Hakim MK Saldi Isra: Saya Temukan Masalah Netralitas Pj dan Pengerahan Kades

22 April 2024 14:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Saldi Isra tunjukkan peta perjalanan Presiden Joko Widodo, Jumat (5/4/2024).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Saldi Isra tunjukkan peta perjalanan Presiden Joko Widodo, Jumat (5/4/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hakim Konstitusi Saldi Isra meyakini adanya ketidaknetralan Penjabat (Pj) Kepala Daerah dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Ini disampaikan Saldi dalam dissenting opinion atau pendapat hukum berbeda terhadap putusan atas gugatan atau permohonan yang diajukan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN).
ADVERTISEMENT
Saldi bersama Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat menyatakan perbedaan pendapat. Sementara, hakim lainnya Suhartoyo, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani memiliki satu pendapat, yakni menolak gugatan.
“Setelah membaca keterangan Bawaslu dan fakta yang terungkap di persidangan serta mencermati alat bukti para pihak secara saksama, saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi,” kata Saldi Isra membacakan pendapat berbedanya, Senin (22/4).
Paslon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendengarkan hakim MK membacakan putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pj Kepala Daerah yang tidak netral, lanjut Saldi, tersebar di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Ketidaknetralan Pj itu berupa pergerakan ASN, mengalokasikan sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, pembagian bantuan sosial atau bantuan lain kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas pasangan calon tertentu.
Pj Gubernur Jateng, Nana Sudjana menyambut calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Hal ini dipermasalahkan sebagai bentuk ketiidaknetralan Pj.Foto: Dok. Istimewa
Bentuk lain adalah penyelenggaraan kegiatan massal dengan mengenakan baju dan kostum yang menonjolkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu, pemasangan alat peraga kampanye (APK) di kantor-kantor pemerintah daerah, serta ajakan untuk memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Selain soal netralitas Pj. kepala daerah, terungkap juga sebagai fakta di persidangan adanya pengerahan atau mobilisasi kepala desa, antara lain, seperti di Jakarta dan Jawa Tengah,” tambah Saldi Isra.
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menjawab pertanyaan wartawan saat peresmian Stasiun Pompa Ancol Sentiong di Jakarta, Senin (11/12/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
Saldi menambahkan, bahwa berbagai bentuk ketidaknetralan Pj. tersebut telah dilaporkan kepada Bawaslu dan Komisi dan Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagainya bukti.
“Terhadap laporan yang terbukti tersebut, Bawaslu telah merekomendasikan kepada instansi terkait, seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), untuk ditindaklanjuti karena terbukti melanggar peraturan perundang-undangan lainnya,” ungkap Saldi.
Bukti Dasar Ketidaknetralan
Dasar penilaian ketidaknetralan oleh Saldi Isra tersebut adalah rilis KASN pada Desember 2023. Pada temuan itu menunjukkan bahwa sebagian Pj. kepala daerah dinilai belum optimal dalam mengawal netralitas ASN. Salah satu penyebab utamanya adalah intervensi politik sehingga membuat ASN melanggar netralitas.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, lanjut Saldi, sebagian laporan yang disampaikan kepada Bawaslu dinilai tidak terbukti karena tidak memenuhi syarat formil atau materil. Namun, bagi dia, Bawaslu tidak memberitahukan kekurangan persyaratan yang dimaksud.
“Hal demikian sebenarnya dapat dipandang sebagai cara Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan yang berkenaan dengan pelanggaran Pemilu,” jelas Saldi Isra.
“Meskipun demikian, saya berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian Pj. kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas,” imbuh dia.
“Pengisian Pj. kepala daerah telah direncanakan dan diatur jauh sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024,” kata Saldi Isra dalam kesimpulannya.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT