Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Santi Warastuti mengusap mulut putri sematawayangnya, Pika Sasi Kirana, yang terkulai di kursi roda. Tahun depan, Pika akan berusia 14 tahun—masa keemasan remaja. Namun, Pika tak seperti remaja kebanyakan. Ia mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak , dan menjalani hari demi hari dengan penuh perjuangan.
Di samping ibunya, Pika bernapas berat. Ia batuk-batuk, dan seolah berupaya kuat untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Melihat kondisi anaknya, Santi kembali terisak. Ia terus-menerus didera perasaan bersalah.
“Sebagai ibu, saya merasa enggak bisa jaga dia,” ucap Santi terbata-bata ketika menerima kumparan di rumah kerabat kuasa hukumnya di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (29/6).
Santi tak pernah menyangka putrinya yang tomboi itu mengalami lumpuh otak saat dia duduk di bangku TK. Suatu hari pada tahun 2015, Santi mendapat telepon dari sekolah Pika yang memberitahunya bahwa Pika tampak tak sehat.
Hari itu, Pika tak seperti biasanya. Ia tak mau menulis. Menggenggam alat tulis pun tidak. Santi pun membawanya pulang. Di rumah, setelah beristirahat dua hari, Pika terlihat pulih.
Namun, tak berapa lama, Pika kembali sakit. Kondisi sakit-pulih-sakit-pulih itu terus berulang, sampai suatu hari Pika kejang-kejang. Santi dan suaminya, Sunarta, panik bukan main. Baru pertama kali itu mereka melihat orang kejang—yang nahasnya anak mereka sendiri. Tetangga-tetangga pun sampai ikut geger.
“Tetangga kasih sendok [untuk ganjal mulut Pika]. Itu kali pertama Pika kejang,” kata Santi.
Santi lantas membawa Pika ke IGD salah satu rumah sakit di Denpasar—kota tempat tinggal mereka kala itu. Pika rawat inap satu hari di RS, namun dokter belum memberikan rekomendasi observasi lanjutan.
Barulah setelah Santi membawa Pika ke dokter saraf dan ia melalui pemeriksaan CT scan dan electroencephalogram (EEG), ia didiagnosis mengidap cerebral palsy. Dunia Pika dan Santi langsung jungkir balik.
Pika harus melakukan serangkaian terapi. Sayangnya, ketika itu Santi tak menemukan tempat terapi yang cocok untuk penderita cerebral palsy di Bali. Santi pun memutuskan untuk pulang kampung ke Sleman, Yogyakarta, bertepatan dengan Lebaran 2015.
“Saya lihat di Yogya terapi tumbuh kembang lebih banyak. Jadi saya resign [dari pekerjaan saya di Bali] dan kembali ke Yogya. Suami tetap di Bali untuk bekerja. Salah satu harus resign untuk pegang Pika,” tutur Santi.
Saat itu, Pika tidak bisa lagi berdiri tegak. Ia harus digendong naik-turun pesawat ketika pulang ke Yogya. Santi yang kepayahan pun meminta bantuan petugas bandara untuk membopong Pika.
Setiba di Sleman, keluarga besarnya kaget. Pika sudah nyaris lumpuh. Ia hanya bisa jalan dengan bantuan Santi. Namun, saat itu Pika masih bisa bicara. Lama-kelamaan, kemampuan bicaranya juga ikut hilang seperti kemampuannya berjalan.
Kesulitan berbicara dan berjalan hanya sebagian kecil gejala penderita cerebral palsy. Yang paling ditakutkan Santi adalah kejang atau epilepsi. Begitu kejang, sistem otak Pika terganggu dan ia harus mengulang semua terapi dari awal, dari terapi bicara, berjalan, sampai duduk tanpa alat bantu.
Semisal sebelum kejang Pika telah mampu mengenali suara dan memegang benda, usai kejang seluruh kemampuannya itu lenyap. Semua kembali ke nol. Dan Pika dan Santi harus berjuang lagi dari awal. Terus dan terus berulang seperti itu.
Ganja Atasi Kejang
Dengan kejang sebagai momok, meminimalisir Pika kejang menjadi PR utama bagi Santi. Ia sempat mendapat tawaran dari mantan bosnya, seorang pebisnis mode asal Makedonia di Semenanjung Balkan, untuk mencoba terapi ganja medis bagi Pika.
“Atasan saya itu orang asing. Pas lagi di luar [Indonesia], dia kirimi saya foto botol dan bilang, ‘Santi, di negaraku ini dipakai buat kejang.’ Saya lihat di botolnya ada tulisan Cannabis,” kata Santi, menceritakan pengetahuan pertama yang ia dapat soal ganja medis .
“Saya enggak mau bermasalah dengan Bea Cukai dan negara,” tegas Santi, teringat nasib Fidelis yang dibui ketika nekat menanam ganja demi mengobati istrinya—yang akhirnya meninggal tak lama setelah ia masuk penjara.
Pengetahuan kedua soal ganja medis didapat Santi dari Dwi Pertiwi, seorang ibu di Yogya yang juga mempunyai anak penderita cerebral palsy. Kala itu, Santi membawa Pika terapi di Kampung Musmus Therapy Centre—fasilitas yang didirikan oleh Dwi.
Putra Dwi, Musa Ibn Hassan Perdesen, divonis mengidap cerebral palsy hanya tiga bulan setelah lahir pada 2004. Dua belas tahun kemudian, pada 2016, saat Dwi membawa Musa ke Victoria, Australia, untuk urusan pekerjaan sekaligus berbelanja kursi roda, ia mencoba terapi ganja untuk Musa.
Kebetulan saat Dwi datang ke sana, negara bagian Victoria baru saja melegalkan ganja. Dwi yang sudah mengetahui informasi soal manfaat medis ganja pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Waktu itu bukan [pakai] ganja medis, tapi ganja biasa yang baru legal. Karena cari klinik ganja di Victoria juga susah, beda kayak di Belanda atau California yang sudah establish,” kata Dwi saat berbincang dengan kumparan, Jumat (1/7).
Dimulailah terapi uap ganja untuk Musa saban malam. “Ganja aku taruh di atas dupa, di bawahnya dikasih arang. Tiap hari sebelum tidur. Aku di dalam kamar dan ikut merasakan efeknya,” ujar Dwi.
Terapi uap ganja itu membuat Musa sangat rileks dan tidur nyenyak. Otot-ototnya yang bertahun-tahun kaku meski mendapat perawatan medis, berangsur lentur setelah menjalani terapi ganja.
Lebih lanjut, ini memudahkan Musa untuk mengikuti serangkaian terapi motorik.
“Dulu tangan dia yang kaku kalau diluruskan kan sakit. Tapi dengan ganja, ototnya tuh lemas. Jadi terapi [motorik]nya gampang. Dia juga jadi senang. Saya juga senang karena anak saya tidak kesakitan,” ucap Dwi.
Selain itu, sebelum diterapi ganja, Musa selalu kesulitan mengeluarkan dahak. Saat dia mencoba membatukannya agar pernapasan lancar, ia harus berupaya keras sampai mukanya merah dan makanan yang ia makan ikut keluar. Alhasil, tubuh Musa kurus. Bobotnya turun drastis.
Namun, setelah terapi ganja, ujar Dwi, “Dahaknya langsung keluar ketika batuk. Makanannya tidak ikut dimuntahkan.”
Santi yang mengikuti progres Musa di Australia mengamini. “Perkembangannya sangat signifikan. Kejang Musa berkurang. Dia bisa tidur nyenyak dan lebih rileks.”
Dwi yang semula tak berencana lama di Australia jadi memperpanjang masa tinggalnya menjadi tiga bulan karena kesehatan Musa maju pesat. Ia tak lagi kejang. Ia pun bisa merespons saat namanya dipanggil.
Kandungan cannabidiol (CBD) pada ganja, terutama varietas Cannabis indica, memang dapat meredakan kejang. CBD dengan takaran tertentu bisa mengembalikan fungsi tubuh.
Guru Besar Farmasi UGM Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., mengatakan bahwa CBD tidak bersifat psikoaktif sehingga tidak menyebabkan ketergantungan. Ini berbeda dengan tetrahidrokanabinol (THC), senyawa ganja lainnya, yang menyebabkan kecanduan.
Itu sebabnya CBD menjadi salah satu bahan obat Epidiolex yang berfungsi untuk meredakan kejang otot atau sepasme. Obat tersebut diproduksi di Amerika Serikat dan telah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA).
Namun, ujar Zullies, ganja bukan satu-satunya obat kejang. “Kejang bisa pakai obat anti-kejang seperti diazepam, lorezepam, dan lain-lain. [Ganja] ini salah satu alternatif.”
Bila pasien cerebral palsy tak lagi merespons pengobatan dan terapi konvensional, menurut Zullies, pengobatan dengan cannabidiol bisa jadi pilihan.
Sementara itu, Dwi mengkritik para dokter yang kerap menyebut “banyak obat bagus bisa digunakan untuk pengobatan cerebral palsy”.
“Mereka tidak mengalami [punya anak cerebral palsy]. Aku mengalami lebih dari 16 tahun. Aku menahan perasaan ketika mencekokkan racun (obat) ke anakku sendiri, karena aku tahu [semua obat] ada efek sampingnya,” ujar Dwi, sengit.
“Semakin lama, kebutuhan dosis Musa akan obat-obatan modern itu semakin tinggi. Itu kan berarti nagih tuh, candu. Ada efek jangka panjang. Aku tahu itu akan merusak anakku. Tapi aku tidak punya pilihan karena kondisinya semakin buruk,” ucapnya, kesal bercampur sesal.
Sampai ganja membuat kesehatan Musa membaik. Sayangnya, itu hanya sementara karena Dwi dan Musa harus pulang ke Indonesia.
“Aku harus pulang karena aku cari uangnya di Indonesia,” kata Dwi.
Tanpa uang, Musa jelas tak bisa berobat. Tapi dengan kembali ke Indonesia, Musa harus menghentikan terapi ganja yang berdampak baik bagi kesehatannya. Tak pelak, Dwi bak memakan buah simalakama.
Efek positif ganja bagi Musa masih bertahan enam bulan sejak kepulangannya ke Yogya, sebelum ia diserang kejang lagi. Musa dan Dwi pun kembali ke titik nol.
Musa kembali mengonsumsi asal valproat dan diazepam untuk mengurangi kejangnya. Namun, dosisnya naik dari 2,5 miligram menjadi 5,5 miligram per hari. Intensitasnya pun meningkat dari 2 kali menjadi 3 kali sehari.
Sudah begitu, peningkatan frekuensi pemberian obat ternyata merusak paru-paru Musa. Dan semua obat-obatan itu tak kuasa menghentikan kejang Musa seperti yang berhasil dilakukan terapi uap ganja.
Itu baru soal obat, belum lagi terapi. Sejak kejangnya kembali, Musa harus intens menjalani fisioterapi dua sesi per hari dengan tiap sesinya berdurasi dua jam.
“[Biaya terapi] paling murah Rp 150 ribu. Dalam sebulan berarti Rp 150 ribu kali 30 hari,” kata Dwi.
Jika dihitung-hitung, Dwi harus merogoh kocek Rp 12 juta-15 juta per bulan untuk semua pengobatan dan terapi Musa.
“Obat mahal, terapi juga mahal. Support pemerintah [untuk pengobatan] hanya sampai anak berumur 15 tahun, setelah itu bayar sendiri,” ujarnya.
Hingga akhirnya, akhir 2020 di tengah pandemi, Musa berpulang ke pangkuan Yang Kuasa.
“Dia sudah kehabisan tenaga. Dikasih makan, dimuntahkan. Obat juga dimuntahkan. Semua dimuntahkan,” ujar Dwi dengan suara tersendat.
Ketika itu, Dwi yang mencoba mengupayakan berbagai pertolongan akhirnya memeluk Musa sambil berkata, “Sudah, Mami enggak telepon dokter. Mami enggak nyuapin lagi. Mamin enggak cari ambulans. Kalau Musa mau pergi, mami antar.”
Musa pun meninggal dalam dekapan ibunya pada usia 16 tahun—usia yang sama dengan Pika kini.
Santi berharap ganja medis dapat memperpanjang harapan hidup Pika.
Ketakutan Santi amat beralasan. Setiap hari, kondisi putrinya tak jua membaik, malah kian memburuk. Bermacam obat yang ia masukkan ke tubuh Pika pun tak dapat membantunya mengurangi kejang.
Obat-obatan yang dikonsumsi Pika sehari-hari antara lain fenitoin, asam valproat, dan Stesolid yang mengandung diazepam. Ketiganya berfungsi untuk mencegah dan meredakan kejang. Namun, dampaknya tak signifikan.
“Minum obat kejang 7 tahun dan masih terus kejang, apakah efektif? Tujuh tahun loh, bukan tujuh hari,” kata Santi, getir.
Dari berbagai obat itu, hanya satu yang setiap bulannya dikover BPJS. Sementara sisanya dengan biaya sendiri, dengan harga Rp 50.000-55.000 untuk sekali pakai.
Biaya obat itu masih ditambah pengeluaran untuk fisioterapi, akupuntur, perawatan di rumah (home care), dan terapi Platelet-Rich Plasma. Terapi PRP dilakukan dengan menyuntikkan sel darah ke area tubuh tertentu untuk memperbaiki kondisinya.
“Darah saya diambil dan disuntikkan ke punggung Pika. Dua minggu sekali. Untuk terapi PRP ini, sekali infus Rp 1 juta,” ujar Santi.
Hanya terapi akupuntur yang bebas biaya. Itu bukan karena dikover negara, tapi karena dokternya tidak ingin lebih membebani Santi.
“Alhamdulillah, Dokter Eva di RS Wirosaban (RS Jogja) seperti malaikat. Dikasih free buat Pika,” ucap Santi.
Menuntut Ganja Medis
Santi, Dwi, dan ibu lain yang memiliki anak pengidap cerebral palsy menggugat Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada 2020. Mereka menuntut ganja dikeluarkan dari narkotika golongan I yang membuatnya tak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
Hingga kini, MK belum mengeluarkan putusan atas gugatan ini. Sampai akhirnya Santi habis kesabaran. Ia dan Pika berangkat ke Jakarta dengan berbekal papan berkanvas besar bertuliskan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS”.
Mereka berdiri di tengah massa saat Car Free Day di Bundaran HI pada Minggu pagi (26/6) dan bertemu penyanyi Andien—yang membuat aksi itu viral dan mendapat perhatian luas.
“Saya enggak mau ulur waktu lebih lama. Takutnya [putusan MK] mundur terus dan anak saya lebih lama [menderita]. Saya ingin anak saya sehat dan punya kualitas hidup lebih baik. Panjang jalan harus saya tempuh, dan saya minta bantuan pihak terkait,” kata Santi.
Sampai hari ini, ia belum pernah memberikan ganja kepada Pika meski ingin. Ia masih berharap pemerintah mau mendengar dan setidak-tidaknya meneliti tentang ganja medis.
Santi bahkan menolak bantuan untuk membawa Pika ke Thailand guna mendapat pengobatan ganja. Alasannya: ia tidak hanya berjuang untuk putrinya, tapi juga anak-anak lain yang juga mengidap cerebral palsy.
“Kalau hanya menyelesaikan masalah satu Pika, bagaimana dengan Pika-Pika yang lain?” ujar Santi, berkukuh.
Institute for Criminal Justice Reform yang turut menggugat UU Narkotika bersama Santi dan Dwi mendeteksi persoalan fatal dalam undang-undang tersebut, yakni filosofi dalam regulasi yang saling bertabrakan.
“Indonesia seperti negara lain yang tidak kuat dalam sains. Kalau ada narkotika baru yang tidak diketahui, dimasukkan ke golongan I. Kalau bisa dibuktikan jadi obat, baru pindah golongan. Padahal riset narkotika untuk obat tidak bisa bila masuk golongan I,” papar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu.
Singkatnya, penelitian tentang kemanfaatan medis ganja akan selalu terhalang regulasi.
Jadi, sebetulnya ganja lebih berat ke mana? Khasiatnya atau maksiatnya? Simak laporan berikutnya: