Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Ibu Santi Tengah Gugat Legalisasi Ganja Medis di MK, Sudah Sampai Mana?
29 Juni 2022 16:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Ibu Santi Muryanti membentangkan spanduk bertuliskan ‘Tolong Anakku Butuh Ganja Medis’ dalam kegiatan Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Minggu (26/6). Aksinya mendapatkan perhatian pemerintah, mulai dari DPR RI hingga Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
ADVERTISEMENT
Upaya Ibu Santi ini bukan tanpa sebab. Ia meminta penggunaan ganja untuk medis dilegalkan. Mengingat kondisi sang anak, yang diduga menderita Cerebral Palsy. Ganja tersebut hendak digunakan untuk terapi medis anaknya.
Selain upaya 'lapangan', ternyata Ibu Santi juga menggugat UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya sama, yakni meminta ganja untuk kepentingan medis dilegalkan.
Dikutip dari laman resmi MK, gugatan Ibu Santi ini teregistrasi dalam nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020. Ibu Santi menjadi pemohon bersama dengan Narafiah Muryanti; Perkumpulan Rumah Cemara; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Ibu Santi dkk menguji secara materiil penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Sebab, hal itu dianggap merugikan hak konstitusional Ibu Santi karena menghalangi untuk mendapatkan pengobatan bagi anaknya.
ADVERTISEMENT
Dalam laman MK juga tertera bahwa Santi merupakan seorang ibu yang pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy. Terapi itu dilakukan oleh Ibu Santi saat berada di Victoria, Australia pada 2016.
Namun, ketika kembali ke Indonesia, ia menghentikan terapi karena ada sanksi pidana pemberian minyak ganja itu dalam UU Narkotika. Hal yang sama juga terjadi pada dua orang ibu pemohon lainnya.
Sementara, ICJR dan LBHM menilai pelarangan ganja untuk medis ini mengakibatkan hilangnya hak para pemohon mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Berikut pasal yang dipermasalahkan:
Pasal 6 ayat (1) huruf a:
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
ADVERTISEMENT
a. Narkotika Golongan I.
Pasal 8 ayat (1)
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Lantas, sudah sampai mana gugatan tersebut?
Masih dikutip dari laman MK, permohonan gugatan ini sudah diajukan sejak 27 Agustus 2020. Sejumlah tahapan sidang sudah dilalui. Mulai dari pemeriksaan kelengkapan, perbaikan permohonan, pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan.
Contohnya seperti dalam sidang pada Kamis (6/1/2022) hadir seorang saksi yang membeberkan soal penggunaan ganja untuk kepentingan medis, yakni P. Ridanto Busono Raharjo, yang mengidap nyeri neuropatik kronis.
Ridanto mengalami kecelakaan sejak 1995 yang mengakibatkan tangan kanannya mengalami kelumpuhan dan nyeri hingga saat ini. Ia menerangkan bahwa dirinya menggunakan ganja untuk meredakan rasa nyeri sebagai efek samping dari kecelakaan yang dialaminya sejak 1996.
ADVERTISEMENT
“Efek ketika saya menggunakan ganja saya merasa rileks. Penderitaan nyeri kronis kategori neuropatik seperti saya ini merasakan rasa nyeri yang intensif," kata Ridanto, dikutip dari laman MK.
"Hampir seluruh tubuh saya, kesadaran, otot setiap saat harus mengantisipasi rasa nyeri setiap saat dengan frekuensi yang tinggi. Ketika saya menggunakan ganja, saya menjadi rileks dan saya menghadapi rasa rileks dengan tenang,” ujar dia.
Menurut Ridanto, tidak ada satu pun pengobatan yang dapat mengatasi rasa nyeri. Pengobatan yang diterimanya hanya berfokus pada pengobatan kelumpuhan pada tangan kanannya saja.
Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan, saat ini gugatan tersebut tengah dibahas di internal MK. Sidang terakhir telah digelar pada 7 Maret 2022. Penyerahan kesimpulan sudah dilakukan pada 22 Maret 2022. Dia menilai pembahasan tersebut masih dalam waktu yang wajar.
ADVERTISEMENT
"Memang perkara itu diregistrasi pada 19 November 2020, tapi bukan berarti didiamkan, bukan pula digantung, apalagi dilama-lamain, tapi karena memang proses persidangan secara natural berjalan lumayan panjang mencapai 12 kali sidang dengan 5 kali sidang di antaranya beragendakan mendengarkan keterangan ahli/saksi yang itu juga diajukan oleh para pemohon sendiri," ucap Fajar saat dihubungi, Rabu (29/6).
Menurut Fajar, lamanya penyelesaian suatu perkara di MK bukan bergantung pada MK saja, melainkan juga para pihak. Semisal, semakin banyak pemohon mengajukan ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan, maka akan semakin lama.
"Walaupun semakin lengkap informasinya, tapi konsekuensinya semakin panjang waktu yang dibutuhkan, kan gitu," kata Fajar.
Dia menyebut hingga saat ini belum ada tanggal untuk agenda pembacaan putusan atas gugatan tersebut. "Belum," pungkas Fajar.
ADVERTISEMENT