Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Ibu Tien Soeharto di Balik Larangan Poligami
28 April 2017 7:33 WIB
Diperbarui 30 April 2020 7:52 WIB
Ucapan di atas menyiratkan kesetiaan mendalam Pak Harto kepada Ibu Tien. Pasangan Pak Harto-Ibu Tien tak pernah sekalipun tersenggol kabar cinta segi sekian. Desas-desus bahwa Pak Harto memiliki selir maupun simpanan selamanya tak pernah terbukti.
Rasa percaya, cinta, dan hormat menjadi landasan utama hubungan Pak Harto dan Ibu Tien.
Berpegang pada falsafah cinta yang demikian erat, keduanya saling mendukung dalam setiap gerak, keputusan, hingga kebijakan yang kerap harus diambil untuk negara.
Bu Tien selalu berada di sisi Pak Harto, pun Soeharto bersetia mewujudkan berbagai gagasan yang berkembang dalam benak sang Ibu Negara.
Cinta Pak Harto dan Bu Tien berbuah kebijakan antipoligami yang ditujukan untuk pegawai negeri sipil (PNS). Publik tahu betul bagaimana Ibu Tien begitu keras menentang poligami.
Menjadi salah satu penggerak Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Ibu Tien paham betul bahwa praktik poligami kerap menyakiti para istri. Ia sendiri tak rela dimadu oleh sang suami.
Ibu Tien terus mendesak terwujudnya regulasi yang bisa mengatur dan melarang poligami, terutama di kalangan PNS.
Desakan itu nyatanya berbuah hasil. Pada tahun 1983, sebuah peraturan yang dikemas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 akhirnya keluar.
Berikut beberapa poin dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil:
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang atau untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
Aturan dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 tersebut lantas disempurnakan dalam PP Nomor 45 Tahun 1990 yang meniadakan butir 3 pasal 4 dan di ayat (2) pasal 5.
Sesuai Pasal 15 PP 45/1990, sanksi untuk PNS yang berpoligami adalah:
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar Pasal 4 ayat (1) beristri lebih dari 1 tanpa izin, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) yaitu jadi istri kedua/ketiga/keempat dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Jika dicermati, aturan yang secara jelas mengatur poligami tersebut tak ayal bernada keras. Dari pejabat tinggi sampai PNS eselon paling rendah tak ada yang berani untuk beristri dua—secara resmi.
Peresmian peraturan mengenai poligami tersebut menjadi salah satu “penanda” yang kerap membuat Pak Harto disebut sebagai Bapak Pendorong Kemajuan Perempuan, tentu dengan Ibu Tien di sampingnya yang terus memberi masukan hingga desakan.
Pak Harto turut melebarkan sayap Kowani—yang juga digerakkan sang istri—hingga kancah internasional. Kala itu, Kowani juga berperan dalam The International Council of Women (ICW) dan The ASEAN Confederation of Women Organizations (ACWO).
Dalam kongres tersebut, Kowani menyebutkan bahwa dengan dorongan Ibu Tien—dan tentunya Pak Harto, perempuan Indonesia dapat berkembang dan terlibat dalam tiap rancangan pembangunan bangsa.
Salah satu dorongan Bu Tien juga kuat terasa dalam pembentukan kebijakan yang dikemas dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU ini, perlindungan diberikan kepada para perempuan dan anak yang mengupayakan kehidupan harmonis, bahagia, dan sejahtera.
Peran Ibu Tien di samping Pak Harto memang begitu penting, hingga setiap kebijakan, terutama yang menyangkut perempuan dan anak, tak jarang melibatkan tangan dan gagasan Ibu Tien sebagai motor bagi pengambilan kebijakan Pak Harto.
Terlepas dari kutub positif-negatif Orde Baru yang tak bakal habis dibahas, eksistensi Ibu Tien jadi kunci penting bagi Pak Harto.
Di luar baik-buruk Soeharto, kesetiaannya pada seorang Tien jelas amat istimewa.
28 April 1996, Ibu Tien wafat, meninggalkan Soeharto berjalan sendiri menjemput akhir kekuasaannya.