ICW Gugat UU Pilkada ke MK, Minta Jeda 5 Tahun Eks Koruptor Maju

9 Oktober 2019 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang dibacakan pada Selasa (8/10) itu teregistrasi dengan nomor 56/PUU-XVII/2019.
ADVERTISEMENT
ICW dan Perludem menggugat ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur syarat bagi eks napi nyalon. Pasal itu berbunyi:
Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Dalam gugatannya, ICW dan Perludem meminta agar MK memberi jeda selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok bagi eks narapidana, khususnya kasus korupsi, yang ingin nyalon.
"Pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyaikekuatanhukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang'," jelas penggugat dalam permohonannya.
Aktivis ICW (Indonesia Corruption Watch), Donal Fariz saat diskusi di kantor ICW, Jakarta, Selasa (18/4). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sementara itu dalam sidang, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan bolehnya mantan napi korupsi maju sebagai kepala daerah, dengan syarat hanya mengumumkan kepada publik di UU Pilkada yang saat ini berlaku, telah menghambat upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
"Meski hak politik adalah sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh UUD 1945, tetapi hak politik bukanlah hak yang tidak dapat dibatasi ketika hendak menjalankan kewajiban konstitusionalnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia. Dalam situasi tertentu negara terpaksa melakukan pembatasan-pembatasan tertentu agar hak-hak asasi yang berada di bawah jaminannya dapat dilindungi, dihormati dan dipenuhi," kata Donal dalam rilis MK.
Adapun peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan tidak adanya jeda bagi eks napi korupsi maju Pilkada, membuat pemilu berpotensi diramaikan oleh mantan terpidana kasus korupsi. Akibatnya, kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi memiliki peluang yang besar untuk mengulangi kembali perbuatannya.
Ia mencontohkan Bupati Kudus M Tamzil yang menjadi tersangka KPK dalam kasus dugaan jual-beli jabatan di Pemkab Kudus. Padahal Tamzil sebelumnya juga pernah tersangkut kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus.
Fadli Ramadhanil, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
“Tanpa adanya waktu tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun untuk bisa kembali menjadi calon kepala daerah, serta syarat bukan pelaku kejahatan berulang, telah merusak sendi demokrasi yang telah pula diuraikan oleh Mahkamah melalui putusan sebelumnya, di mana seorang pejabat yang dipilih publik yang dipilih melalui proses pemilu tidak bisa sepenuhnya diserahkan penentuannya kepada pemilih. Tetapi harus ada instrumen negara yang perlu memberikan proteksi agar pejabat publik yang dipilih memiliki kualitas dan integritas,” ujar Fadli.
ADVERTISEMENT
Diketahui pada 2015 lalu, MK telah menganulir larangan eks terpidana untuk mencalonkan diri di Pilkada. MK menilai mencalonkan diri di Pilkada merupakan hak warga negara. Sehingga bagi eks napi, hanya perlu mengumumkan kepada publik bahwa ia pernah dipenjara.
Namun kini ICW dan Perludem ingin ada aturan pembatasan bagi eks napi maju di Pilkada.
Sementara itu menanggapi gugatan itu, hakim MK Saldi Isra meminta para pemohon untuk menambahkan kedudukan hukumnya.
Selain itu, ia juga meminta kepada para pemohon untuk memperbaiki penulisan dalam permohonan karena terdapat kesalahan.
Saldi memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi pemohon untuk melakukan perbaikan. Sidang berikutnya digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan.