Ganja Medis Perlu atau Tidak? Ini Data dan Risetnya

5 Juli 2022 15:48 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Santi Warastuti, bersama anaknya Pika, membawa poster tuntutan ganja medis dilegalkan di acara Car Free Day (CFD) Jakarta. Foto: Instagram/@santiwarastutisanti
zoom-in-whitePerbesar
Santi Warastuti, bersama anaknya Pika, membawa poster tuntutan ganja medis dilegalkan di acara Car Free Day (CFD) Jakarta. Foto: Instagram/@santiwarastutisanti
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang ibu bernama Santi Warastuti sempat membuat jagat publik geger, lantaran aksi beraninya membopong sebuah papan bertuliskan 'Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis' dalam kegiatan Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Minggu (26/6) waktu lalu. Bukan tanpa alasan, Santi dan suaminya melakukan aksi tersebut untuk sang anak bernama Pika yang mengidap cerebral palsy.
ADVERTISEMENT
Sudah sejak 2015, Santi dan keluarga berjuang mengobati Pika. Cerebral palsy atau lumpuh otak yang dialami Pika tersebut awalnya karena sang anak seringkali lemas dan muntah-muntah hingga mulai mengalami kejang-kejang. Sampai pada akhirnya dokter syaraf mendiagnosis Pika mengidap epilepsi.
Santi Warastuti, bersama anaknya Pika, membawa poster tuntutan ganja medis dilegalkan di acara Car Free Day (CFD) Jakarta. Foto: Instagram/@santiwarastutisanti
Cerebral palsy merupakan gangguan non-progresif yang menyerang gerakan dan koordinasi otot yang tak biasa. Kasus ini juga menjadi penyebab utama penderita mengalami kecacatan fisik. Tak hanya itu, penglihatan, pendengaran, sensorik, dan motorik juga ikut terpengaruh.
Tapi siapa sangka, salah satu senyawa yang sangat bermanfaat bagi penderita cerebral palsy berada di tumbuhan ganja, cannabidiol (CBD). Ganja memang sudah banyak dilegalkan di beberapa negara di dunia, khususnya untuk kepentingan medis.

Negara-negara yang Legalkan Ganja

ADVERTISEMENT
Beberapa negara di atas tercatat telah melegalkan ganja untuk kepentingan riset dan medis. Meski begitu, negara seperti Argentina, Australia, dan Austria tidak melegalkan ganja untuk penggunaan personal atau rekreasi semata, tetapi bagi mereka yang menggunakan untuk hal itu, nantinya akan didekriminalisasi atau dibawa ke sebuah tempat rehab.
Sementara, Finlandia, Prancis, hingga Jerman melarang penggunaan ganja untuk kepentingan rekreasi. Di Jerman sendiri, penuntutan bisa saja terjadi pada pengguna ganja, tetapi tergantung pada undang-undang federal yang berlaku dan jumlah kepemilikan ganja.
Selain itu, selama penggunaan ganja untuk personal dan tidak sampai merugikan publik, tuntutan atau perkara penggunaan bisa saja tak berlaku di Jerman.
Ilustrasi Ganja Medis. Foto: HQuality/Shutterstock
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh NIH tahun 2007, uji coba klinis dan penelitian pada hewan menunjukkan adanya manfaat ganja medis. Beberapa zat aktif yang dimiliki tanaman ganja, terbukti mampu membantu mengendalikan kejang parsial yang sering menjadi gejala orang-orang dengan cerebral palsy spastic quadriplegia.
ADVERTISEMENT
Studi lain pada 2014 juga menunjukkan bahwa ganja efektif dalam mengurangi kejang otot. Penelitian tersebut memang berfokus pada orang-orang kejang otot yang berhubungan dengan multiple sclerosis.
Ternyata tak hanya cannabidiol (CBD) yang bisa digunakan untuk mengobati penderita cerebral palsy. Masih ada beberapa zat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis.

Zat pada Ganja untuk Medis

Beberapa zat pada ganja seperti cannabidiol (CBD) dan tetrahydrocannabinol (THC) bisa bermanfaat untuk meredakan kejang-kejang. Bahkan, zat cannabigerol (CBG) pada ganja bisa digunakan untuk penderita penyakit glaukoma atau kerusakan saraf mata akibat tingginya tekanan pada bola mata.

Keberhasilan Pengobatan Ganja

Berdasarkan penelitian dari Frontiers in Medicine, dari 4.345 pasien yang memilih melakukan pengobatan ganja, metode tersebut efektif hingga 90,80 persen melakukan pengobatan bagi penderita post traumatic syndrome disease (PTSD).
ADVERTISEMENT
Sementara, untuk penyakit kejang-kejang seperti multiple sclerosis dan epilepsi keberhasilan pengobatan menggunakan ganja mencapai 75-50 persen. Bahkan, salah satu penyakit paling mematikan seperti kanker, keberhasilan pengobatan menggunakan ganja bisa mencapai hingga 63,50 persen.
Penelitian dari US National Academics od Sciences, Engineering, and Medicine (NASEM) tahun 2017 juga membuktikan bahwa ganja mampu memberikan pengobatan secara efektif, salah satunya yakni penyakit multiple sclerosis (MS) atau kejang otot.
Efek yang diberikan zat ganja pada penyakit tersebut, tercatat berhasil mengurangi rasa sakit di bagian neuropati (saraf). Hasil ini diperoleh dari pembuktian 2.454 pasien dengan berbagai penyakit kronis yang secara khusus mendapatkan pengobatan ganja.
Meski banyak zat pada ganja yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit, ternyata tetap akan ada efek samping yang dirasakan oleh pasien saat menggunakan metode pengobatan tersebut.
ADVERTISEMENT

Efek Samping Pengobatan Ganja

Berdasarkan penelitian ganja medis yang dilakukan di Israel, 1.675 orang dari 4.891 orang di antaranya mengalami efek samping. Tak hanya dari segi fisik, tetapi juga kognitif. Jumlah ini setara dengan 34,2 persen.
Dari segi fisik, pasien dengan pengobatan ganja akan mengalami keadaan pusing, mulut kering, mengantuk, nafsu makan bertambah hingga mual. Mereka juga akan merasakan lemas, gula darah drop, sampai muntah.
Sementara, dari sisi kognitif, ganja tetap memiliki efek hampir tak sadarkan diri. Meskipun potensi besarannya masih sangat kecil dibandingkan dengan efek samping fisik lainnya.
Dari 4.891 pasien, misalnya, 208 orang merasakan pikiran-pikiran tak sadar atau 'high'. Besarannya tak terlalu signifikan, lantaran jumlah ganja yang diperlukan untuk kebutuhan medis sangat diperhitungkan dan tak melampaui batas aman yang dianjurkan.
ADVERTISEMENT

Kematian Akibat Ganja

Di Amerika Serikat, kematian akibat penggunaan ganja secara mandiri jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1999 total kematian sebanyak 36 kasus. Namun, hingga tahun 2014, jumlah kematian meningkat 8 kali lipat mencapai 287 kasus. Di sejumlah negara bagian AS, ganja memang diperjualbelikan untuk rekreasi.
Sebelumnya, kumparan sempat menghubungi BNN membahas terkait wacana legalisasi ganja medis. Kabiro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo, menjelaskan bahwa kandungan THC murni dalam ganja sangat adiktif dan menyebabkan kematian. Ia menyebut, salah satu penyebab kematian paling banyak di Amerika Serikat diakibatkan oleh zat THC dalam pemakaian ganja.
"THC murni itu sangat adiktif dan menyebabkan kematian. Bisa dicari di Google bahwa di AS pun banyak sekali kematian karena pemakaian ganja, dalam arti THC," jelas Sulistyo kepada kumparan, Rabu (29/6).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian Benno Hartung (2017) terkait ganja, kandungan THC atau tetrahydrocannabinol memang dibuktikan sangat mematikan bagi manusia. Cukup dengan 30mg/kilo atau setara dengan 2 gram, THC sudah berpeluang 50 persen mematikan seorang manusia dengan berat tubuh 68 kilogram.
Penelitian berbeda dari DEA reports juga menunjukkan hal yang sama. THC yang diperjualbelikan di Amerika Serikat dalam bentuk olesan atau minyak, terbukti mengandung 80 persen atau sepersepuluh dari satu ons THC yang beredar sudah mengandung setengah dosis 2 gram mematikan tersebut. Ini yang menyebabkan kasus-kasus overdosis fatal akibat pemakaian ganja terjadi.

Perjalanan Ganja di Indonesia

Di Indonesia ganja masuk dalam golongan narkotika tingkat I bersama heroin, kokain, morfin, dan opium dalam perundang-undangan narkotika. Artinya, zat tersebut berada di bawah pengendalian yang ketat dan dinilai tak memiliki manfaat medis.
ADVERTISEMENT
Padahal dahulu keberadaan ganja di Indonesia sangat aktif digunakan di wilayah Aceh. Tak hanya sebagai pengobatan, tetapi juga campuran bahan makanan. Berdasarkan laporan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) tahun 2015, beberapa kitab seperti Mujarabat dan Tajul Muluk disebut telah membahas landasan-landasan agama untuk penggunaan ganja secara medis. Dalam kitab itu tertera bahwa ganja dapat mengatasi penyakit 'darah manis' atau dianggap dengan diabetes.
Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) mencabut pohon ganja siap panen saat operasi pemusnahan ladang ganja di Desa Teupin Rusep, Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, Rabu (8/9/2021). Foto: Rahmad/Antara Foto
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga sempat menggolongkan tanaman ganja dalam golongan narkotika tingkat I. Namun, pada Desember 2020, Komisi Obat Narkotika PBB akhirnya menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia. Kebijakan ini membuat ganja dapat diteliti dan digunakan untuk keperluan medis di berbagai negara.
Sementara itu, pemerintah Indonesia kini membuka peluang pembahasan regulasi riset ganja untuk medis. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan perlu diadakannya penelitian terlebih dahulu baru bisa diproduksi khusus untuk layanan medis.
ADVERTISEMENT
“Tahap pertamanya harus ada penelitian, ini bisa dipakai untuk layanan atau produk medis apa. Kalau ini sudah bisa keluar penelitiannya nanti bisa diproduksi, tapi khusus diproduksi untuk layanan medis tersebut,” ungkap Budi kepada pers, Rabu (29/6).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Rabu (23/3/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sebenarnya pembahasan terkait ganja medis di Indonesia ini bukan kali pertama. Sejak 2014, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) telah mengajukan penelitian ganja untuk diabetes ke Kemenkes, tetapi riset tersebut diputuskan untuk tidak dilanjuti pada tahun 2017, karena biaya yang mahal. Hingga saat ini Indonesia masih belum memanfaatkan ganja secara sah untuk keperluan medis.