Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ibu bumi wis maringi (Ibu bumi sudah memberi)
Ibu bumi dilarani (Ibu bumi disakiti)
Ibu bumi kang ngadili (Ibu bumi akan mengadili)
La ilaa hailallah, al malikul haqul mubin, muhammad darasulullah
Jelang penutupan Sidang Rakyat yang digelar sejak 29 Mei hingga 1 Juni, kidung tersebut kembali mengalun dari Kendeng. Nyanyian para ibu-ibu petani yang dijuluki sebagai Kartini Kendeng itu menutup sidang rakyat yang baru pertama kali digelar di Indonesia.
“Mohon Mbak Puan cabut Undang-undang Minerba, wong cilik tidak ada yang setuju Undang-undang Minerba. Buktikan partainya wong cilik dengan mencabut Undang-undang Minerba!” ucap Sukinah, salah satu petani yang tergabung dalam Sedulur Kendeng, lantang.
Selanjutnya, sidang yang diinisiasi oleh Koalisi Bersihkan Indonesia—gabungan organisasi masyarakat sipil yang fokus mendorong perubahan kebijakan energi, ekonomi, dan lingkungan—membacakan enam poin putusan hasil sidang yang digelar selama empat hari berturut-turut itu.
Menyatakan bahwa sidang paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020 tidak kuorum dan koruptif.
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat
Digelar selama empat hari secara daring, Sidang Rakyat menantang Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang dinilai semena-mena dalam mengesahkan Undang-undang Minerba. Sidang ini dimulai dari pembacaan pandangan umum, pembacaan pandangan per wilayah mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua, kemudian pembacaan pandangan umum Sumatera dan Jawa, hingga penutupan.
Sidang ini dipimpin oleh 10 orang perwakilan dari berbagai jaringan organisasi lingkungan, diikuti oleh 64 peserta, dan 9 akademisi. Puluhan peserta itu mewakili berbagai kelompok masyarakat mulai dari warga di lingkar tambang, korban konflik tambang, petani, nelayan, masyarakat adat, mahasiswa, hingga pemuka agama. Mulai dari korban lumpur Lapindo, korban konflik PLTU Mpanau, Sedulur Kendeng, korban konflik Tumpang Pitu, putri Salim Kancil, korban konflik Urut Sewu, dan puluhan warga terdampak lainnya.
Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah, pernyataan para korban konflik tambang tersebut merupakan suara-suara yang selama ini tidak pernah didengar oleh DPR dalam memutuskan suatu regulasi yang berdampak luas. “Kalau Sidang Paripurna DPR itu kan tertutup, tidak ada satu pun warga yang diundang bicara oleh DPR. Mana warga lingkar tambang yang diajak bicara oleh mereka?” ucapnya. “Harusnya kan rakyat jangan ditinggalkan.”
Sidang pembahasan UU Minerba sendiri di DPR menjadi polemik sejak awal. Semula aturan ini dinilai tidak memenuhi syarat sebagai rancangan aturan yang bisa di-carry over (dilanjutkan pembahasannya oleh anggota DPR periode baru). Namun kemudian masuk program legislasi nasional bahkan panitia kerjanya dibentuk pada pertengahan Februari 2020 dipimpin Bambang Wuryanto dari PDIP.
Pada awal April, Komisi VII DPR RI sempat menunda rapat kerja dengan pemerintah yang diagendakan pada 8 April untuk pembicaraan/pengambilan keputusan tingkat I. Hal tersebut sesuai isi surat Menteri ESDM untuk menunda rapat kerja terkait penanganan COVID-19 dan masih perlunya pemerintah melakukan sinkronisasi antarkementerian yang dikoordinasikan Menko Perekonomian.
Namun pada 11 Mei 2020, aturan tersebut disepakati DPR-pemerintah dan dibawa ke Sidang Paripurna esok harinya. Selama itu tercatat hanya dua kali rapat dengar pendapat digelar, yakni bersama ahli hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan anggota DPD RI. Tak ada sama sekali agenda mendengar pendapat dari rakyat korban konflik tambang.
Belum lagi persoalan pembahasan aturan baru soal minerba itu dilakukan di tengah situasi pandemi ketika masyarakat fokus menjaga kesehatan, kebutuhan pangan sehari-hari, dan ekonomi yang morat-marit saat banyak orang kehilangan penghasilan atau pekerjaan.
“Sidang Paripurna DPR telah menghina kedaulatan rakyat, telah merampas keselamatan rakyat, tidak aspiratif, tidak melewati proses yang partisipatif bahkan melalui cara-cara yang tidak beradab dan tidak bermoral karena diselenggarakan dalam situasi pandemi coronavirus,” ucap Merah dalam pembukaan sidang rakyat tersebut.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menilai bahwa warga yang berbicara di Sidang Rakyat pekan lalu memiliki legitimasi langsung. “Karena mereka adalah stakeholder langsung yang suaranya harus didengar. Kalau ditanya, sidang ini untuk kepentingan rakyat yang mana? Untuk rakyat yang memperjuangkan ruang hidupnya,” kata Hindun.
Akumulasi suara-suara rakyat yang kerap diabaikan oleh DPR dan pemerintah ini kemudian mewujud dalam bentuk sidang tandingan, sebab DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dirasa tak lagi berfungsi mewakili kepentingan rakyat dan dianggap hanya mengakomodasi kepentingan pemilik partai dan pengusaha.
“Ini merupakan sejarah bagaimana rakyat merasa tidak diwakili oleh DPR dan kemudian melakukan sidang tandingan. Itu menurut saya suatu bentuk delegitimasi terhadap Sidang Paripurna DPR dan seluruh pranata kekuasaan,” ujar Merah yang selama ini mendampingi korban konflik tambang.
Bentuk sidang rakyat atau biasa disebut juga sebagai people’s tribunal di berbagai negara lain ini dinilai sebagai pengejewantahan langsung kedaulatan rakyat. Landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Sidang ini juga merupakan salah satu bentuk hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945.
Meski begitu, sidang rakyat secara formal tak memiliki legitimasi apa pun sebab belum ada aturan baku dalam hukum di Indonesia. “Secara formal dia tidak punya kekuatan hukum, tapi secara moral—sebetulnya itu yang kami sasar—banyak sekali pesan yang disampaikan dan mereka yang langsung terdampak menolak UU Minerba,” papar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang juga tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia.
Menurutnya, ada lubang kosong dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu kurangnya pengaturan demokrasi langsung. “Kita sudah meratifikasi kovenan hak sipil dan politik; di dalam penjelasan umumnya dikatakan bahwa demokrasi perwakilan tidak menghapus demokrasi rakyat secara langsung.”
Hal tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk hak veto rakyat (hak membatalkan). “Dia bisa memveto kebijakannya, tapi juga bisa me-recall (menarik) si wakil rakyatnya,” papar Asfin. Hal itu dibutuhkan sebab selama ini hanya partai yang bisa menarik anggotanya dari parlemen. “Dulu kan kita pilih partai, sekarang kita memilih orangnya langsung. Maka harusnya hak veto itu dari pemilih, bukan dari partai.”
Urgensi atas perubahan itu tampak kian mendesak setelah berkali-kali DPR abai atas penolakan masyarakat terhadap berbagai kebijakan. Paling segar di ingatan adalah revisi Undang-Undang KPK melenggangg begitu saja meskipun protes dan demonstrasi terjadi berhari-hari di berbagai penjuru wilayah di Indonesia. Ditambah lagi kini pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja yang masih terus lanjut dibahas meski suara-suara penolakan nyaring terdengar di mana-mana.
“Banyak kebijakan-kebijakan yang meskipun ditolak oleh publik luas tapi melenggang begitu saja. Artinya partisipasi publik yang diatur dalam undang-undang itu hanya dilakukan secara formal (tidak substantif),” imbuh Asfin.
Hingga hari ini tak ada anggota DPR yang mau memberikan tanggapan terkait pelaksanaan sidang rakyat. Ketua Panja UU Minerba, Bambang Wuryanto, mengelak dengan berkata tidak nyaman membicarakan hal penting seperti itu melalui telepon. Politisi PAN Eddy Soeparno pun menolak bicara sementara waktu karena itu adalah isu sensitif, namun rencana wawancara tatap muka sedang dijadwalkan kemudian. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto tidak bisa dihubungi sama sekali.
Setelah Sidang Rakyat
“Hasil sidang rakyat itu bisa menjadi acuan berbagai tindakan,” ucap Merah. Tindakan berikutnya bisa berupa upaya hukum, politik, atau bahkan penolakan secara langsung di lapangan. “Upaya hukum juga tidak hanya judicial review; rute hukum banyak—bisa pidana, tata usaha negara, perdata, dan banyak lagi. Konsepnya bisa citizen law suit atau gugatan warga negara, legal standing atau gugatan organisasi, bisa class action,” paparnya.
Menurutnya, sidang rakyat juga bisa menjadi landasan moral untuk menolak pelaksanaan aturan tersebut di lapangan, meski ada ancaman represi dari aparat yang berdalih menegakkan hukum. “Di situlah pelanggaran negara karena hukum itu tidak boleh ditegakkan dengan represi. Kalau hukum menggunakan represi, itu sudah tanda-tanda kediktatoran.”
Sementara secara politis, apa yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah bisa dipertanyakan terus-menerus. “Apakah dia tidak menabrak klausul tentang kejahatan kekuasaan, pelanggaran moral, pengkhianatan terhadap rakyat karena mandat yang diberikan digunakan bukan untuk kepentingan rakyat?”
Sementara Hindun melihat bahwa Sidang Rakyat ini lebih dari sekedar menggugat materi undang-undang. “Ini menunjukkan ada distrust (ketidakpercayaan) yang sangat besar terhadap wakil-wakil yang dipilih melalui proses demokratis. Sedemokratis apa proses tersebut?” ujar Hindun.
Tak ayal lagi Sidang Rakyat menunjukkan dengan gamblang adanya permasalahan yang jauh lebih sistematis dalam sistem demokrasi Indonesia yang telah dijajah oleh oligarki. “Sidang Rakyat ini harus dilihat sebagai perjuangan yang lebih fundamental.”
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.