Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mantan napi koruptor kini bisa maju di pilkada usai KPU menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020. Ya, KPU bisa dibilang 'mengalah' batal melarang eks koruptor maju di pilkada.
ADVERTISEMENT
Ketentuan soal eks koruptor ini bisa dilihat pada Pasal 4 PKPU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Pada huruf h, hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yaitu bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak.
"Bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak."
Merepons aturan ini, Koordinator Divisi Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menganggap keputusan KPU ini terlalu terburu-buru.
"KPU terburu-buru menurut saya. Pasalnya, Rabu (11/12) depan merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang boleh atau tidaknya mantan terpidana korupsi menjadi calon kepada daerah," jelas Donal saat dihubungi, Jumat (6/12) malam.
ADVERTISEMENT
Donal lalu menjelaskan mengapa KPU akhirnya 'mengalah' menerbitkan PKPU tersebut. Ia menilai KPU terbawa dukungan politik dari DPR yang menolak aturan koruptor dilarang mencalonkan diri di pilkada.
"KPU surut karena minim dukungan politik dari DPR, pemerintah, atau bahkan dari koleganya sendiri Bawaslu terkait rencana pelarangan koruptor jadi calon kepala daerah," tuturnya.
"Mereka belajar dari pengalaman pelarangan caleg mantan napi yang justru ditentang keras oleh Bawaslu," imbuh Donal.
Meski akhirnya eks koruptor bisa maju, KPU tetap menambahkan satu pasal dalam PKPU. Yakni dengan mengimbau partai politik untuk tidak mencalonkan eks napi koruptor di pilkada.
"Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi." - Pasal 3A angka 4
ADVERTISEMENT
Lantas, apa kata KPU soal penerbitan aturan ini?
"Karena pertimbangan banyak hal," ucap Ketua KPU Arief Budiman kepada kumparan.
Gugatan ICW dan Perludem di MK
Seperti kata Donal, ICW bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebelumnya telah menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menggugat ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur syarat bagi eks napi nyalon.
Pasal itu berbunyi:
"Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Dalam gugatannya, ICW dan Perludem meminta MK memberi jeda selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok bagi eks narapidana, khususnya kasus korupsi, yang ingin nyalon.
ADVERTISEMENT
"Uji materi kami soal pencalonan mantan napi akan diputus pada Rabu, 11 Desember 2019 pukul 10.00 WIB. Semoga ada kabar baik," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Berikut permohonan Perludem dan ICW:
“Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."
ADVERTISEMENT