinya, kata dia, Jakarta tidak kekurangan ruang publik. Menurutnya, yang jadi persoalan adalah kebutuhan komunitas yang tidak difasilitasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, sambungnya, ketika komunitas olahraga mendatangi taman, biasanya ada satpam yang bertanya soal perizinan segala macam. Belum lagi ada oknum yang meminta uang kebersihan hingga uang keamanan.
"Jadi ini juga menurut saya ada kesalahkaprahan ya. Bahwa namanya ruang publik selama itu digunakan untuk kegiatan yang positif, apalagi olahraga, harusnya tidak usah berbelit-belit. Tidak perlu perizinan, tidak perlu segala macam pengawasan ya. Tinggal petugas itu melihat kegiatannya, bedakan mana kegiatan positif mana yang tidak," ungkapnya.
Nirwono menyebut, sejumlah kota/kabupaten penyangga Jakarta memang ada yang belum memiliki fasilitas ruang publik secara mumpuni. Menurutnya, fasilitas ruang publik di Bogor, Depok, Tangerang, mauun Bekasi bisa dikatakan belum memadai.
Padahal, lanjut dia, kota besar seperti Melbourne, Singapura, Vienna, Paris, serta London memiliki banyak ruang publik yang memadai. Kota-kota tersebut kemudian tercatat sebagai kota yang layak huni. Sebab, kata dia, ruang publik memiliki korelasi dengan tingkat kebahagiaan dengan kesehatan fisik maupun mental warganya.
ADVERTISEMENT
"Di ruang publiklah sebenarnya masyarakat, keluarga, terutama anak muda bisa berekspresi. Ini penting karena bagaimanapun juga, ini merupakan semacam kebutuhan dasar," tambahnya.
"Karena ini kita bicara soal kesehatan jasmani dan rohani. Orang bisa melepaskan kepenatan,"pungkasnya.
Reporter Aliya R Putri