Geger Keraton Yogyakarta, Melihat Sejarah Pewaris Takhta

26 Januari 2021 15:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik simbol keraton Yogya Foto: Twitter @kratonjogja
zoom-in-whitePerbesar
Polemik simbol keraton Yogya Foto: Twitter @kratonjogja
ADVERTISEMENT
Hubungan internal Keraton Yogyakarta jadi sorotan setelah digantinya dua pangeran rayi dalem dalam jabatan struktural Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Adalah GBPH Prabukusumo (Gusti Prabu) dan GBPH Yudhaningrat (Gusti Yudha) yang dicopot dari struktural Keraton sebagai Penghageng atau kepala di Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya dan Parwabudaya, Mereka diganti oleh putri-putri Sri Sultan.
Mereka dicopot lantaran sudah tidak aktif sejak 2015. Di sisi lain baik Gusti Prabu maupun Gusti Yudha mengakui sudah tidak aktif selepas sabda raja dan dhawuh raja yang dianggap menyalahi paugeran (peraturan adat Keraton).
Dhawuh raja atau sabda raja yang disampaikan Sultan HB X pada tahun 2015 itu berisi penunjukan putri pertama Sri Sultan HB X yaitu GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota.
Lalu, apa yang dimaksud dengan paugeran atau tradisi adat Keraton?
Dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi menjelaskan paugeran adalah fondasi utama dari kerajaan.
ADVERTISEMENT
"Yang pertama kalau kita bicara paugeran itu kan ini aturan yang paling mendetail dari Keraton. Dan ketika bicara Keraton kita bicara struktur politik yang dibangun berdasarkan hubungan darah. Nah jadi kedekatan atau jabatan ditentukan oleh seberapa dekat hubungan darahnya dengan raja," kata Bayu melalui sambungan telepon, Selasa (26/1).
"Kalau dia anak raja berarti hubungannya dekat, kalau dia cucu raja berarti hubungannya agak jauh. Jadi ini sistem. Kita tidak bisa menggunakan prinsip demokrasi ketika membahas struktur politik yang berbasis pada hubungan darah," ujarnya.
Polemik simbol keraton Yogya Foto: Twitter @kratonjogja
Bayu menjelaskan, dalam tradisi Keraton Yogyakarta dan Kerajaan Mataram pada umumnya, pewaris takhta pada umumnya adalah garis keturunan laki-laki atau yang disebut sebagai nasab dalam Islam karena mengadopsi Mataram Islam terutama sejak Sultan Agung.
ADVERTISEMENT
"Nah kemudian tradisi itu diperkuat sehingga yang bisa menjadi raja adalah keturunan laki-laki dari raja sebelumnya. Itu yang kemudian dijadikan paugeran. Pertanyaannya pernah ada keluar paugeran, sejauh ini belum pernah ada," katanya.
Dalam sejarah Keraton Yogya, pewaris takhta tidak harus menurun ke bawah tetapi bisa menyamping ke adiknya seperti yang terjadi pada Sultan HB V ke Sultan HB VI.
Suasana sepi di Keraton Yogyakarta, Senin (27/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
"Artinya dia anak dari raja sebelumnya atau saudara dari raja sekarang. Contohnya di Arab Saudi. Ketika itu yang disebut paugeran dan itu yang menjadi pondasi hubungan darah dalam semua raja Jawa," katanya.
Sultan HB V ditemukan tewas diduga dibunuh selirnya pada 5 Juni 1855. Sejatinya, yang harus naik takhta adalah Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad yang merupakan putra sulungnya.
ADVERTISEMENT
Namun, pada saat itu usia Gusti Timur masih jabang bayi di dalam perut permaisuri Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan baru lahir 13 hari setelah kematian bapaknya. Walhasil, yang menjadi raja selanjutnya adalah Gusti Raden Mas Mustojo, adik Sultan HB V.
Dengan kondisi saat ini, Bayu menjelaskan bahwa siapa yang akan menjadi penerus Sultan HB X tergantung pada kontestasi. Mulai dari faktor yuridis, kultural, hingga politis.
"Ada hambatan secara yuridis, kedua hambatan secara kultural, dan ketiga ada hambatan politis," katanya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: