Lipsus Ganja Medis

Ganja di Negara Tetangga (3)

4 Juli 2022 10:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ganja adalah salah satu narkotika paling berbahaya di Indonesia. Saking menakutkan, penelitian tentang kemanfaatannya jalan di tempat alias tidak ke mana-mana. Musababnya, ganja dikategorikan dalam narkotika golongan I bersama heroin, kokain, morfin, dan opium yang dilarang untuk penggunaan medis.
Saat riset ganja di RI terganjal regulasi, beberapa negara tetangga di Asia Tenggara telah memanfaatkannya secara medis. Salah satunya Malaysia. Pada November 2021, Menteri Kesehatan Malaysia Khairy Jamaluddin memberi izin impor dan penggunaan produk mengandung ganja untuk kebutuhan medis.
“Dengan mempertimbangkan kualitas, keamanan, dan efektivitas produk, siapa pun yang memiliki bukti ilmiah bahwa ganja dapat digunakan untuk tujuan medis dapat mendaftarkan produk mereka yang mengandung ganja ke Otoritas Pengawasan Narkotika guna dievaluasi dan didaftarkan di bawah Regulasi Pengawasan Obat dan Kosmetik untuk dijual di Malaysia,” kata Khairy, dikutip dari Malay Mail.
Ia menekankan, penggunaan ganja medis akan diawasi ketat. “Ganja diatur dalam Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 Schedule 1 yang membatasi penggunaannya untuk tujuan ilmiah dan pengobatan yang melibatkan produksi, manufaktur, ekspor, impor, distribusi, perdagangan…”
Ganja medis di Israel. Foto: Amir Cohen/Reuters
Diskusi legalisasi ganja medis di Malaysia bermula pada 2018. Ketika itu, aktivis dan publik berang dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Muhammad Lukman. Lelaki 29 tahun itu menjual minyak ganja untuk terapi pengobatan melalui laman medsosnya yang bernama HealTHCare.
Minyak ganja yang mengandung senyawa tetrahidrokanabinol (THC) psikoaktif itu dibanderol seharga USD 10 atau Rp 140 ribu per botol.
Kasus Lukman ini dianggap mengabaikan hak asasi manusia dan merupakan bentuk ketidakadilan dalam hukum Malaysia. Terlebih, Lukman menjual minyak ganja untuk kebutuhan medis, bukan dengan tujuan rekreasi.
Besarnya desakan publik lantas membuat Perdana Menteri Mahathir Mohamad meminta kasus Lukman ditinjau kembali. Pada saat yang sama, pembahasan tentang ganja sebagai alternatif pengobatan makin deras di Malaysia.
Petisi untuk mengkaji ulang kasus Lukman pada September 2018 mendapat dukungan ribuan tanda tangan, termasuk dari berbagai tokoh politik. Sebulan kemudian, Mahathir membatalkan hukuman mati bagi Lukman.
Tanaman ganja di sebuah perusahaan ganja medis Israel. Foto: Amir Cohen/Reuters
Desember 2020, Komisi Obat Narkotika PBB menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia. Kebijakan ini membuat ganja dapat diteliti dan digunakan untuk keperluan medis di berbagai negara.
Ini pula salah satu alasan yang membuat Malaysia akhirnya mengizinkan ganja untuk pengobatan. Bila pasien hendak membeli eceran obat berbahan ganja, ia wajib menyertakan resep dari praktisi medis atau apoteker yang berlisensi A.
Melegalkan ganja medis bukan berarti Malaysia menoleransi penyalahgunaan ganja. Akhir Maret 2022, kepolisian Malaysia menangkap penyanyi nasyid terkenal Yasin Sulaiman karena ketahuan menanam 17 pohon ganja di kondominumnya. Polisi juga menemukan kantong berisi daun ganja seberat 214 gram.
Dilansir Free Malaysia Today, Yasin pun didakwa sebagai pengedar narkoba. Ia dituduh memperdagangkan ganja 214 gram tersebut. Jika terbukti bersalah, Yasin akan dipenjara seumur hidup, bahkan bisa dihukum mati.
Turis antre membeli ganja di toko truk ganja di Bangkok, Thailand. Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
Situasi berbeda terlihat di Thailand. Negeri Gajah Putih ini bukan hanya melegalkan ganja untuk keperluan medis, tapi juga non-medis. Masyarakat di sana bebas menanam dan mengonsumsi ganja dalam takaran tertentu.
Aturan ini diterapkan mulai 9 Juni 2022. Untuk menandai regulasi baru ini, pemerintah Thailand bahkan membagikan 1 juta bibit ganja kepada warga.
Sebelum membebaskan ganja untuk penggunaan non-medis, pemerintah Thailand telah lebih dulu melegalkan ganja medis pada Februari 2019.
Miki Rusindaputra Salman, penerjemah dari penggugat pada sidang gugatan UU Narkotika Thailand pada Oktober 2021, mengatakan bahwa banyak riset terbaru dari berbagai negara yang membuktikan ganja sebagai bahan obat alternatif untuk berbagai penyakit kronis seperti kanker.
“Selain itu, muncul gerakan untuk mendekriminalisasi dan melegalisasi ganja secara global. Di Thailand sendiri, ada permintaan tinggi akan ganja,” ujarnya seperti tertulis dalam dokumen sidang.
Deretan toples berisi ganja di Khaosan Road, destinasi wisata favorit di Bangkok, Thailand. Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
Padahal, Thailand sudah puluhan tahun menerapkan regulasi ketat soal ganja. Ratusan tersangka kasus narkoba di negara itu bahkan dibunuh. Di masa pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada periode 2001-2006, Thailand benar-benar mengampanyekan perang terhadap narkoba, termasuk ganja.
“Ketika itu orang-orang di Thailand harus ke pasar gelap untuk mendapatkan produk ganja yang tidak memiliki kualifikasi. Itu tidak baik bagi warga kami,” kata Miki.
Kini, masyarakat Thailand tidak perlu lagi diam-diam ke pasar gelap. Toko-toko ganja berdiri bebas, dan warga bisa membelinya tanpa takut dihukum.
Namun, bukan berarti Thailand tak mengawasi peredaran ganja, termasuk ganja medis.
Pasien mengonsumsi minyak ganja Thailand. Foto: Reuters/Jorge Silva
Kementerian Kesehatan Thailand membuat pedoman pengolahan ganja untuk ekstrak medis. Ganja medis juga harus melalui resep dokter. Selain itu, ahli kesehatan wajib melaporkan efikasi ganja secara berkala kepada BPOM Thailand.
Terakhir, penggunaan ganja untuk pengobatan menjadi langkah terakhir setelah beragam obat lain tak mempan.
Sementara itu, ganja non-medis juga dimonitor pemerintah. Warga yang ingin menanam bibit ganja harus mendaftar lewat aplikasi Pluk Kan. Melalui aplikasi tersebut, warga yang menanam ganja mendapat informasi dan edukasi tentang pengelolaan tanaman tersebut.
Sandwich daging babi dengan daun ganja di kantin RS Chao Phraya Abhaibhubejhr, Thailand. Foto: Jorge Silva/Reuters
Para pemilik kafe atau kedai yang menggunakan ganja sebagai bahan campuran pada makanan dan minuman yang mereka jual, juga wajib memerhatikan agar kandungan THC—yang bersifat adiktif—pada ganja mereka tidak lebih dari 0,2 persen.
Warga juga dilarang mengisap ganja di sembarang tempat. Artinya, pemerintah Thailand tidak membolehkan ganja untuk tujuan rekreasi.
Sementara itu, negara Asia lainnya, Korea Selatan, mempunyai kebijakan soal ganja yang mirip Malaysia. Pemerintah Korsel melegalkan ganja untuk kebutuhan medis dengan pengawasan ketat sejak 2018.
Ada empat jenis obat berbahan baku ganja yang dapat dikonsumsi pasien di Korsel, antara lain Epidiolex, Marinol, Cesamet, dan Sativex. Konsumsi obat-obat itu harus melapor berkala kepada BPOM Korsel. Obat pun hanya bisa dikirim dari Seoul meski pasien berada di lokasi yang sangat jauh.
Ganja medis di Israel. Foto: Amir Cohen/REUTERS
Total ada lebih dari 40 negara yang telah melegalkan ganja medis. Hal ini terutama amat familier di Eropa. Beberapa negara di Eropa yang melegalkan kanabis untuk kebutuhan medis antara lain Italia, Portugal, Swiss, Jerman, dan Inggris.
Stephen Rolles, analis kebijakan senior Transform Drug Policy Foundation, sebuah badan amal berbasis di Inggris yang bergiat dalam analisis dan advokasi kebijakan obat-obatan, menyatakan bahwa ganja mampu menghilangkan rasa nyeri.
Namun, layaknya obat lain, ganja memiliki efek samping bila disalahgunakan. Itu sebabnya ganja medis di Eropa pun diawasi ketat. Produsen dan konsumen harus tunduk pada aturan yang berlaku.
“Siapa yang dapat meresepkan dan menjual, siapa yang dapat mengakses, bagaimana diproduksi, bagaimana diangkut, disimpan, dijual, semua dilengkapi informasi [sebagai regulasi],” kata Stephen saat menjadi ahli pemohon dalam sidang gugatan UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi untuk perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020.

Pasien Bisa Lari ke Negara Tetangga

Bertahun-tahun industri kesehatan RI tertinggal jauh oleh negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Banyak pasien Indonesia yang rela merogoh kocek ratusan juta untuk perawatan intensif di negara-negara itu. Ini membuat Indonesia setiap tahunnya kehilangan sekitar USD 11,5 miliar atau Rp 170,2 triliun di sektor kesehatan.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dari Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan melihat ganja medis sebagai peluang bagi industri kesehatan dalam negeri, asal disertai regulasi yang jelas.
“Di Malaysia dan Thailand [ganja medis] sudah legal. Kalau tidak respons cepat, habis kita. Yang legal masuk ke sana, sedangkan kita dapat yang ilegal,” ujarnya.
Pasien-pasien yang membutuhkan terapi ganja medis pun bakal lari ke negara-negara tetangga. Industri ganja medis di Thailand, misalnya, pada 2024 diproyeksikan mencapai Rp 8,5 triliun.
“Duit ilegal [ganja] masuk ke negara kita—orang ditangkapi, penjara penuh. Duit legalnya masuk ke Malaysia dan Thailand,” tutupnya.
Indonesia melarang ganja dalam bentu apa pun, termasuk ganja medis. Ilustrasi: kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten