Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sekitar pukul sebelas siang, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan tiba di National University Hospital Singapura. Mendapat panggilan dari sang Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono, ia segera bergegas menuju tempat SBY berada—ruang ICU, tempat istrinya dirawat.
“Begitu sampai, saya dijemput petugas. Saya langsung lari, naik tangga, enggak naik lift,” ucapnya kepada kumparan. Di ruangan ICU itu, Ani Yudhoyono terbaring dikelilingi anggota keluarganya.
Melihat kedatangan Hinca, Edhie Baskoro ‘Ibas’ Yudhoyono langsung memekik histeris.
“Bang Hinca, Bang Sekjen... pejuang Partai Demokrat, Ibu Ani, telah meninggalkan kita,” ucap Hinca menirukan laungan Ibas.
Hinca sontak memeluk Ibas, mencoba untuk memberi kekuatan.
Kabut duka tampak jelas menyelimuti keluarga Yudhoyono dan kader-kader Partai Demokrat siang itu.
SBY yang biasa tampil tenang, tak kuasa membendung tangis melepas kepergian istri yang telah mendampinginya selama 43 tahun. Tak kurang dari empat kali Hinca mengambil tisu untuk mengelap air mata Presiden RI ke-6 itu.
Hinca pun menghubungi Menko Maritim Luhut Panjaitan perihal wafatnya Ani Yudhoyono. “Uda, (pukul) 11.50 Ibu Ani telah dipanggil Yang Maha Kuasa.”
Selang beberapa jam kemudian Luhut tiba. Melihat Ani, putri almarhum Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo itu terbujur kaku, Luhut menitikkan air mata dan memberi hormat. Ia lantas memeluk SBY.
“Pak SBY dan Pak Luhut saling berpelukan dan menangis. Momen itu luar biasa, ditunjukkan oleh tokoh purnawirawan jenderal sekaligus tokoh politik,” ujar Hinca.
Mulai dari pelukan histeris Ibas, permintaan SBY mencium kening istrinya untuk terakhir kali, hingga hormat dari Luhut, disaksikan oleh Hinca. Berikut petikan ceritanya kepada kumparan saat ditemui di kediaman SBY, Cikeas, Kabupaten Bogor, Minggu (2/6).
Bagaimana suasana keluarga Pak SBY di menit-menit terakhir melepas kepergian Bu Ani?
Saya memang last minute tiba di Singapura. Saya menyaksikan Pak SBY, Mas AHY bersama istri, Mas Ibas bersama istri, Pak Pramono Edhie Wibowo (kakak Ani), dan keluarga. Saya kira tidak sampai 10 orang. Saya menyaksikan bagaimana keluarga itu berdoa terus di detik-detik terakhir melepas almarhumah.
Ada banyak tamu, tapi enggak bisa masuk. Saya memang naik (ke ruangan Bu Ani) karena diminta Pak SBY. Begitu sampai, saya dijemput petugas dan langsung saya lari. Saya enggak naik lift, tapi naik tangga.
Mas Ibas sampai histeris. Melihat saya datang, dia teriak, “Bang Hinca, Bang Sekjen... pejuang Partai Demokrat, Ibu Ani Yudhoyono telah meninggalkan kita.” Lalu dia saya peluk.
Kami merasa kehilangan betul, karena semua kader Partai Demokrat pasti kenal, pasti dekat, pasti tahu Bu Ani. Ia pemberi contoh yang luar biasa. Di mana ada kegiatan, pasti dia berada di sebelah Pak SBY. Dia (Bu Ani) mencatat terus.
Setelah (merapikan peralatan medis Bu Ani) itu, saya bicara dengan Pak SBY yang terus menangis. Saya kira lebih dari empat kali saya mengambilkan tisu untuk Pak SBY mengelap air matanya.
Lalu saya peluk Mas Ibas, setelah itu saya peluk Mas AHY. Posisinya, di sebelah kanan ranjang (Bu Ani) ada Pak SBY dan Mas Ibas, lalu di seberang sana (sisi kiri ranjang) Mas AHY bersama Annisa.
Sebelumnya, (Bu Ani) dua kali diperiksa dokter. Sekali masih ada (napasnya). Dokter lalu datang lagi pukul 11.50, kemudian keluarga itu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Saya lihat Pak SBY sudah berdiri dan berdoa.
Jadi kalau ditanya, apakah itu sangat menyentuh? Iya, keluarga ini sangat mengasihi Bu Ani. Tentu kami semua (kader Demokrat) juga iya.
Bagaimana Luhut bisa berada dalam ruangan ICU Bu Ani? Seperti apa situasinya?
Begitu sudah selesai, rapat keluarga sudah selesai, Bapak SBY sempat kembali ke apartemen. Saya beri tahu Pak Luhut tentang kabar kepergian Bu Ani. Sejak kemarin itu kan memang dia sedang berada di Singapura.
Saya bilang, “Uda, (pukul) 11.50 Ibu Ani telah dipanggil Yang Maha Kuasa.”
Pak Luhut langsung balik kanan. Dia tinggalin semua acaranya. Saat dia tiba (ke RS), belum ada Pak SBY. Kira-kira satu jam kemudian barulah Pak SBY datang. Pak Luhut masuk, lalu dia memberikan hormat kepada Ibu Ani.
Saya tanya, “Uda, kenapa kau hormat?”
Dia jawab, “Bagi saya Ibu Ani luar biasa, saya juga menangis.”
Di situ Pak Luhut menangis, Pak SBY menangis. Mungkin dengan naluri kemiliterannya, Pak Luhut langsung memberi hormat kepada Bu Ani.
Dalam pertemuan itu, Pak SBY dan Pak Luhut berpelukan dan saling menangis. Saya tanya, “Uda, apa yang dibilang Pak SBY?”
Pak Luhut jawab, “‘Bang Luhut, Bu Ani sudah tiada.’ Kami saling menguatkan.”
Momen itu sangat luar biasa, yang ditunjukkan dari para purnawirawan jenderal dan tokoh politik.
Setelah itu, Pak Luhut datang ke KBRI. Dia menunggu di situ sampai sore. Dia meninggalkan semua agenda. Seharusnya hari itu dia ada konvensi.
Selama ini Pak Luhut dekat dengan keluarga Yudhoyono atau keluaga Bu Ani?
Saya teringat cerita beliau (Luhut) bahwa dia sangat mencintai keluarga ini, terutama AHY dan Ibas. Saya tanya, “Kenapa Uda?” Dia jawab, “Karena saya jadi seperti sekarang ini berkat bapaknya Ibu Ani, almarhum Sarwo Edhie Wibowo.”
Pak Luhut itu sayang sekali kepada keluarga ini. Dia bilang, “Saya sayang sekali sama AHY. Karena kalau saya lihat, matanya itu persis matanya Pak Sarwo Edhie. Jadi setiap kali melihatnya, saya langsung teringat beliau.”
Bagaimana kondisi Pak SBY selama empat bulan menemani Bu Ani menjalani perawatan?
Yang saya tahu, ketika saya sedang berdua dengan Pak SBY, kalau saya tanyakan “Bagaimana kabar Ibu?”, Pak SBY menjawab “Ibu up and down.”
Pak SBY ini kan pandai betul mengambil kata yang tepat untuk menjelaskan tanpa terasa ngeri. Kalau kita orang awam kan, misal menggunakan kata ‘peralatan’ begitu, dia menggunakan kata ‘instrumen’. Jadi seolah-olah tenang.
Saya ketemu Pak SBY terakhir kali (sebelum wafatnya Bu Ani) itu seminggu sebelumnya. Malam itu, tensi Bu Ani naik dan dipersiapkan ke ICU.
Saya sempat ditahan dua hari (agar tetap di Singapura). Tapi sampai saya pulang, Bu Ani saat itu enggak jadi masuk ICU.
Karena kondisi Bu Ani yang up and down, Pak SBY lebih banyak di rumah sakit malam itu. Saya tanya, “Apa yang membuat tensinya naik?”
Rupanya karena di tempat selang infusnya itu ada gangguan. Terus kelihatannya ada perlawanan terhadap obat juga.
Setelah itu sempat beredar kabar kalau Bu Ani tidak sadarkan diri, tapi sebenarnya itu memang deep sleep. Jadi ditidurkan, supaya instrumen tadi itu masuk.
Seperti apa kondisi rapat persiapan kepulangan Bu Ani?
Yang saya tahu, karena Pak Hatta Rajasa selalu ada di situ sebagai besannya, dia terus berdiskusi dengan tim. Tentu harus didiskusikan kan, sementara Pak SBY, Mas AHY, dan Mas Ibas tidak dalam posisi untuk bisa diajak berdiskusi.
Tentu ada keluarga yang bisa lebih tenang, yaitu Pak Hatta. Jadi yang merancang (kepulangan Bu Ani) itu, yang saya tahu adalah Pak Hatta Rajasa.
Setelah Ibu Ani meninggal, ada rapat pertama keluarga. Pak SBY memimpin rapat itu. Kata-kata beliau saat memulai rapat, “Inilah rapat pertama keluarga tanpa Ibu Ani.”
Kami semuanya langsung diam. Di situlah disampaikan permintaan Pak SBY, “Nanti setelah Bu Ani dimandikan, dimasukkan ke peti jenazah, izinkan saya menciumnya sekali lagi.” Kami langsung terdiam. Luar biasa.
Satu hal lagi. Setelah sampai di KBRI Singapura, setelah semua dibereskan, (Bu Ani) siap-siap dimandikan dan disalatkan, anaknya Pak Presiden Jokowi datang. Kaesang datang.
Dan yang barangkali juga nggak banyak diketahui orang, rangkaian (proses pemulangan jenazah Bu Ani ke Indonesia) itu cukup panjang dan pemerintah Singapura memberikan kami pelayanan high class—dari KBRI Singapura sampai ke bandara, pangkalan lebar seperti pangkalan militernya itu, dan iring-iringan di seluruh jalan-jalan utama di Singapura.
Menurut orang yang menyopiri saya, belum pernah terjadi orang asing mendapatkan privilege VVIP. Tiba di bandara, pemerintah Singapura memberikan penghormatan terakhir.
Mas Ibas naik ke atas (pesawat Hercules) sama Mas AHY, Pak SBY menyaksikan. Kami angkat ini peti jenazah, lalu diterima Mas Ibas dan Mas AHY. Penghormatan pemimpin tertinggi Singapura di situ. Dia beri hormat, baru kami naik ke Hercules.
Anda ikut terbang dalam Hercules itu? Seperti apa situasinya di dalam?
Berdasar keputusan Pak Hatta Rajasa, akhirnya kami masuk pesawat Hercules. Peti jenazah saat itu berada di tempat yang sama dengan kami, bukan di bagasi bawah. Kan kalau pesawat biasa, peti bersama barang-barang. Tapi ini sejajar. Buat saya, itu ide yang luar biasa.
Itu menggambarkan kesederhanaan Pak SBY. Jadi darah tentaranya Ibu Ani itu dari orang tuanya, suaminya, sampai anaknya. Saya merasakan luar biasa sekali keluarga ini.
Ada enam mobil kecil untuk mengantar barang-barang Pak SBY. Tas-tas dan perangkatnya itu kami tumpuk saja di dalam Hercules. Di sebelah saya itu ada sekian tas.
Lalu ada satu orang dari kepolisian yang memegang foto Bu Ani. Kami memanggilnya Mbak Apri. Dia dari Mabes Polri. Dia luar biasa. Dia hanya pegang foto saja, nggak berkata-kata. Saya mengerti perasaannya.
Saya beruntung, masih bisa mengejar dan menyaksikan 30 menit terakhir (kepergian Bu Ani). Saya menyaksikan, melihat, mendengar, dan bisa merasakan situasi saat itu. Bagi saya, Ibu Ani ini luar biasa.
Di partai kami, semua kader panggil saya Bang Jen. Ibu Ani Yudhoyono adalah yang kasih panggilan saya Bang Jen.
“Bang Jen... Bang Jen...” Bu Ani nggak pernah panggil saya dengan nama. Jadi akhirnya semua orang manggil saya Bang Jen.
_________________
Simak rangkaian kisah lengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Melepas Memo