Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Celurit dan samurai tergeletak begitu saja di lantai gardu Forum Betawi Rempug yang berlokasi di salah satu ruas Jalan Tentara Pelajar, Senayan, Jakarta. Kedua benda itu sudah cukup akrab di mata Mohammad Ikhsan. Begitu pula pos tersebut. Tiap kali parkiran yang ia jaga sepi, Ikhsan selalu berteduh di pos itu. Kadang tiduran, ngopi, atau mengobrol dengan kenalannya.
Tempat parkir yang dikelola Ikhsan sepanjang 15 meter berada di dekat sebuah restoran, sekitar 400 meter dari gardu. Sudah sepuluh tahun ia menjadi tukang parkir. Gardu dan bendera FBR bukan sekadar tempat berteduh, tetapi juga hidup dan jaminan rezeki hariannya.
Gardu itu merupakan unit paling kecil dalam ormas FBR. Mereka tunduk dalam satu organisasi massa dan berada dalam koordinasi Markas Besar FBR. Unit terkecil ini menaungi segala pekerjaan jalanan, termasuk tukang parkir.
Dulu, Ikhsan hanya seorang remaja tanggung yang sering nongkrong di pos itu. Pada suatu hari tukang parkir pendahulunya mati karena overdosis narkotika. Ikhsan pun lantas mewarisi lahan parkir itu.
"Kalau abang-abang kami lagi pada belanja nih, belanja putau (heroin berkualitas rendah), saya disuruh jaga. ‘Ude jagain dulu tuh.’ Ya sudah jagain," ucap Ikhsan menceritakan awal mula ia menjadi tukang parkir kepada kumparan di lokasi tempat tinggalnya di Kampung Juraganan, Jakarta, pada Kamis (28/11).
Ia lantas berbagi kuasa parkir dengan rekan sesama FBR. Ikhsan mendapat jatah berjaga dua hari dalam seminggu dari pukul 10.00 hingga 21.00 WIB. Selebihnya, dia menghabiskan waktu untuk kegiatan di gardu. Ikhsan menyebut tak ada ormas selain FBR di wilayahnya. Ada sebanyak 61 gardu FBR di Jakarta Selatan, semua memiliki wilayah sendiri-sendiri.
Hidup dalam naungan ormas seperti sebuah keniscayaan bagi Ikhsan. Lelaki lulusan SMP ini tumbuh di gang sempit Kampung Juraganan. Rumah petak yang ia tinggali bersama orang tuanya hanya berukuran 3 x 4 meter persegi, berbatasan dengan pagar kompleks perumahan elite Permata Hijau.
Sementara kampungnya dikepung oleh gedung tinggi, Hotel Mulia di arah timur laut dan apartemen Permata Hijau di arah barat daya. Tak sedikit warga Kampung Juraganan, dari muda hingga tua, yang berprofesi sebagai tukang parkir sekaligus menyandang predikat anggota FBR.
Dulu ia pernah mengais rezeki dengan rekan-rekannya di FBR menjadi penjaga palang perlintasan jalur rel kereta api Tanah Abang-Maja di sekitar kampungnya. Penghasilan yang didapatnya lumayan, dalam waktu tak lebih dari lima jam berjaga bisa mencapai Rp 250-300 ribu. Bersih.
Godaan pun muncul ketika rezeki berlimpah. Ia terseret kasus narkoba hingga harus merasakan dinginnya sel penjara. Apesnya, selepas menghirup udara bebas, perlintasan rel tempatnya mengais rezeki ditutup.
Ikhsan pernah bekerja sebagai pelayan kafe, tetapi penghasilan yang didapat tak memuaskan sehingga ia kembali bekerja di jalanan. FBR kembali menjadi pilihan. Ormas itu lebih menjanjikan rezeki dengan lahan parkir sebagai sumber penghidupan
"Kelamaan bang ngasilin duitnya kalau di situ. Kite pusing nyari duit tiap harinya. Tiap harinya kita dari mana? Mau ongkos, mau ini, segala macam, dari mana?” aku Ikhsan.
Mengais rezeki di bawah kuasa ormas tak hanya dilakukan Ikhsan. Rekannya satu organisasinya, Ubay, juga menggantungkan hidup dengan cara yang sama. Ia mendapat jatah kuasa parkir di kawasan Indomaret dan restoran cepat saji di kawasan Joglo, Jakarta Barat.
Ia memiliki orientasi dan latar yang sama dengan Ikhsan, uang cepat dan tak ribet dengan aturan
“Enggak ada bos yang ngomelin kalau kesiangan, itu enaknya markir. Kalau sudah terjun di parkiran tuh, enggak pengen kerja di tempat lain. Nungguin gajinye kelamaan,” ucap dia.
Tak hanya ormas FBR saja yang menyediakan lapangan kerja jalanan semacam ini. Lubis, tukang parkir di Jalan Melawai, Jakarta Selatan, mengaku menguasai lahan parkir karena bergabung dengan Pemuda Pancasila. Ia mewarisi lahan itu dari teman satu organisasi sekaligus satu kampung di Sumatera Utara.
Namun berbeda dengan Ikhsan dan Ubay, perantau asal Sumatera Utara ini harus pintar berhemat dan mencari kerja sambilan karena penghasilan parkir baginya masih kurang. Maklum, kebutuhan hidup selaku perantau lebih besar.
“Makanya cari job lain. Hemat-hematlah kita,” ujar Lubis.
Koordinator Wilayah FBR Jakarta Selatan Solahuddin Yasin mengatakan organisasinya memang menyediakan tempat mengais rezeki bagi anggotanya yang menganggur. Kuasa lahan yang mereka miliki akan dibagi dan dikelola bersama. Hasilnya dibagi untuk organisasi dan yang bekerja.
FBR memakai identitas kesamaan budaya Betawi untuk menjaring anggota. Ormas ini memprioritaskan kuasa yang dimilikinya untuk dikelola oleh warga kampung sekitar. Mereka memiliki moto, Eksis di Kampung Sendiri. Kini anggota mereka mencapai 100 ribu orang.
“Kalau dia tukang parkir dia mengatur parkir di wilayahnya. Enggak mungkin parkir di Kemayoran tapi tukang parkirnya dari Sunter. Jadi hal-hal yang kecil itu berpengaruh. Bagaimana dia bisa eksis di kampungnya sendiri,” ucap Wakil Sekjen FBR Jakarta Pusat Ibrahim.
Organisasi kedaerahan besar lainnya di Jabodetabek, Forum Komunikasi anak Betawi (Forkabi), juga melakukan hal serupa. Ketua Generasi Muda Forkabi Kota Depok Yuda Permana mengajak kumparan berkeliling ke daerah kekuasaannya di Depok. Sebuah lahan parkir sekitar satu hektar mereka kelola di Stasiun Depok.
Bendera Forkabi tertancap di lahan itu dan dua tukang parkir bertopi mengatur lalu lalang sepeda motor yang singgah. Lahan itu mereka sewa dengan harga Rp 60 juta setahun sejak setengah dekade lalu. Hasilnya mencapai Rp 30 juta per bulan.
Persaingan dengan perusahaan parkir juga mereka hadapi. Sekjen Forkabi, Muhammad Ihsan, menyatakan sedang memodernisasi pengelolaan parkir. Modal mereka selain lahan adalah jumlah anggota yang mencapai 100 ribu orang.
Sementara menurut Sekjen Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Arif Rahman, kehadiran tukang parkir dari organisasinya seharusnya dianggap membantu pemerintah karena dapat meminimalisir kejahatan. Biasanya jambret dan copet tak berani mendekat ke lahan parkir yang dikelola ormas.
“Akhirnya itunya (kejahatannya) hilang ketika dia di struktural. Mungkin dia penjahat segala macam, tapi ketika dia ikut kegiatan kita ya berkurang aktivitas kejahatannya. Kan itu tidak ada program dari pemerintah untuk melakukan pembinaan,” ujar Arif.
Tetapi kehadiran ormas ini tak melulu membawa rasa aman. Sosiolog UGM, Najib Azca, menyebutkan penguasaan ormas atas lahan parkir pada dasarnya adalah penguasaan teritorial oleh suatu kelompok. Bisnis mereka, termasuk parkir , merupakan bisnis abu-abu dan menjanjikan uang besar.
“Penguasaan teritori itu juga membuat ruang-ruang untuk melakukan bisnis abu-abu menjadi aman. Karena sebenarnya yang kadang-kadang lebih besar kan bisnis abu-abunya,” kata Najib kepada kumparan, Rabu (4/12).
Memang mereka menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Mereka menampung masyarakat ini sebagai anggota dan memberikan pekerjaan di sektor abu-abu. Tetapi perebutan wilayah dan berbagai konflik lain bisa memicu ricuh dan kejahatan lain.