ICW-Perludem Yakin MK Beri Jeda 10 Tahun Bagi Koruptor Maju Pilkada

10 Desember 2019 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Majelis Hakim Mahkamah Konsititusi (MK) Arief Hidayat (kanan) dan Enny Nurbaningsih (kiri) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Selasa (23/7). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Majelis Hakim Mahkamah Konsititusi (MK) Arief Hidayat (kanan) dan Enny Nurbaningsih (kiri) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Selasa (23/7). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan pembacaan putusan terhadap gugatan yang diajukan ICW dan Perludem pada Rabu (11/12) besok pukul 10.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan bernomor 56/PUU-XVII/2019 itu, ICW dan Perludem meminta agar MK mengubah ketentuan di Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Kedua LSM tersebut meminta MK memberi jeda bagi eks napi, khususnya kasus korupsi, yang ingin maju Pilkada selama 10 tahun usai menjalani pidana pokok.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, meyakini MK akan mengabulkan permohonan tersebut. Jika dikabulkan, kata Titi, putusan tersebut akan menjadi kado dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.
"Semoga putusan MK atas uji materi pasal pencalonan mantan napi di Pilkada bisa jadi kado istimewa dalam suasana peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (9 Desember) dan HAM Internasional (10 Desember). Kami berharap putusan MK menjadi wujud nyata penghormatan kita pada hak pemilih untuk mendapatkan calon kepala daerah berintegritas bagi daerahnya," ujar Titi kepada wartawan, Selasa (10/12).
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Titi menyebut ada beberapa pertimbangan mengapa pihaknya optimistis gugatan tersebut akan dikabulkan MK. Pertama, kata Titi, MK langsung membacakan putusan setelah dua kali persidangan pemeriksaan permohonan.
ADVERTISEMENT
"MK memutus tanpa terlebih dahulu mendengarkan keterangan dari DPR, pemerintah, maupun ahli dari para pihak," kata Titi.
Kedua, pihaknya mengajukan argumen yang sangat kuat berkaitan dengan permohonan itu, antara lain fakta di mana mantan napi korupsi yang dicalonkan lagi di Pilkada kembali mengulangi perbuatannya melakukan korupsi dan terkena OTT KPK.
"Seperti pada kasus Muhammad Tamzil, Bupati Kudus yang terpilih di Pilkada 2018 dan terkena OTT KPK pada 2019," ucapnya.
"Selain itu ketiadaan jeda dari bebasnya mantan napi dengan pencalonan yang bersangkutan di Pilkada, membuat parpol dengan mudah mencalonkan mantan napi dan diikuti keterpilihan si mantan napi di Pilkada. Semisal di Minahasa Utara dan Solok," lanjutnya.
Aktivis ICW (Indonesia Corruption Watch), Donal Fariz saat diskusi di kantor ICW, Jakarta, Selasa (18/4). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sementara itu Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan pentingnya jeda bagi koruptor untuk maju lagi di Pilkada. Sebab aturan yang ada saat ini seperti pengumuman kepada publik, sering diakali para koruptor untuk memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
"Sehingga penting ada masa tunggu bagi mantan koruptor untuk dapat kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah, terhitung sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya. Di mana para pemohon meminta masa tunggu tersebut selama 10 tahun atau dua siklus pemilihan kepala daerah," ujar Donal.