Hakim yang Adili Baiq Nuril Dianggap Tak Paham Aturan

16 November 2018 14:27 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) melihat ada permasalahan dari putusan kasasi dari kasus Baiq Nuril. Pasalnya, Baiq Nuril dinyatakan bersalah, setelah sebelumnya pada tahun 2017 dia dinyatakan tak bersalah dalam putusan PN Mataram.
ADVERTISEMENT
"MaPPI FHUI menilai bahwa terdapat 2 permasalahan utama dalam kasus ini, yakni hakim tidak memahami unsur-unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan hakim tidak mengimplementasikan Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 2017," ungkap peneliti MaPPI FHUI Bestha Inatsan Ashila dalam keterangannya, Jumat (16/11).
Bestha menyayangkan keputusan majelis hakim tingkat kasasi yang menyatakan perekaman dan penyebarluasan percakapan diduga asusila oleh Baiq Nuril dilakukan secara sengaja. Padahal, Baiq Nuril merekam percakapan dengan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim, untuk pembelaan diri.
"Pada dasarnya apa yang dialami oleh Baiq Nuril adalah merupakan sebuah bentuk kriminalisasi. Sejak awal, ia tidak merekam percakapan tersebut dengan niat untuk mencemarkan nama baik M (Muslim), melainkan sebagai bukti bahwa dirinya telah dilecehkan oleh M dan untuk berjaga-jaga jika terjadi hal-hal buruk di kemudian hari," jelas dia.
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril menunggu sidang (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)
Selain itu, ia menilai hakim kurang cermat dalam membuktikan unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE, yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah orang yang menyebarluaskan.
ADVERTISEMENT
Bestha juga menyebut putusan MA tidak sesuai dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017 terkait Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Sebab, faktanya hakim mengadili dengan keadaan status sosial antara Baik Nuril dan Muslim yang tidak setara, serta adanya ketimpangan gender.
"Seharusnya hakim mampu mengindentifikasikan ketidaksetaraan status sosial atau adanya relasi kuasa antara M dan Baiq Nuril. Posisi Baiq Nuril sebagai guru honorer sedangkan M merupakan kepala sekolah, yang secara struktural merupakan atasan Baiq Nuril, membuat ia menjadi tidak berdaya melawan karena posisi strukturalnya yang lebih rendah," kata Bestha.
Maka dari itu, MaPPI FHUI berharap hakim dapat mempertimbangkan relasi kuasa, riwayat kekerasan yang dilakukan pelaku, dan dampak kerugian yang dialami korban. Sebab, tanpa adanya inisiatif untuk mengidentifikasi kasus kekerasan, maka putusan dapat merugikan perempuan.
ADVERTISEMENT
MaPPI FHUI juga mendesak agar MA menjadikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 sebagai rujukan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang menjadi pelaku, korban, maupun saksi.
"Jika ada PK, maka Mahkamah Agung harus memperhatikan Perma 3 tahun 2017. Instrumen hukum nasional dan internasional yang berperspektif gender," tutupnya.