Feri Amsari: Bahaya Jika DPR dan Pemerintah Mengabaikan Sidang Rakyat

8 Juni 2020 14:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari Foto: Fitra Andrianto/kumparan
“Kejahatan korupsi terkait UU Minerba itu akan sampai dari hulu ke hilir. Siapa saja pelaku kejahatannya, ada 3. Pertama, pembuat Undang-undang yakni DPR dan pemerintah. Kedua, aparat penegak hukum. Ketiga, adalah pemodal atau investor,” ucap Feri Amsari membuka pernyataannya dalam Sidang Rakyat pada 31 Mei 2020.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat ini menjadi salah satu dari sekian banyak akademisi yang berbicara di Sidang Rakyat. Ia menyoroti betul bagaimana bahayanya jika sebuah undang-undang cacat dalam proses pembentukannya.
“DPR, kalau kita baca peta pembentukan undang-undang, sedang memanfaatkan situasi dan keadaan (pandemi) untuk memburu dan mengejar ketertinggal pembentukan undang-undang yang dipermasalahkan oleh publik,” ucapnya kemudian. Ia memberi contoh UU KPK yang tetap melenggang disahkan meski gelombang demonstrasi menolak aturan tersebut berlangsung secara massif hingga menelan nyawa. Menurutnya, DPR dan pemerintah telah sengaja mengabaikan aspirasi publik sejak saat itu.
Itu semua, lanjut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, juga menunjukkan peran penting sistem presidensil yang tidak dijalankan oleh presiden saat ini. “Jika Presiden mendengarkan kepentingan publik, maka tidak akan pernah ada undang-undang yang bisa dibahas di DPR kalau Presiden tidak setuju atau merasa kepentingan publik dilukai. Jadi presiden tidak bisa menghindarkan dirinya dari tanggung jawab,” papar Feri kemudian.
Seharunya setiap proses pembentukan undang-undang yang jelas menyangkut kepentingan orang banyak melibatkan partisipasi publik. “Tetapi para pembentuk undang-undang sering mengakali prinsip partisipasi itu dalam banyak bentuk.” Setelahnya ia menyoroti korupsi kekuasaan yang kemudian melibatkan penegak hukum hingga pengaruh pengusaha-pengusaha besar.
Feri hanya salah satu dari banyak akademisi yang turut berbicara di Sidang Rakyat dan berani dengan lantang mengkritik kinerja DPR. Berikut pandangan dia terkait Sidang Rakyat dan bagaimana posisi konsep baru pengorganisasian masyarakat ini bisa menjadi satu kekuatan.
Bagaimana awal mula keikutsertaan Anda dalam Sidang Rakyat?
Saya ditawari untuk memberikan pandangan terkait dengan UU Minerba di Sidang Rakyat karena beberapa hari sebelum itu saya sudah membaca pengumumannya di media sosial dan sepertinya itu bagus, apalagi diinisiasi oleh teman-teman yang merupakan organisasi masyarakat sipil yang sangat dipercaya publik. Nah begitu ditawari, tentu saja saya terima.
Ide dan gagasannya brilian menurut saya untuk memperlihatkan kepada pemerintah dan DPR bahwa rakyat sebenarnya bisa menginisiasi diri mereka sendiri untuk menentukan apa yang mereka inginkan dan bagaimana seharusnya sebuah peraturan perundang-undangan itu dibentuk. Nah itu yang membuat saya tertarik untuk terlibat.
Bagaimana posisi Sidang Rakyat dalam tata negara? Apakah mereka punya kekuatan hukum untuk mendelegitimasi UU Minerba yang sudah disahkan DPR?
Untuk tahap awal tentu saja tidak bisa (mendelegitimasi aturan yang sudah disahkan). Secara formalistik tidak mungkin karena undang-undang yang ada tidak mengkonsep referendum seperti itu. Kecilnya itu kan seperti referendum ya, rakyat menentukan nasib mereka sendiri secara bersama-sama. Nah untuk skala kecil seperti saat ini memang belum menjadi concern politik. Mekanisme itu tentu tidak akan mengikat siapa-siapa.
Tetapi itu sebagai sinyal bahwa publik sudah punya mekanismenya sendiri untuk mengemukakan pandangan dan menentukan sikap. Mestinya secara politik, para politisi berhati-hati ketika tidak menjalankan kehendak publik. Karena lama kelamaan konsep itu akan membesar. Begitu dia membesar dia akan menjadi kekuatan tersendiri, bahkan bukan tidak mungkin diformalitaskan.
Karena di dalam konsep hukum kajian tata negara, pola-pola seperti itu sudah berabad-abad lalu diterapkan. Nah apa yang dilakukan oleh teman-teman Sidang Rakyat menurut saya itu adalah langkah yang menarik, yang secara kajian hukum tata negara ada patokannya. Tinggal saat ini bagaimana para politisi menilai pergerakan itu.
Yang saya khawatirkan bila antara politisi dan pergerakan semacam sidang rakyat ini tidak selalu menyambung kepentingannya, maka lama kelamaan publik akan membangun polanya sendiri dalam menyalurkan aspirasi. Nah pada titik itu tentu lembaga-lembaga formal seperti DPR dan lainnya akan kehilangan legitimasi dengan sendirinya.
Makanya bukan tidak mungkin pola ini kalau terus dilanjutkan akan menjadi kekuatan tersendiri dan bukan tidak mungkin akan diformalistikkan di masa depan.
Putusan Sidang Rakyat pada 1 Juni 2020 Dok. YLBHI
Kekuatan hukum seperti apa yang bisa dimiliki oleh Sidang Rakyat atau semacam People’s Tribunal ini?
Bukan hanya bisa membatalkan satu undang-undang, memberhentikan anggota DPR juga bisa. Kalau di dunia kajian hukum tata negara modern disebut sebagai Californian Model of Democracy di mana mereka bisa memecat perwakilannya, representasinya. Jadi jangankan hanya undang-undang, pembuatnya saja bisa diberhentikan.
Ini berarti tahapan awal. Lalu kelanjutan Sidang Rakyat ini akan seperti apa?
Kalau secara informal kan sebenarnya secara gaung dan kekuatan daya jelajah politiknya menurut saya sudah cukup kuat ya. Tapi tentu kekuatan formalistik menjadi sangat penting karena itu yang mengubah sesuatu. Kalau disebut apakah ini langkah awal, yaa bisa saja. Kalau publik terus kecewa dengan para wakilnya, bukan tidak mungkin (menjadi kekuatan formal).
Sekarang ini kan konsep perpolitikan kita kan didominasi oleh pemilik partai. Ketua partai dan lain-lain. Bukan tidak mungkin itu akan menimbulkan kekecewaan untuk meminta partai bekerja betul-betul untuk publik. Atau publik sendiri yang akan mengambil alih pola penentuan kebijakan. Karena kalau dilihat kan selalu ada siklus yaa, perputaran mengenai konsep ketatanegaraan.
Apa yang dilakukan oleh teman-teman Sidang Rakyat itu mestinya memberikan kesadaran kepada wakil kita untuk mengubah tata cara pola politik mereka yang tidak berpihak kepada publik. Ada baiknya mereka untuk mempertimbangkan untuk bagaimana bisa menampung aspirasi publik dengan baik sehingga publik tidak perlu lah membuat sidang seperti ini sebagai bentuk kritik atau penentangan terhadap langkah-langkah yang salah yang dilakukan anggota DPR.
Bahaya UU Minerba. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Bagaimana jika Sidang Rakyat ini terus diabaikan oleh para anggota DPR, politisi, dan pemerintah?
Tentu saja kalau DPR tidak punya kesadaran, partai politik tidak punya kesadaran melihat perspektif politik, apa yang terjadi dengan sidang rakyat tentu saja akan diabaikan. Tapi sebagai sebuah cikal bakal, ini perlu mereka berhati-hati melihatnya. Jangan sampai tingkat kepercayaan publik kepada anggota DPR yang telah rendah akhirnya publik mencoba mencari cara untuk kemudian menjadi hal yang paling tepat untuk menentukan kebijakan publik.
Nah kan ini kan bisa kita lihat, satu lembaga formal yang diatur dalam undnag-undang tapi tingkat kepercayaannya rendah, mereka kemudian dianggap sebagai masalah. Di satu sisi timbul pola baru yang belum formal, atau masih informal dan tidak bisa digunakan sebagai sandaran yang absah tetapi di-support oleh publik. Saat semakin turunnya tingkat kepercayaan kepada lembaga formal, lalu meningkat kepada lembaga yang informal (akan ada mekanisme baru).
Orang bisa mewakili diri mereka sendiri. Nah lalu lama kelamaan orang berpikir, kita bentuk saja lembaga perwakilan agar kemudian apa yang kita inginkan bisa terwakilkan dan jumlah publik kan semakin besar, oleh karena itu kan tidak mungkin mewakili diri mereka sendiri. Sekarang zaman sudah berubah. Sekarang dengan handphone orang bisa hadir dalam setiap rapat yang ada. Oleh karena itu memang harus diwaspadai oleh anggota DPR. Publik semakin pintar, semakin aware, teknologi semakin maju, mestinya DPR juga betul-betul mampu mendekatkan dirinya kepada publik agar keinginan dan kepentingan publik itu bisa mereka salurkan.
Bagaimana caranya agar Sidang Rakyat ini memiliki kekuatan hukum?
Tentu kalau Sidang Rakyat ini mau menjadi kekuatan formal harus berubah Undnag-undang Dasar 1945, berubah sejumlah undang-undang. Nah itu kan bagian dari proses, tidak ada satu pun di muka bumi ini yang tidak bisa diubah kan. Oleh karena itu dalam banyak kajian tata negara, dalam siklus perubahan konsep keterwakilan itu, apa yang dilakukan oleh Sidang Rakyat itu sudah pernah dilakukan ratusan tahun yang lalu sebagai lembaga formal.
Aksi Tolak UU Minerba di Gedung DPR, 12 Mei 2020. Foto: Dok. Walhi
Jadi siklusnya mesti dipahami oleh anggota DPR sehingga mereka tidak memandang rendah sidang itu. Jadi jangan mereka memandang bahwa itu sekadar rakyat sedang berkumpul, marah dengan kita, kita lanjutkan saja kepentingan bisnis ini karena apa yang mereka lakukan itu bukanlah sebuah hal yang formal yang mengikat siapapun. Jangan begitu melihatnya.
Kan mereka orang politik, melihatnya harus dari segi politik. Tidak hanya sekadar dari segi hukum, mereka harus membaca itu sebagai kekecewaan publik yang sudah berubah.
Sebagai sidang tandingan dari sidang yang dilaksanakan DPR, apakah Sidang Rakyat cukup memenuhi asas keterwakilan?
Sebagian besar keterwakilan yang kemarin itu berasal dari publik yang kecewa dengan elitenya, pembentukan peraturan perundan-undangan, dan undang-undang yang dihasilkan juga hanya untuk kepentingan elite. Nah, kalau sebagai perwakilan kehendak di luar kepentingan elite (berarti kepentingan masyarakat banyak), tentu saja sudah terwakili. Ini berhadap-hadapan ya. DPR mewakili kepentingan elite, Sidang Rakyat mewakili kepentingan rakyat banyak di luar elite itu.
Nah sebagai perwakilan non-elite, saya pikir itu sangat proporsional, sangat representatif, mewakili banyak kepentingan rakyat di luar kepentingan elite yang diperjuangkan DPR selama ini.
Hasil Sidang Rakyat kemarin bisa jadi modal untuk mengambil langkah hukum berikutnya?
Sebagai alat bukti di MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa publik mengkritik dan melibatkan banyak orang dengan berbagai keragaman aspirasi, menurut saya tentu saja bisa saja. Tinggal MK melihatnya seperti apa, apakah masih kuno perspektifnya atau sudah maju dengan melihat perkembangan zaman dan bagaimana publik menyalurkan aspirasi.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.