Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
“Banjir” dan “Jakarta” bagai kembar identik. Banjir Jakarta adalah persoalan ratusan tahun yang tak kunjung menemukan muara penyelesaian.
Sedari malam hujan membasahi Jakarta. Langit hanya memberi jeda barang sejam-dua jam agar air yang ia turunkan bisa terserap bumi atau mengalir di tanah. Itu waktu yang teramat singkat untuk luasan tanah yang terlampau sempit.
Lahan di Jakarta yang mampu menampung curahan air dari langit hanya seluas 9,47 persen dari 661,5 kilometer persegi kota itu. Padahal, menurut Undang-Undang Penataan Ruang, setiap daerah minimal mesti menyediakan ruang terbuka hijau—yang mampu menyerap air— seluas 30 persen dari total wilayah.
Sejak dulu, ketersediaan RTH memang selalu jadi problem Jakarta—ibu kota negara dengan pembangunan gencar yang tak usai-usai. Alhasil, hujan jatuh di atas jalanan beraspal dan beton-beton yang kokoh tak memberi tempat bagi aliran air.
Tak heran Jumat itu, 24 Januari 2020, sebanyak 54 area di Jakarta digenangi air setinggi mata kaki sampai lutut orang dewasa, sehingga mengubah Underpass Gandhi di Kemayoran, Jakarta Pusat, menjadi kolam sedalam 2,5 meter.
“Kawasan itu berada dalam kewenangan Sekretariat Negara, tapi Pemprov DKI Jakarta ikut membantu untuk pastikan bahwa (banjir) itu bisa tuntas segera,” kata Gubernur Anies Baswedan kepada awak media di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, dua hari kemudian, Minggu (26/1).
Ucapan Anies itu dijawab Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, dalam siaran pers di hari yang sama. “Jangan hanya karena ada area yang kewenangannya ada di Sekretariat Negara, jadi Pemprov DKI hanya membantu. Memang sepatutnya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI, bukan hanya sekadar membantu,” kata Heru yang juga mantan Walikota Jakarta Utara itu.
Saling tuding itu bukan kali pertama. Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyebut bahwa banjir Jakarta terjadi akibat keterlambatan Pemerintah Provinsi DKI dalam membebaskan lahan yang akan dinormalisasi. Akibatnya, normalisasi sungai, terutama Ciliwung, baru berjalan separuh atau sekitar 16 kilometer dari target total 33 kilometer.
Anies lantas menjawab dengan menyinggung pengendalian banjir di hulu. “Selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir, termasuk Jakarta, tidak akan bisa mengendalikan airnya,” balas Anies.
Lempar pernyataan terus berlanjut. Bupati Bogor Ade Yasin ikut bereaksi. Ia berkata, “Saya bukan avatar (yang bisa mengendalikan air).”
“Banjir” dan “Jakarta” memang begitu lekat. Ini persoalan berumur ratusan tahun yang tak kunjung menemukan muara penyelesaiannya. Padahal, kebijakan penanggulangan banjir tak kurang banyak. Terdapat berbagai rencana induk seperti Master Plan 1913, Master Plan 1965, Master Plan 1973 (for Drainage and Flood Control of Jakarta), Master Plan 1997 (for Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek), hingga terakhir program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development 2014.
NCICD yang terbaru itu mencakup pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi yang berfungsi sebagai retensi atau pengendali air dari hulu; normalisasi Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Krukut, Angke, serta Sunter; dan pembangunan tanggul laut di utara Jakarta.
Untuk semua proyek NCICD tersebut, terdapat pembagian tugas antara pusat dan daerah. Pembebasan lahan dibebankan kepada pemerintah daerah, sedangkan pembangunan fisik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
“Sampai awal tahun ini, progres fisiknya sudah 45 persen untuk dua bendungan tadi. Lalu pembebasan lahan masih tersisa kurang lebih 9-10 persen. Kami juga mendorong pemkot dan pemkab di daerah hulu untuk mengendalikan konversi ruang mereka. Jangan lagi ada pembukaan lahan yang akan mengubah koefisien air limpasan,” ujar Staf Khusus Kementerian PUPR Firdaus Ali di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (23/1).
Sementara Pemprov DKI Jakarta bertugas menata sistem drainase, memperbesar kapasitas tampung ruang terbuka biru, memperbarui kualitas dan kuantitas pompa, serta menambah ruang terbuka hijau dan ruang resapan melalui sumur resapan atau biopori.
Hingga awal 2020 ini, proyek “normalisasi” dengan cara membeton kanan kiri sungai dan membangun jalan inspeksi di sampingnya, baru terlaksana separuh.
Laporan Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR pada 8 Januari 2020 menyebut, normalisasi Sungai Pesanggrahan baru selesai 22,6 kilometer dari rencana 42 kilometer; Sungai Angke tersisa 7 km dari target 33,4 km; Sungai Krukut baru berjalan 1,5 km dari total 31 km; Sungai Sunter tersisa 4 km; dan normalisasi Sungai Ciliwung yang membelah jantung Jakarta tersisa 17 km dari rencana 33 km.
“Semua rencana tadi itu bisa dilaksanakan sebaik mungkin. Sampai 2017, setidaknya kita sudah dalam arah yang cukup jelas, tapi kemudian berganti pimpinan di DKI Jakarta. Kebijakan normalisasi tidak mendapat tempat atau dukungan dari Gubernur DKI Jakarta, karena Gubernur mungkin punya program yang lebih menarik untuk ditawarkan, sehingga (normalisasi Ciliwung) terhenti di 16 km,” ucap Firdaus Ali.
Program yang disebut Firdaus Ali “lebih menarik” bagi Gubernur DKI itu yakni naturalisasi sungai. Ini juga salah satu janji kampanye Anies Baswedan pada 2017. Turunannya adalah penerbitan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi. Pergub itu diundangkan pada 1 April 2019.
Berdasarkan konsep tersebut, Anies ingin menghidupkan kembali ekosistem sungai dengan menggunakan bronjong batu kali dan tanaman-tanaman alih-alih beton. Namun, program tersebut dipertanyakan. Konstruksi bronjong batu kali dinilai tak akan cukup menahan laju arus sungai, dan pembebasan lahan harus lebih luas ketimbang lahan untuk normalisasi.
Kementerian PUPR memandang normalisasi lebih ampuh membendung banjir, sebab dapat mengembalikan kapasitas debit air yang dialirkan dengan segera, plus mampu mempercepat aliran air masuk hilir mengingat beban limpahan dari hulu begitu masif dan tak mungkin ditahan.
Sementara naturalisasi—dengan batu-batu kali dan berbagai jenis tanamannya—dianggap pemerintah pusat lebih kepada fungsi estetika
“Kalau difungsikan sebagai pengendali banjir, debit air semasif itu tidak akan mungkin tertahan. Seberapa lama air bisa ditahan dengan konsep naturalisasi itu?” tanya Firdaus Ali.
Di sisi lain, beberapa wilayah di Jakarta seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri yang telah dinormalisasi, tetap kebanjiran pada awal 2020 ini. Itu, menurut Firdaus Ali, karena proyek normalisasi belum seluruhnya rampung.
“Kalau ada yang kemarin mengatakan, ‘Itu sudah dinormalisasi kok tergenang juga?’ Karena baru setengahnya dinormalisasi. Baru sebelahnya, jadi ya jelas (kena banjir). Coba kalau kedua sisinya (lengkap dinormalisasi),” ucap ahli bioteknologi lingkungan Universitas Indonesia itu.
Menengahi perdebatan normalisasi versus naturalisasi sungai, dua minggu setelah banjir menerjang berbagai wilayah di Jabodetabek, Presiden Joko Widodo memanggil kepala-kepala daerah terkait.
“Gubernur (DKI) diminta untuk berkoordinasi dengan gubernur, bupati (daerah sekitar Jakarta) dan pemerintah pusat. Fokus kepada program yang sudah direncanakan. Presiden klir sekali mengatakan, ‘Mau normalisasi mau naturalisasi, tapi itu dikerjakan’,” ujar Firdaus Ali.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Dudi Gardesi Asikin, mengatakan pembebasan lahan untuk proyek normalisasi akan segera dirampungkan.
“Tahun kemarin tertunda karena waktu itu ada beberapa masalah administrasi dan keuangan, sehingga terkendala tidak bisa dieksekusi… Moga-moga dalam waktu dekat ini bisa dieksekusi,” ujarnya kepada kumparan di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (24/1).
Dinas Sumber Daya Air juga tengah menjalankan konsep naturalisasi di beberapa wilayah sesuai Pergub 31/2019. “Di Kali Krapu, dekat Pintu Air Pasar Ikan. Kemudian Waduk Sunter Selatan sisi timur, itu baru sebagian. Di Banjir Kanal Barat yang depan BNI Tower itu. Lalu Waduk Kampung Rambutan dan Waduk Cimanggis. Sila dicek. Itu on going, sudah bisa kelihatan,” ucap Dudi.
Prinsip naturalisasi itu ialah dengan menjadikan area tersebut sebagai tempat parkir air, sekaligus untuk menambah ruang terbuka biru sebagai area resapan air.
“Berdasarkan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), ruang biru itu harusnya 5 persen. Sekarang ini posisinya (di Jakarta) baru 2,5 persen kurang… Maka yang tadinya bentuknya rawa atau semak belukar, itu yang coba kami identifikasi supaya bisa jadi drainase, tampungan buat ketahanan air kita,” kata Dudi.
Persoalan banjir Jakarta tentu saja bukan cuma gara-gara sungai menyempit atau limpahan air dari hulu. Penurunan muka air tanah akibat penyedotan air tanah berlebih juga jadi soal.
Bagaimana air dialirkan ke laut jika permukaan tanah di utara Jakarta terus menurun hingga lebih rendah dari permukaan air laut? Padahal, air—sesuai kodratnya—mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah.
“Gara-gara ngambil air tanah, tanah di Jakarta jadi kempes. Itu masalah yang membuat banjirnya jadi nggak selesai-selesai,” imbuh Dudi.
Lagi-lagi, itu belum semua. Ada lagi problem saluran air atau drainase di Jakarta yang belum seluruhnya mumpuni untuk mengalirkan air. Menurut Dudi, “Desain kriteria (drainase) yang telah kita bikin itu memang di luar kemampuan (kondisi banjir sekarang yang lebih hebat).”
Hal serupa disampaikan Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies yang bergerak di bidang ekologi.
“Tidak berfungsinya drainase secara maksimal karena nggak punya kemiringan yang bisa membuat airnya mengalir lebih cepat, lalu juga masalah sampah yang memenuhi saluran, dan sedimentasi (pengendapan di saluran air),” kata dia.
Kondisi itu diperumit dengan perubahan iklim yang membuat curah hujan ekstrem berlangsung lebih sering sehingga terjadilah banjir masif seperti pada tahun baru kemarin.
“Perubahan iklim meningkatkan intensitas curah hujan. Jadi ada dua hal (penting untuk diperhatikan). Pertama, konversi ruang resapan (menjadi bangunan) memperbesar air limpasan. Kedua, ada dampak perubahan iklim yang memicu anomali cuaca yang bikin curah hujan sangat ekstrem,” kata Firdaus.
Maka, di tengah perubahan iklim dan alih fungsi lahan ibu kota yang tiada henti, banjir Jakarta akan terus jadi bencana ekologis.