Hamdan Zoelva soal Gugatan UU KPK: Belum Pernah Uji Formil Dikabulkan

13 Desember 2019 18:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua MK periode 2013-2015, Hamdan Zoelva (kiri) usai menjenguk BJ Habibie di RSPAD. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua MK periode 2013-2015, Hamdan Zoelva (kiri) usai menjenguk BJ Habibie di RSPAD. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengomentari gugatan yang diajukan 3 pimpinan KPK bersama 10 pegiat antikorupsi ke MK.
ADVERTISEMENT
Gugatan itu terkait uji formil UU KPK yang baru. Mereka meminta MK membatalkan UU KPK versi revisi tersebut lantaran pembentukannya cacat prosedural.
Hamdan mengatakan sah-sah saja pimpinan KPK mengajukan gugatan ke MK. Namun selama MK berdiri, kata Hamdan, belum pernah ada uji formil yang dikabulkan.
"Selama ini memang belum pernah ada uji formil yang dikabulkan oleh MK," kata Hamdan di Gedung KAHMI Centre, Jakarta Selatan, Jumat (13/12).
Hamdan menuturkan, pernah ada gugatan formil yang diajukan ke MK berkaitan UU Mahkamah Agung (MA). Meski alasan uji formil tersebut kuat, tetapi MK menolaknya.
"Dulu satu kali ada uji formil, uji formil itu adalah proses pembentukan yang melanggar peraturan perundang-undangan sehingga dianggap inkonstitusional. Itu berkaitan dengan UU MA," jelas Hamdan.
Sidang pembacaan putusan gugatan Pemilukada ICW-Perludem dan Tsamara-Faldo Maldini di Mahkamah Konstitusi, Rabu (11/12). Foto: Maulana Ramadhan
"Tapi putusan MK mengatakan, walau pun inkonstitusional, tapi UU tetap berlaku. Karena kalau dinyatakan tidak berlaku, memiliki efek negatif yang jauh lebih besar dari manfaatnya," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Mengenai pertimbangan gugatan UU KPK lantaran paripurna DPR tak kuorum, Hamdan menilai MK mungkin saja menerima. Tetapi, kata dia, klaim tak kuorum itu harus dibuktikan.
"Kalau terbukti tidak kuorum bisa (dikabulkan). Tapi saya tidak tahu bukti-buktinya apa. Karena mekanisme pengambilan keputusan itu selama ini kalau kehadiran fisik, tidak ada, jarang sekali UU yang betul-betul kehadiran fisik," terang Hamdan.
Hamdan mengatakan, pengambilan keputusan di DPR melalui proses yang cukup panjang. Salah satunya melalui rapat fraksi.
"Jadi kalau fisik orangnya harus hadir, itu bisa banyak UU yang bisa batal. Karena itu ada satu mekanisme di DPR adalah sepanjang disetujui, (berarti) sudah oke. Masalah kehadiran fisik itu hanya mekanisme formal," tuturnya.
Feri Amsari (tengah), Kuasa Hukum tiga pimpinan KPK dan aktivis antikorupsi pemohon gugatan UU KPK baru di Mahkamah Konstitusi, Senin (9/12). Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Sebelumnya kuasa hukum penggugat, Feri Amsari, menyebut sidang paripurna pengesahan di DPR tidak memenuhi kuorum.
ADVERTISEMENT
"Dalam catatan kami, setidak-tidaknya tercatat 180-an anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya," kata Feri di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
"Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota (DPR) dianggap hadir dalam persidangan itu. Padahal sebagian besar di antara mereka melakukan penitipan absen atau secara fisik tidak hadir dalam persidangan itu," imbuhnya.
Feri menjelaskan, dalam ketentuan tata tertib DPR, terdapat kata 'dihadiri' yang berarti anggota DPR harus hadir secara fisik, bukan sekadar tanda tangan.